USAI BAHARATAYUDHA
Suasana medan
Kurusetra kini sepi. Panji-panji Kurawa dan Pandawa berserakan. Pedang,
perisai, kereta kuda, gada, patahan anak panah, keris, dan lainnya yang sudah
hancur menjadi pemandangan menyilaukan. Bercampur dengan tumpahan darah yang
mulai mengering. Pepohonan serta bukit porak poranda akibat adu kesaktian para
ksatria. Tampak para prajurit sedang mencari jenazah dan mengumpulkannya untuk
dikuburkan. Tenda-tenda perawatan masih menyisakan rintihan para prajurit yang
terluka. Terdengar jelas tangisan para perempuan, janda dan anak yang
kehilangan ayah dan saudara mereka.
Awan mendung
kelabu di sore hari. Beberapa jam lagi matahari terbenam. Di kejauhan, di atas
sebuah bukit, tampak seorang laki-laki duduk termenung di bawah pohon. Pakaiannya
indah namun lusuh. Tubuhnya gagah namun tanpa gairah. Wajahnya tampang namun
mendung di sinar matanya. Dipandanginya sisa-sisa perang Bharatayudha. Ia
adalah Arjuna.
Teringat jelas
dalam ingatan ketika Arjuna menyaksikan satu per satu putranya gugur dalam
perang Bharatayudha. Bahkan sejak hari pertama ketika Irawan, putra tertuanya,
gugur sebagai pahlawan. Beberapa hari kemudian putra-putranya lain berguguran
termasuk putra bungsunya, Abimanyu, dengan kondisi tubuh mengenaskan. Tak dapat
dikenali karena hancur disiksa Jayadrata.
Arjuna meneteskan
air mata, tanpa mengeluarkan suara. Untuk pertama kalinya ia menangis. Ia,
seorang prajurit andalan Pandawa, ksatria Madangkara, sakti madraguna. Ia yang
menjadi tangan Batara Wisnu menumpas kejahatan. Ia yang sempat ingin mundur dan
tak percaya diri harus menghadapi semua sesepuh Hastina yang ia hormati selama
ini. Ia yang diberi nasehat moral oleh Kresna, sehari menjelang perang. Tak
pernah ia menangis seumur hidupnya. Kini ia mendapati dirinya ambruk tanpa
daya. Kehilangan seluruh putranya adalah cobaan yang tak terbayangkan. Buat apa
kemenangan jika ia kehilangan seluruh putra yang disayanginya?
Arjuna ingat
ketika Irawan datang ke hadapannya menjelang perang. Irawan yang sejak
kanak-kanak tak pernah ditengoknya. Tak pernah dipeluknya. Tak pernah
mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Kini menghadap Arjuna, memohon agar
dapat menunaikan tugas darma bakti sebagai seorang anak kepada ayahnya, dan
sebagai seorang pembela kebenaran. Ia mohon meminta agar dipercaya dan direstui
ikut berperang. Arjuna ingat dirinya sendiri pada usia yang sama. Irawan tak
jauh beda keras kepala dengannya.
Terharu ia memeluknya.
Irawan sangat mirip ibunya, dan mewarisi kegagahan ayahnya. Arjuna tahu Irawan
mendapat bekal cukup dari kakeknya, mertua Arjuna. Tak ada yang lebih
membanggakan selain melihatnya kini sebagai seorang pemuda tangguh dan tampan. Tidak
akan mudah lawan manapun berhadapan dengannya, apalagi jika ia memegang busur
dan anak panahnya. Irawan hanya kalah pengalaman dari ayahnya dalam senjata
andalannya ini. Arjuna memberinya izin dan restu, dan meminta Irawan bergabung
dengan saudara sepupunya Gatotkaca, dan adik tirinya, Abimanyu di tenda lain.
Irawan sangat gembira dan berjanji tak akan mengecewakan ayahnya.
Di atas bukit Arjuna,
masih duduk melamun, kini memegang kalung milik Irawan. Kalung itu dulunya
pemberian Arjuna kepada ibu Irawan saat mereka memadu janji. Dengan kalung ini
Irawan selalu ingat dan mencintai ayahnya, dan tak pernah lepas dari lehernya.
Arjuna ingat
ketika itu hari pertama perang. Ia sudah mengingatkan Irawan agar tak bertempur
jauh darinya. Ini adalah pengalaman pertama Irawan di medan perang dengan
ribuan orang saling membunuh. Arjuna tak ingin ia celaka. Di tengah hari ia berhadapan
dengan Raja Mangkara, sekutu Kurawa dari seberang lautan. Perawakannya halus
meski berkulit kasar, selayaknya penduduk tepi pantai. Kesaktiannya mencapai
puncak di tengah hari. Semakin terik sinar matahari, semakin saktilah Raja
Mangkara.
Kecerdikan
Arjuna-lah yang mengalahkannya, saat panahnya menciptakan hujan sesaat. Pelangi
yang tercipta membuyarkan sumber kekuatan Raja Mangkara. Usai menghentikan
perlawanan, ia sadar Irawan tak lagi berada di dekatnya. Di kejauhan ia lihat
Irawan sedang bertempur melawan Raja Dinasan. Arjuna tahu siapa raja itu, dan
seberapa tinggi kesaktiannya. Irawan akan kewalahan menghadapinya. Arjuna
berteriak memanggil Irawan, namun suasana perang menenggelamkan suara Arjuna.
Irawan tak mendengarnya. Arjuna sedang berlari menuju Irawan, ketika pedang
raja Dinasan menusuk perut Irawan. Irawan jatuh tersungkur. Arjuna melepaskan
panah dan Raja Dinasan pun gugur. Namun ia sudah terlambat. Irawan
menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Arjuna. Ia tak sempat mengucapkan
salam perpisahan. Irawan hanya tersenyum, sebelum matanya pun menutup untuk
selamanya. Hanya kalung itu yang sempat diberikan kepada ayahnya. Irawan adalah satu dari beberapa putra
Arjuna yang bertarung hari itu, dan ia yang pertama gugur membela negara dan
ayahnya.
Arjuna memegang
sebuah patung ukiran yang sangat indah. Patung sepasang burung yang sedang
bermesraan, pemberian Mukti, seorang putranya. Patung ini diberikan Mukti
ketika Arjuna sedang berkemas berangkat perang dari kerajaan Wirata. Di
pekarangan istana yang demikian luas itu terdapat puluhan punggawa sedang
menyiapkan perbekalan dan perlengkapan perang. Rakyat Wirata juga bersemangat
membantu para prajurit terbaiknya agar memenangkan perang kebaikan melawan
kejahatan.
Di antara
lalu-lalang ratusan punggawa dan rakyat itulah seorang pemuda tiba setelah
perjalanan ratusan kilometer dari padepokannya. Saat itu Arjuna melihatnya
sedang kebingungan di pintu gerbang istana. Setiap ia melambaikan tangan ingin
bertanya, tak seorang pun mengindahkannya karena sibuk. Wajahnya tampak akrab,
tapi Arjuna tidak ingat siapa dia. Pemuda itu, kelak diketahuinya bernama Mukti,
hanya membawa sebuah karung putih di bahunya, serta sebilah pedang dengan
sarung indah di pinggangnya. Tampak ia sangat menjaga karung itu, karena tampak
lebih bersih dibandingkan pakaiannya yang sudah bercampur debu, tanah dan
keringat.
Ketika Arjuna
mendekat, pemuda itu berpaling dan menatapnya. Ada ekspresi terkejut di
wajahnya dan seketika ia berlutut menghormatinya. Barulah ketka Mukti
menyebutkan namanya, Arjuna sadar pemuda ini adalah seorang putranya. Terakhir
kali bertemu, Mukti baru bisa merangkak. Ia tak menangis ketika Arjuna berjalan
pergi meninggalkan ia dan ibunya, untuk pergi menuntut ilmu. Saat itu ia tak
punya pilihan lain selain harus menuntut ilmu dan kesaktian agar mampu
memenangkan perang Bharatayudha kelak. Demikian pesan Kresna, penasehat
sekaligus kakak sepupu Arjuna.
Arjuna terharu
ketika Mukti bercerita mendapat mimpi. Ayahnya berteriak minta pertolongan
terkepung musuh. Terdesak karena serangan pukulan jarak jauh, hujan panah dan
tombak, Arjuna tampak lelah. Ketika sebuah pecut berujung cakra melayang
medekati wajahnya, Mukti terbangun dari mimpi. Mukti sadar bahwa Arjuna
membutuhkannya segera, dan ia minta izin kepada kakek dan ibunya untuk pergi
berperang.
Kini ia sudah
berada di hadapan Arjuna dan mohon diizinkan ikut perang Bharatayudha. Arjuna
memanggil pelayan istana untuk membawakan kantong Mukti. Menurut Mukti, kantong
ini tak berisi lain selain sebuah patung sepasang burung yang ia buat ketika
remaja. Patung sepasang burung terbuat dari batu mulia ini melambangkan
ayah-ibunya. Ia menyimpannya agar kelak dapat diberikan langsung kepada
ayahnya. Arjuna terharu dan mengajaknya makan sambil berkenalan dengan keluarga
Pandawa. Sambil berjalan Mukti menyampaikan salam cinta ibundanya kepada
ayahanda, sambil berpesan untuk mengajaknya pulang usai Bharatayudha.
Adalah hari
kelima Bharatayudha, ketika Gatotkaca datang membawa seorang jenazah pemuda ke
hadapan Arjuna. Ia baru saja mengalahkan tiga orang Kurawa. Ketika itu hari
mulai gelap dan Arjuna tak segera mengenali jenazah putranya Mukti. Gatotkaca
minta maaf tak dapat menolong Mukti lebih awal. Sebelum wafat Mukti titip pesan
kepada Gatotkaca, agar Arjuna kelak menengok ibunya yang merindukannya di
padepokan. Arjuna hanya bisa memeluk jenazah Mukti, sambil meneteskan air mata.
Arjuna kedatangan
tamu istimewa. Wisanggeni. Ia seorang putra Arjuna yang mahasakti. Ibunya
seorang bidadari, dan Wisanggeni mewarisi kesaktian ibunya. Tak ada yang
sanggup mengalahkan Wisanggeni, bahkan Kresna sekalipun. Tapi Wisanggeni dilarang
ikut perang Bharatayudha. Tidaklah adil bagi semua pihak, karena Wisanggeni
mampu mengalahkan Kurawa hanya dalam hitungan detik. Tanpa perlu setetes
keringat. Kini Wisanggeni berdiri tegak dan tubuhnya bercahaya. Sangat kontras
dibandingkan pepohonan bukit yang rimbun ini.
”Jangan bersedih Ayah”,
ucap Wisanggeni. ”Semua saudara-saudara ku itu kini berdiam di istanaku. Mereka
kuterima karena mereka adalah saudara-saudaraku. Anak-anakmu juga. Bahkan ibuku
menyayangi mereka, sama halnya seperti menyayangiku. Relakan mereka ayah.”
”Aku tak mampu,
anakku”, jawab Arjuna. ”Aku kehilangan mereka. Bahkan aku tak sempat bertanya
apa kegemaran atau binatang peliharaan mereka. Aku bahkan tidak sempat bertanya
apakah mereka sudah menikah dan memiliki anak. Jika punya, aku ingin mengasuh
mereka. Sesuatu yang tidak aku lakukan ketika ayah mereka masih kanak-kanak.”
”Jika ini mampu
menghiburmu, kuberikan sebuah cermin dari istanaku. Dalam cermin ini dapat ayah
lihat Irawan, Mukti, dan putra-putra ayah lainnya tertawa bahagia. Aku akan
menjaga mereka ayah, hingga kelak ayah bergabung bersama kami.” Wisanggeni
memberikan sebuah cermin indah mungil. Berbingkai bukan emas perak melainkan
batu pualam yang diketahuinya hanya terdapat di Swargaloka, rumah Wisanggeni. Ia
dapat melihat anak-anaknya yang sudah gugur sedang tersenyum dan tertawa.
”Terima kasih
anakku. Sampaikan salamku untuk mereka. Sampaikan juga salamku untuk ibumu.
Kelak tak lama lagi aku akan bergabung dengan kalian. Aku merindukan kalian
semua,” senyum Arjuna kepada Wisanggeni sambil mendekap cermin indah itu.
Wisanggeni pamit
kepada Arjuna, dan menghilang dari pandangan.
Kehadiran
Wisanggeni sangat menghibur Arjuna. Ia menatap cermin di tangannya. Terlihat Abimanyu di antaranya. Arjuna
kembali bersedih. Abimanyu adalah putra bungsunya, dan putra kesayangannya. Ia
baru berusia 3 tahun ketika Arjuna harus pergi meninggalkan Subadra, dan
mengasingkan diri bersama Pandawa karena mereka kalah permainan dadu. Sebelas
tahun mereka terpisah, dan baru di tahun ke-12 Arjuna berjumpa lagi dengan
Subadra dan Abimanyu, yang ketika itu sudah remaja. Abimanyu adalah potret
identik ayahnya. Tindak tanduknya pun persis.
Tak lama sebelum
perang Bharatayudha, Abimanyu dinikahkan dengan Utari. Malam pengantin mereka
terhitung singkat, karena harus menyiapkan perbekalan perang. Abimanyu bertanggung
jawab mengkoordinir pasukan panah dan perbekalannya. Ia diandalkan menyiapkan
senjata jarak jauh. Perjumpaannya dengan Mukti, kakak yang baru dikenalinya,
adalah puncak kegembiraannya hari itu. Mereka saling membantu menyiapkan
peralatan perang dan prajurit.
“Kamu tidak perlu ikut perang”, ucap Arjuna. “Kau masih muda, tidak punya pengalaman
sama sekali, dan kau baru saja menikah. Nikmatilah masa pengantinmu.”
”Tapi aku ingin
pergi perang, Ayah. Aku kini seorang pemuda dewasa, dan sudah kewajibanku
sebagai seorang warga negara untuk mengabdi dan melawan kejahatan. Izinkanlah
aku pergi,” ucap Abimanyu.
Berat rasanya
Arjuna mengizinkan putra bungsunya ini ikut ke medan Kurusetra. Apa yang
dikhawatirkan terjadi. Abimanyu terkepung Kurawa, dan tak ada satupun prajurit
dan ksatria Pandawa di dekatnya. Kurawa menghujaninya dengan panah. Abimanyu
terus merangsek maju, menghalau hujan panah. Sesekali pedang lawan menyambar
tubuhnya. Sambil meringis kesakitan, Abimanyu terus melawan hingga akhirnya ia
jatuh lemas, kehabisan darah.
Datanglah
Jayadrata yang menaruh dendam kepada Arjuna. ”Biar Arjuna rasakan kehilangan
putra kesayangannya!”, teriak Jayadrata. Dengan sekali ayun, pedang Jayadrata
mengakhiri hidup Abimanyu. Masih belum puas, Jayadrata menginjak, menendang,
meludahi, memukul, mencincang tubuh Abimanyu hingga tubuhnya rusak dan wajahnya
tak dikenal.
Matahari telah
terbenam ketika Arjuna kembali ke tendanya. Kelelahan dan penuh luka, Arjuna
tidak ingat Abimanyu tidak hadir di tenda nya. Subadra datang ke tenda Arjuna
dan mengajaknya keluar. Wajah Subadra yang cantik bagaikan rembulan kini hadir redup
dan tidak menjawab pertanyaan Arjuna, ”Ada apa gerangan? Hendak kemana kita?”
Subadra mengajak
Arjuna ke tenda pengobatan. Aroma darah dan isak tangis prajurit memenuhi
ruangan. Subadra membimbing Arjuna berjalan melewati para korban yang sedang
dirawat, hingga ke bagian paling belakang tenda. Di sana berkumpul seluruh
Pandawa dan Kresna. Wajah mereka tertunduk muram, tak berani menatap Arjuna. Di
hadapan mereka tampak sesosok jenazah ditutup kain berlumur darah. “Abimanyu
telah gugur sebagai pahlawan, adikku. Jenazahnya rusak dan tak dapat dikenali,
seandainya saja gelang pemberian Subadra tak ia kenakan. Kau tak perlu meilhat
keadaannya, saudaraku. Ikhlaskanlah kepergiannya. Jayadrata sungguh kejam,”
kata Kresna.
Arjuna diam
terpaku, tak percaya mendengarnya. Satu persatu ia tatap wajah Yudhistira,
Kresna, Bima, Nakula, Sadewa, hingga ia menatap Subadra. Istrinya hanya duduk tertunduk
meneteskan air mata. Utari duduk di sisi jenazah, juga tanpa kata. Hanya isak
tangis yang terdengar darinya. Masih tak percaya, Arjuna melangkah menuju
jenazah. Kresna menahannya, “Kau tak perlu melihatnya. Biarkanlah ia istirahat
dengan tenang.” Arjuna tetap melangkah dan menyingkap kain penutup jenazah. Tak
kuat ia melihat kondisi tubuh putra kesayangannya, Arjuna jatuh pingsan.
Tak tahu berapa
lama ia tak sadarkan diri. Sesaat serasa selamanya. Perlahan ia bangkit. Sambil
menatap jenazah Abimanyu yang tertutup, Arjuna bersumpah, jika hingga matahari
terbenam besok ia tak mampu membunuh Jayadrata, ia akan bunuh diri. Petir pun
menggelegar ketika Arjuna usai mengucapkan sumpahnya.
Yudhistira
berkata kepada Kresna, usai Arjuna dan Subadra meninggalkan tenda, “Bagaimana
jika hingga besok sore Arjuna tak mampu membunuh Jayadrata? Tak mungkin kita
mampu melawan Kurawa yang diperkuat Karna. Tak ada yang mampu menandingi Karna
selain Arjuna.”
”Serahkan padaku”,
ucap Kresna. ”Aku akan mengawasi Arjuna.”
Keesokan harinya,
Arjuna tampil di medan perang tanpa belas kasihan. Semua lawan yang ada di
hadapannya dihabisi dengan dingin. Tak ada lagi lawan yang diberi kesempatan
untuk membela diri dan diajak untuk beralih pihak. Semua dihabisi tanpa ampun.
Matanya kosong tanpa ekspresi. Kurawa mendengar berita tentang sumpah Arjuna. Jayadrata
bersembunyi dikawal Karna. ”Jangan kau pergi dari penglihatanku. Sebatang panah
sudah cukup untuk menghabisimu, dan aku takkan mampu menghadapi Arjuna yang
sedang membabi buta. Siapapun tak akan mampu melawan Arjuna yang sudah mata
gelap, bahkan aku sekalipun”, ucap Karna.
Hari menjelang sore
ketika Arjuna tak mampu menemukan Jayadrata. Hari semakin petang dan Kurawa
menantikan Arjuna bunuh diri. Kresna mengeluarkan cakra dan diterbangkannya ke
langit menutupi matahari dan tampak medan Kurusetra menjelang malam. Hanya
Arjuna yang tahu hari sesungguhnya masih siang. Ia tahu, hanya sebuah Cakra
yang mampu mengelabui penglihatan semua orang kecuali dirinya.
Jayadrata
bernafas lega. Hari sudah malam, dan nyawanya pun selamat. Ia ingin menyaksikan
Arjuna bunuh diri dan melompat kegirangan. Ia akan menjadi orang yang paling
bahagia hari itu. Diam-diam ia menyelinap dari sisi Karna dan turun ke medan
perang. Saat Karna sadar Jayadrata menghilang, ia segera memanggil mencarinya. Tidak
sulit bagi Arjuna melihat Jayadrata ada di tengah kerumunan. Dengan cepat
ditariknya Pasopati dan busur. Diarahkan kepada Jayadrata. Hanya dalam hitungan
detik panah Pasopati dilepas, dan gugurlah Jayadrata. Kresna menarik kembali
cakranya, dan langit kembali cerah. Karna berlutut lemas. Ia terlambat
menyelamatkan Jayadrata.
“Tak guna
aku membalas dendam. Abimanyu
tetap gugur. Ia tak akan pernah kembali, ucap Arjuna sambil memegang cermin dan
gelang Abimanyu. Ia menangis. Seandainya saja saat itu ia melarang Abimanyu
ikut perang. Seandainya saja saat itu ia mendampingi Abimanyu. Seandainya saja
saat itu ia meminta Gatotkaca mengawal Abimanyu. Seandainya.....
Subadra menaiki
bukit, mendekati Arjuna. Wajahnya cantik, tak ada duanya. Konon separuh
kecantikan wanita di dunia ini berada padanya. Warna kulitnya coklat rona,
berbeda dengan kebanyakan putri keraton yang putih langsat. Rambut bergelombang
dan harumnya semerbak. Ia duduk di samping Arjuna tanpa sepatah kata. Kepalanya
disandarkan kepada pundak Arjuna, yang lalu membelai rambutnya.
”Janganlah
menangis suamiku. Aku juga kehilangan Abimanyu. Ia putraku satu-satunya. Aku
juga kehilangan Irawan, Mukti, dan semua putra-putra kita lainnya. Walaupun
mereka lahir tidak dari rahimku, mereka tetap anak-anakku. Aku menyayangi
mereka sebagaimana aku menyayangi Abimanyu”, hibur Subadra.
Arjuna tak
menjawab, hanya memberikan cermin pemberian Wisanggeni kepada Subadra. Tampak
Abimanyu dan seluruh putra Arjuna lainnya berada di dalamnya, tersenyum. ”Darimana
kau dapat ini?”,tanya Subadra. ”Wisanggeni memberikannya padaku. Mereka semua
kini berada di istana Wisanggeni, hidup damai di dalamnya,” jawab Arjuna
”Aku menyesal
akan semua peristiwa ini. Pandawa menang perang. Tapi kita kehilangan semua.
Kakek Bhisma, Kakek Dorna, dan semua orang yang kita hormati. Semua sahabat dan
saudara kita juga gugur. Yang paling membuatku terpukul, semua putraku telah
gugur,” ucap Arjuna sambil menatap langit yang mulai jingga kemerahan. Arjuna perlahan
bangkit. Subadra tetap pada posisinya.
Sambil memandang
mentari yang meredup suaranya lirih terdengar,”Aku, seorang ayah, tak pernah
memberikan kasih sayang kepada putra-putraku. Aku tak sempat mendidik dan
membimbing mereka. Aku tak sempat mengajari mereka berjalan dan bermain. Aku bahkan
tak sempat melihat mereka tumbuh dan menikah. Tak pernah aku mengunjungi mereka
selama ini. Bahkan ketika aku dan Pandawa diasingkan selama 11 tahun. Ketika
mengetahui Pandawa akan berperang, mereka berdatangan dan sujud hormat kepadaku.
Mohon diizinkan dan direstui untuk ikut membela negara, melawan kejahatan, dan berbakti
kepada ayahnya. Aku-lah yang mengantarkan mereka kepada kematian. Aku, seorang
ayah, yang tak pernah memberi kasih sayang apapun kepada mereka, dan mereka
memberikan nyawanya kepadaku! Tidak berharga diriku sebagai manusia atau
sebagai ksatria! Bahkan sebagai seorang ayah pun aku tak mampu! Buat apa
kemenangan Bharatayudha ini? Aku kehilangan semua putra yang kucintai. Dahulu
aku yang pertama menimangnya saat lahir, dan aku juga yang memakamkan mereka”,
ucap Arjuna.
”Jangan kau
bersedih suamiku. Ya, memang
mereka telah gugur. Tapi mereka gugur sebagai pahlawan. Mereka gugur karena
membela kebenaran. Membela negaranya. Mengabdi kepada ayahnya, yaitu kau.
Mereka bangga mengorbankan nyawanya untuk itu semua. Jika saja kau mampu
menanyakannya kepada mereka kini, aku yakin jawaban mereka tak berubah,“ hibur
Subadra. ”Ikhlaskanlah kepergian mereka. Kematian mereka tidaklah sia-sia. Pandawa menang perang. Pandawa
mendapatkan haknya kembali atas Hastina”, ucap Subadra.
”Tapi itu semua
tak ada artinya karena aku kehilangan semua anak-anakku. Buat apa Hastina, jika
tak ada siapapun yang dapat kubagi? Hanya kejayaan omong kosong!”, tanya
Arjuna.
”Kau masih
memiliki aku”, ucap Subadra, ”Dan cucu kita”.
”Siapa?”, tanya
Arjuna sambil menoleh keheranan kepada istrinya.
”Dua hari sebelum
Abimanyu gugur, Utari memberitahukan padaku bahwa dia terlambat datang bulan.
Ia hamil, suamiku. Anak Abimanyu. Cucu kita. Utari tak sempat memberitahu
suaminya. Ia tak ingin membuat Abimanyu terbagi, jika mengetahui istrinya
sedang mengandung. Kini ia terpukul dengan gugurnya Abimanyu. Ia menyesal
Abimanyu tak mengetahui kehamilannya hingga gugur. Kandungannya masih lemah.
Aku khawatir ia akan keguguran. Tugas kita berdua-lah menjaganya, sebagaimana
kita menjaga Abimanyu saat kecil. Tanggung jawab kita-lah merawat Utari dan
membesarkan cucu kita. Masih ada harapan, suamiku. Jika tadi kau bertanya,
untuk apa semua yang kita menangkan ini? Untuk siapa? Aku tahu jawabannya. Anak
yang ada dalam kandungan Utari itu. Kelak semua ini untuk dia. Anak itulah yang
akan mewarisi ini semua. Semua kebajikan yang kau dan saudara-saudaramu
tanamkan padanya,” ucap Subadra sambil bangkit maju menghampiri Arjuna.
Arjuna tertegun
mendengarkan ucapan istrinya. Ditatapnya langit yang semakin gelap. Sinar
matahari berpendar di kejauhan. Ditatapnya cermin Wisanggeni, tampak semua
anaknya tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Arjuna kini sadar akan
tanggung jawabnya yang baru, membesarkan anak Abimanyu. Hanya itulah yang ia
sanggup lakukan sebagai tanda terima kasih kepada Abimanyu dan seluruh putranya
yang gugur di padang Kurusetra. Ia berharap kelak dapat berkumpul lagi dengan
seluruh anak-anak yang dicintainya. Disimpannya cermin dan semua benda kenangan
anak-anaknya.
Ia mengangkat
kepalanya, menghela nafas dan mengulurkan tangannya kepada Subadra. ”Mari
istriku, aku tak mampu melakukannya sendiri. Maukah kau membantuku? Setelah
kembali ke Amartapura, temani aku menengok semua ayah dan ibu yang putra-putranya,
serta para istri dan anak prajurit yang kini yatim. Mereka gugur untukku dan
Amartapura. Aku ingin menebus kelalaianku dan membayar terima kasihku selama
ini. Aku akan merangkul dan mengasuh cucu-cucuku yang lain, dan menerima para
anak yatim itu selayaknya anakku sendiri,” tekad Arjuna dengan bulat.
Subadra tersenyum
dan berdiri bangkit memegang tangan Arjuna. Keduanya berhadapan. Subadra mencium tangan suaminya
dan ditempelkannya ke pipi kirinya. Keduanya lalu berjalan bergandengan tangan menuruni bukit. Tenda-tenda putih
Pandawa mulai tampak dari kejauhan. “Jika anak Abimanyu kelak laki-laki, siapa
nama yang ingin kau berikan?”, Tanya Subadra.
”Parikesit”,
jawab Arjuna.
== April, 2010===
Komentar
Posting Komentar