GUNDALA PUTERA PETIR: BERLARI 40 TAHUN SECEPAT TOPAN

Dipublikasikan di Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 31 Mei 2009
Saat itu pentas buku komik sudah memasuki dekade ke-dua sejak dirintisnya komik dalam format buku oleh R.A. Kosasih. Beberapa genre komik sudah meramaikannya termasuk komik wayang, roman, perjuangan, humor, silat, dan cerita rakyat. Genre superhero termasuk hadir di urutan buncit, meski Sri Asih sudah merintisnya tahun 1953. Tidak meraih popularitas sebagaimana komik genre lainnya.
Baru pada tahun 1969 publik gempar dengan wabah komik superhero. Adalah dua sekawan, Widodo Noor Slamet (Wid NS) dan Harya Suraminata (Hasmi), yang bertanggung jawab atas gelombang ini. Sempat berkarya dengan komik cerita roman, keduanya memenuhi keinginan penerbit Kentjana Agung dengan meluncurkan pahlawan super: Aquanus (Wid NS) dan Maza Sang Penakluk (Hasmi). Penerbit menginginkan pahlawan super yang mampu hidup di dalam air (seperti Aquaman dari DC Comics Amerika), dan hidup di alam belantara (seperti Tarzan, tapi berkekuatan super).
“Tanggapan pembaca biasa-biasa saja saat keduanya terbit,” kenang Hasmi. Karena penjualannya tidak sukses, ia bersama Wid NS ingin mengembangkan tokoh sendiri tanpa dorongan Penerbit. Maka lahirlah Godam dari tangan Wid NS, dan Gundala Putera Petir dari Hasmi, di tahun 1969. Kedua karakter baru tersebut tidak dipungkiri terinspirasi tokoh Superman dan Flash (DC Comics). Nama Gundala, dengan petirnya terinspirasi dari Naga Sasra Sabuk Inten, cerita silat Jawa karya S.H. Mintaredja.

Godam dan Gundala Putera Petir kontan meraih pembaca baru dan Penerbit mendukung dengan lahirnya kisah-kisah terbaru. Dalam perjalanannya Gundala Putera Petir lebih mendapat tempat istimewa di hati pembacanya. Bukan lantaran karya Wid NS tidak berkualitas, melainkan Hasmi mampu menjadikan Gundala Putera Petir lebih unik. Berbeda dengan Wid NS yang lebih setia dengan dunia fiksi ilmiah pada episode-episode awal Godam, Hasmi menambahkan bumbu mistik, roman dan banyolan kedaerahan dalam kisah-kisah Gundala.
Walau bumbu mistik, roman dan humor sudah dirintis sejak Operasi Gua Siluman (1969), Hasmi baru mengeksplorasi Gundala lebih dalam sejak Gundala Jatuh Cinta (1972). Berkisah tentang penemuan serum yang mampu membuat seseorang tak terlihat, tema fiksi ilmiah mulai diperkenalkan. Memang pada episode pertama dikisahkan Sancaka (alter ego Gundala) berprofesi sebagai seorang ilmuwan, namun tema fiksi ilmiah belum banyak mendapat porsi. Unsur roman menjadi tak terpisahkan ketika Sancaka jatuh hati pada seorang gadis, namun ia lebih mencintai Gundala dibanding dirinya. Menyadari cinta bertepuk sebelah tangan, Gundala melangkah dengan gontai pada halaman penutup. Sebuah adegan selayaknya kisah akhir sebuah film layar lebar.

“Saya memang fanatik berat nonton film,” begitu pengakuan Hasmi saat berdiskusi tentang kecintaannya terhadap dunia layar lebar. Kegemarannya ini membuat wawasannya luas dan memperkaya kualitas cerita dan visual Gundala Putera Petir. Kepiawaiannya dalam membuat cerita bergaya sinema terbukti saat menggarap episode Jaka dan Ki Wilawuk (1975). Walau judulnya terinsiprasi karya sastra asing Dr. Jekyll and Mr. Hyde, naskah ceritanya sangat sarat unsur horor dan mistik khas Indonesia. Terlihat Gundala tak mampu menghadapi Ki Wilawuk dengan kekuatan petirnya. Hanya kekuatan mistiklah yang mampu mengalahkan ancaman ini.
Kecintaannya terhadap sinema genre detektif juga terlihat pada episode Gundala Bernafas Dalam Lumpur (1973) dan sekuelnya, Gundala Cuci Nama (1974). Lebih tepat disebut cerita petualangan detektif dibanding fantasi superhero. Dikisahkan musuh Gundala berusaha mencemari citra dengan menciptakan Gundala gadungan. Bahkan seluruh sahabat Gundala meragukan kejujurannya. Nikmatilah bagaimana Gundala melacak pencemaran nama baiknya dan mengembalikan kepercayaan para sahabatnya.
Untuk membangun atmosfir humor, Hasmi menciptakan dirinya ke dalam kisah Gundala. Berperan sebagai Nemo, seorang pelukis dengan kerap bernasib sial, ia berperan sebagai side-kick nya Gundala. Peran side-kick yang berbeda dibanding Robin terhadap Batman, Nemo ikut memainkan peran penting dalam memberantas kejahatan. Tentu saja sesuai kapasitasnya sebagai warga biasa. Ia bahkan kerap menjadi korban dan umpan, serta bernasib sial. Hasmi leluasa menjadikan Nemo pahlawan sekaligus pecundang. Gundala sering berhutang nyawa kepada Nemo, saat ia tak mampu menyelamatkan nyawanya sendiri. Wid NS juga menciptakan dirinya sebagai Noor Slamet dalam serial Godam. Tapi karakternya tak sekuat Nemo.
Hasmi juga kerap meleburkan Gundala dengan budaya lokal. Gundala sering bercanda dengan gaya khas Yogya, tampil satu panggung dengan pentas ketoprak, mengejar buronan hingga ke tengah pasar tradisional, bahkan berkostum pengantin Jawa dalam episode Pengantin Buat Gundala (1977). Kesemuanya itu tidak terkesan tempelan, namun melebur dengan karakter Gundala dan alur cerita.
Kemajuan Hasmi berkarya, dibandingkan sahabatnya Wid NS, mengundang keheranan. Mereka berbagi ruang studio (yang sebenarnya hanya sebuah kamar sempit dengan dua buah meja), serta berbagi ide cerita. Mereka bahkan saling meminjam karakter untuk meramaikan cerita. Wid NS baru menghasilkan cerita yang patut diperhitungkan sejak Godam: Mata Sinar X (1973), ketika kesaktian Godam dilucuti sebagian. Interaksi yang padat sebenarnya memungkinkan keduanya untuk saling meningkatkan kualitas cerita.
Kesuksesan Gundala Putera Petir mengundang banyak komikus untuk coba-coba. Banyak yang berhasil seperti Kus Bram (Labah-Labah Merah), Mater (Nusantara) dan Nono (Tira), tapi banyak juga yang tak mampu bersaing seperti Jan Mintaraga (Kapten Halilintar). Genre ini masih berlanjut hingga dekade ’90-an dengan Carok sebagai pemegang tongkat estafet. Diantara itu semua mungkin hanya Kus Bram yang mampu menandingi Hasmi dalam menciptakan karakter yang kuat, walau dengan resep berbeda.
Berbagai keunikan Gundala Putera Petir dan kepiawaian Hasmi bercerita, mungkin, menjadikannya figur penting dalam pentas komik genre superhero Indonesia melebihi semua tokoh komik seangkatan. Gundala adalah ikon komik superhero, bahkan hingga hari ini. Ketika masyarakat berbincang tentang kebangkitan superhero lokal, nyaris semua berpaling kepada Gundala.
Sayang sejak Surat Dari Akhirat (1982) Gundala hilang dari peredaran. Memang ia masih tampil, namun secara terbatas. Gundala sempat jadi model iklan televisi. Hasmi juga membuat sebuah komik Gundala yang khusus dipersembahkan bagi sahabatnya yang menikah. Baru-baru ini Gundala juga tampil bermain bulu tangkis dan sepeda onthel dalam ilustrasi kaos yang dipesan secara eksklusif. Publik menantikan kembali sang ikon, sebagai lokomotif yang mampu menggandeng kembalinya popularitas komik nasional.
Sudah saatnya Gundala berlari lagi dan petualangannya dilanjutkan, agar ia tetap tampil segar dan bersemangat mengikuti perkembangan zaman.
Komentar
Posting Komentar