CHRISYE: SEBUAH MEMOAR MUSIKAL
Sabtu, 17 Februari 2007
Sore itu saya beserta keluarga sedang berakhir pekan di sebuah mal dibilangan Jakarta Selatan. Saat itulah sebuah sms datang. Isinya undangan untuk menghadiri peluncuran buku biografi Chrisye: Sebuah Memoar Musikal. Mbak Gretiani, editor Gramedia Pustaka Utama, nyaris lupa memberitahukan kabar penting ini. Setelah berunding singkat dengan istri, berangkatlah kami sekeluarga ke The Occasion, Dharmawangsa Square, Jakarta. Saat itu hari telah pukul 17.00 WIB.
Sekitar 2 minggu sebelumnya mbak Gretiani sempat bercerita akan terbitnya buku biografi Chrisye ini. Saat itu saya sudah terbayang2 seorang legenda musik Indonesia bernama Chrismansyah Rahadi, alias Chrisye. Betapa tidak, selain Beatles dan Guruh Soekarno Putra, Chrisye adalah musik pop pertama yang saya kenal. Saat berusia 10 tahun, saya sudah sering menyanyikan lagu Juwita dari album Sabda Alam. Kaset album Percik Pesona dan Pantulan Cita saat itu sering sekali saya dengarkan. Tidaklah malu untuk mengatakan saya tumbuh besar bersama musik Chrisye.
Sekitar 17.40 WIB kami tiba di tempat acara. Konferensi pers sudah usai, namun saya sekeluarga sempat bercakap2 dengan mbak Gretiani. Kami membicarakan tentang proses penyusunan buku biografi ini yang ditulis oleh Alberthiene Endah. Sebelumnya ia dikenal dengan karya serupa untuk Kris Dayanti dan Venna Melinda. Proses penyusunan yang dimulai saat Chrisye sedang menjalani terapi atas sakit kankernya, terasa sangatlah berat. Bersyukurlah bahwa Chrisye mendapati dirinya termotivasi dan bersemangat untuk `pulih' demi menyelesaikan buku ini. Sebuah perjuangan yang berat, mengingat kondisi kesehatannya yang sering tidak stabil. Bahkan mbak Gretiani memberikan satu2nya buku contoh/ proof read sebelum naik cetak atas permintaan Alberthiene, untuk diberikan kepada Chrisye yang saat itu sedang tak bersemangat.
Saya sempat berbincang sejenak dengan Alberthiene dan mendapatkan tanda tangannya pada buku ini. Betapa senangnya saya! Alangkah lebih senang jika Chrisye juga dapat membubuhkan miliknya. Namun saya menyadari kemungkinannya sangat kecil. Bahkan untuk hadir malam itu pun rasanya mustahil. Tidak jauh dari saya sekeluarga berdiri nampak sahabat lama Chrisye, Guruh Soekarno Putra, sedang diwawancara wartawan. Acara peluncuran buku ini memang hajatan bersama antara Gramedia Pustaka Utama, Guruh Soekarno Putra, dan keluarga Chrisye. Saya sempatkan pula berbincang sebentar dengan Harvey Malaihollo. Baru 24 jam yang lalu kami bertemu saat peluncuran album kompilasinya di Hard Rock Café, Jakarta. Dikejauhan nampak Hedi Yunus sedang bersiap2 karena akan menjadi MC acara malam itu. Putri pertama saya, Ratnadya, tersipu malu saat saya ajak untuk berfoto bersama Hedi Yunus, sang vokalis band Kahitna.
Rupanya status undangan khusus (artinya datang tanpa undangan dan nama tidak terdaftar) membuat kami tak terusik. Sepanjang sore itu kami terus berada dalam ruangan, menyaksikan berbagai persiapan, sementara semua orang yang tak berkepentingan diminta untuk menunggu diluar. Sementara itu saya menghabiskan waktu dengan membaca buku Chrisye: Sebuah Memoar Musikal. Foto2nya banyak sekali dan gaya bahasa yang digunakan Alberthiene sangat enak dibaca. Seakan2 kita membaca buku harian Chrisye. Kata demi kata begitu mengalir lancar. Fokus saya tentu saja era disaat Chrisye bergabung dengan Gipsy Band, dan kemudian Guruh Gipsy. Wah banyak sekali dokumentasi yang belum pernah saya lihat. Kisah seputar Gipsy Band pun mendapat porsi banyak, yang menurut Chrisye adalah milestone penting dalam hidupnya.
Bab penting lainnya adalah proses rekaman album Guruh Gipsy ditahun 1976. Walaupun saya masih menyimpan artikel yang ditulis Theodore KS di harian Kompas beberapa tahun yang lalu, tetap saja saya masih terkagum2 membaca kisah proses rekamannya. Bacaan pun beralih ke era Lomba Cipta Lagu Remaja 1977 yang melambungkan Chrisye sebagai seorang vokalis. Siapa sih yang tidak kenal Lilin-lilin Kecil? Kertas pun berlanjut ke era Jurang Pemisah dan, album masterpiece di dunia musik pop Indonesia sepanjang masa. Album yang kelak akan mengubah wajah musik pop Indonesia selamanya, Badai Pasti Berlalu. Ia juga bercerita pengalamannya menonton konser Yes dan Chick Corea. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Selain itu juga betapa besar pengaruh musik Beatles bagi hidupnya.
Sekitar pukul 19.00 WIB keluarga Chrisye mulai berdatangan. Yanti Noor hadir didampingi putri2nya. Saya mengenali Nissa, putri Chrisye & Yanti Noor yang beberapa bulan yang lalu bernyanyi bersama seluruh sepupunya dari Noor Bersaudara di malam reuni Gipsy Band (ketika itu Chrisye juga hadir menyanyikan sebuah lagu). Kedua putri saya terkagum2 menyaksikan artis2 melangkah dihadapan mereka. Mulai dari Titiek Puspa, AB Three, Surya Saputra, Thomas Djorghi, Dwiki Darmawan, Jay Subiyakto, Guruh Soekarno Putra dan kakaknya mantan presiden RI, Megawati Soekarno Putri. Tak jauh dari tempat kami duduk, nampak Gauri dan Keenan Nasution, Sys NS, Ida Royani, Dewi Sandra dan lainnya. Tak disangka pula saya bertemu seorang kawan lama. Iwan Hasan, hadir bersama istri dan ke-empat putra-putrinya. Rupanya ke-empat putra-putrinya tergabung dalam grup ensemble yang akan tampil dipanggung memberikan persembahan bagi Chrisye.
Pukul 20.00 WIB acara dimulai. Setelah Heidi Yunus menyambut tamu, hadirlah 4 orang penari cantik dari GSP dengan kostum biru tosca diiringi lantunan lagu Seni. Saya ingat ketika itu tahun 1984 rasanya ketika pagelaran Guruh Soekarno Putra: Cinta Indonesia diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta. Ketika itu Chrisye tampil dengan lagu ini, dan kini lagu yang sama menyambut tamu. Bedanya hanya rekaman suara Chrisye yang terdengar. Senang rasanya kedua putri saya terkagum2 dengan penampilan para penari. Sayang panggung yang kurang luas membuat tarian kurang all-out.
Guruh Soekarno Putra menyampaikan sambutan, dilanjutkan dengan sambutan dari Yanti Noor didampingi kedua putrinya Risty dan Nissa. Sebuah video yang menggambarkan kondisi Chrisye yang sedang sakit membuat kami semua terharu. Pada kesempatan itu pula Adam Air memberikan santunan pengobatan selama dua tahun kepada Chrisye. Sayang kualitas sound system tidaklah bagus. Semua suara mereka yang di panggung, nyaris tak terdengar. Akhirnya saya melanjutkan membaca buku ini. Banyak cerita terkuak didalamnya, terutama kisah dibalik Badai Pasti Berlalu. Salah satunya adalah lagu Merepih Alam yang merupakan lagu pertama yang ditulis Chrisye. Kisah lainnya adalah penjualan hak album tsb kepada perusahaan rekaman.
Salah satu penampilan terbaik malam itu adalah ensemble dari Kawai. Ke-empat putra putri Iwan Hasan semuanya ikut partisipasi dan bersama sekitar 10 anak lainnya membawakan lagu Chrisye berjudul Seperti Yang Kau Minta. Semua hadirin tampak tersenyum menyaksikan anak2 ini dengan lugu dan percaya diri, termasuk kedua putri saya yang begitu kagum.
Malam sudah menyentuh pukul 21.00 WIB saat kedua putri saya mulai mengantuk. Terpaksa saya dan istri mengalah dan pamit pulang. Padahal masih banyak penampilan yang akan hadir, termasuk Glenn Fredly.
Sudah sepantasnya seorang legenda seperti Chrisye menerbitkan sebuah buku biografi. Terima kasih kepada Alberthiene Endah, Alex Kumara, Guruh Soekarno Putra, Gramedia Pustaka Utama, dan tentu saja keluarga Chrisye atas karya yang luar biasa bagus ini. Semoga buku ini akan memicu lahirnya buku2 biografi para legenda berikutnya.
Sore itu saya beserta keluarga sedang berakhir pekan di sebuah mal dibilangan Jakarta Selatan. Saat itulah sebuah sms datang. Isinya undangan untuk menghadiri peluncuran buku biografi Chrisye: Sebuah Memoar Musikal. Mbak Gretiani, editor Gramedia Pustaka Utama, nyaris lupa memberitahukan kabar penting ini. Setelah berunding singkat dengan istri, berangkatlah kami sekeluarga ke The Occasion, Dharmawangsa Square, Jakarta. Saat itu hari telah pukul 17.00 WIB.
Sekitar 2 minggu sebelumnya mbak Gretiani sempat bercerita akan terbitnya buku biografi Chrisye ini. Saat itu saya sudah terbayang2 seorang legenda musik Indonesia bernama Chrismansyah Rahadi, alias Chrisye. Betapa tidak, selain Beatles dan Guruh Soekarno Putra, Chrisye adalah musik pop pertama yang saya kenal. Saat berusia 10 tahun, saya sudah sering menyanyikan lagu Juwita dari album Sabda Alam. Kaset album Percik Pesona dan Pantulan Cita saat itu sering sekali saya dengarkan. Tidaklah malu untuk mengatakan saya tumbuh besar bersama musik Chrisye.
Sekitar 17.40 WIB kami tiba di tempat acara. Konferensi pers sudah usai, namun saya sekeluarga sempat bercakap2 dengan mbak Gretiani. Kami membicarakan tentang proses penyusunan buku biografi ini yang ditulis oleh Alberthiene Endah. Sebelumnya ia dikenal dengan karya serupa untuk Kris Dayanti dan Venna Melinda. Proses penyusunan yang dimulai saat Chrisye sedang menjalani terapi atas sakit kankernya, terasa sangatlah berat. Bersyukurlah bahwa Chrisye mendapati dirinya termotivasi dan bersemangat untuk `pulih' demi menyelesaikan buku ini. Sebuah perjuangan yang berat, mengingat kondisi kesehatannya yang sering tidak stabil. Bahkan mbak Gretiani memberikan satu2nya buku contoh/ proof read sebelum naik cetak atas permintaan Alberthiene, untuk diberikan kepada Chrisye yang saat itu sedang tak bersemangat.
Saya sempat berbincang sejenak dengan Alberthiene dan mendapatkan tanda tangannya pada buku ini. Betapa senangnya saya! Alangkah lebih senang jika Chrisye juga dapat membubuhkan miliknya. Namun saya menyadari kemungkinannya sangat kecil. Bahkan untuk hadir malam itu pun rasanya mustahil. Tidak jauh dari saya sekeluarga berdiri nampak sahabat lama Chrisye, Guruh Soekarno Putra, sedang diwawancara wartawan. Acara peluncuran buku ini memang hajatan bersama antara Gramedia Pustaka Utama, Guruh Soekarno Putra, dan keluarga Chrisye. Saya sempatkan pula berbincang sebentar dengan Harvey Malaihollo. Baru 24 jam yang lalu kami bertemu saat peluncuran album kompilasinya di Hard Rock Café, Jakarta. Dikejauhan nampak Hedi Yunus sedang bersiap2 karena akan menjadi MC acara malam itu. Putri pertama saya, Ratnadya, tersipu malu saat saya ajak untuk berfoto bersama Hedi Yunus, sang vokalis band Kahitna.
Rupanya status undangan khusus (artinya datang tanpa undangan dan nama tidak terdaftar) membuat kami tak terusik. Sepanjang sore itu kami terus berada dalam ruangan, menyaksikan berbagai persiapan, sementara semua orang yang tak berkepentingan diminta untuk menunggu diluar. Sementara itu saya menghabiskan waktu dengan membaca buku Chrisye: Sebuah Memoar Musikal. Foto2nya banyak sekali dan gaya bahasa yang digunakan Alberthiene sangat enak dibaca. Seakan2 kita membaca buku harian Chrisye. Kata demi kata begitu mengalir lancar. Fokus saya tentu saja era disaat Chrisye bergabung dengan Gipsy Band, dan kemudian Guruh Gipsy. Wah banyak sekali dokumentasi yang belum pernah saya lihat. Kisah seputar Gipsy Band pun mendapat porsi banyak, yang menurut Chrisye adalah milestone penting dalam hidupnya.
Bab penting lainnya adalah proses rekaman album Guruh Gipsy ditahun 1976. Walaupun saya masih menyimpan artikel yang ditulis Theodore KS di harian Kompas beberapa tahun yang lalu, tetap saja saya masih terkagum2 membaca kisah proses rekamannya. Bacaan pun beralih ke era Lomba Cipta Lagu Remaja 1977 yang melambungkan Chrisye sebagai seorang vokalis. Siapa sih yang tidak kenal Lilin-lilin Kecil? Kertas pun berlanjut ke era Jurang Pemisah dan, album masterpiece di dunia musik pop Indonesia sepanjang masa. Album yang kelak akan mengubah wajah musik pop Indonesia selamanya, Badai Pasti Berlalu. Ia juga bercerita pengalamannya menonton konser Yes dan Chick Corea. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Selain itu juga betapa besar pengaruh musik Beatles bagi hidupnya.
Sekitar pukul 19.00 WIB keluarga Chrisye mulai berdatangan. Yanti Noor hadir didampingi putri2nya. Saya mengenali Nissa, putri Chrisye & Yanti Noor yang beberapa bulan yang lalu bernyanyi bersama seluruh sepupunya dari Noor Bersaudara di malam reuni Gipsy Band (ketika itu Chrisye juga hadir menyanyikan sebuah lagu). Kedua putri saya terkagum2 menyaksikan artis2 melangkah dihadapan mereka. Mulai dari Titiek Puspa, AB Three, Surya Saputra, Thomas Djorghi, Dwiki Darmawan, Jay Subiyakto, Guruh Soekarno Putra dan kakaknya mantan presiden RI, Megawati Soekarno Putri. Tak jauh dari tempat kami duduk, nampak Gauri dan Keenan Nasution, Sys NS, Ida Royani, Dewi Sandra dan lainnya. Tak disangka pula saya bertemu seorang kawan lama. Iwan Hasan, hadir bersama istri dan ke-empat putra-putrinya. Rupanya ke-empat putra-putrinya tergabung dalam grup ensemble yang akan tampil dipanggung memberikan persembahan bagi Chrisye.
Pukul 20.00 WIB acara dimulai. Setelah Heidi Yunus menyambut tamu, hadirlah 4 orang penari cantik dari GSP dengan kostum biru tosca diiringi lantunan lagu Seni. Saya ingat ketika itu tahun 1984 rasanya ketika pagelaran Guruh Soekarno Putra: Cinta Indonesia diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta. Ketika itu Chrisye tampil dengan lagu ini, dan kini lagu yang sama menyambut tamu. Bedanya hanya rekaman suara Chrisye yang terdengar. Senang rasanya kedua putri saya terkagum2 dengan penampilan para penari. Sayang panggung yang kurang luas membuat tarian kurang all-out.
Guruh Soekarno Putra menyampaikan sambutan, dilanjutkan dengan sambutan dari Yanti Noor didampingi kedua putrinya Risty dan Nissa. Sebuah video yang menggambarkan kondisi Chrisye yang sedang sakit membuat kami semua terharu. Pada kesempatan itu pula Adam Air memberikan santunan pengobatan selama dua tahun kepada Chrisye. Sayang kualitas sound system tidaklah bagus. Semua suara mereka yang di panggung, nyaris tak terdengar. Akhirnya saya melanjutkan membaca buku ini. Banyak cerita terkuak didalamnya, terutama kisah dibalik Badai Pasti Berlalu. Salah satunya adalah lagu Merepih Alam yang merupakan lagu pertama yang ditulis Chrisye. Kisah lainnya adalah penjualan hak album tsb kepada perusahaan rekaman.
Salah satu penampilan terbaik malam itu adalah ensemble dari Kawai. Ke-empat putra putri Iwan Hasan semuanya ikut partisipasi dan bersama sekitar 10 anak lainnya membawakan lagu Chrisye berjudul Seperti Yang Kau Minta. Semua hadirin tampak tersenyum menyaksikan anak2 ini dengan lugu dan percaya diri, termasuk kedua putri saya yang begitu kagum.
Malam sudah menyentuh pukul 21.00 WIB saat kedua putri saya mulai mengantuk. Terpaksa saya dan istri mengalah dan pamit pulang. Padahal masih banyak penampilan yang akan hadir, termasuk Glenn Fredly.
Sudah sepantasnya seorang legenda seperti Chrisye menerbitkan sebuah buku biografi. Terima kasih kepada Alberthiene Endah, Alex Kumara, Guruh Soekarno Putra, Gramedia Pustaka Utama, dan tentu saja keluarga Chrisye atas karya yang luar biasa bagus ini. Semoga buku ini akan memicu lahirnya buku2 biografi para legenda berikutnya.
Komentar
Posting Komentar