INDONESIA DALAM KENANGAN PETER VAN DONGEN
Dipublikasikan pertama kali di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 15 Mei 2005
Surjorimba Suroto, penggemar komik, mewawancarai penulis Rampokan Java dan Rampokan Celebes melalui email. Berikut petikannya:
Apa yang membuat Anda tertarik menulis buku tentang Indonesia?
Ibuku lahir di Manado, 1941 dan itulah alasannya mengapa saya penasaran dengan masa lalunya serta kedua kakek-nenek saya (kakek saya seorang prajurit K.N.I.L). Keluarga ibu juga banyak yang masih tinggal di Sulawesi.
Mengapa Anda memilih Jawa dan Sulawesi sebagai lokasi kedua buku?
Saya memilih Jawa karena kebanyakan buku tentang Hindia Belanda dan perang kemerdekaan Indonesia berpusat disini. Selain itu juga karena banyaknya foto indah tentang Batavia (kini Jakarta) dan Bandung yang kutemukan. Sulawesi saya pilih karena ibuku pernah tinggal di Makassar dan saya juga tertarik kepada Kapten Westerling yang bertanggung jawab atas berbagai aksi militer yang menewaskan banyak warga Indonesia.
Ada alasan tertentu mengapa Anda memilih waktu kejadian sekitar 1946, saat Indonesia baru saja menyatakan kemerdekaannya?
Ya, saya memilih periode ini karena saya ingin bercerita tentang seorang pemuda Belanda kelahiran Indonesia, yang karena suasana kemerdekaan menjadikannya tak diterima dilingkungannya.
Dari kedua buku tersebut, Anda mencoba untuk menyatukan cerita dengan berbagai peristiwa sebenarnya di Indonesia. Menurut pendapat saya hasilnya bagus. Sebagai penulisnya, apakah Anda cukup puas dengan hasilnya? Apakah Anda merasa hasil karyamu bisa lebih baik seandainya saja memiliki lebih banyak waktu dan penelitian?
Ya saya puas. Tentu saja ada beberapa halaman yang bisa lebih baik dan mungkin saya menggunakan sedikit alur cerita dan informasi, tapi saat itu saya merasa sudah mencukupi.
Apakah Anda menggunakan banyak buku referensi untuk menjadikan buku Anda sedekat mungkin dengan kenyataan? Banyak dari lukisan Anda yang mendekati akurat dengan berbagai kebiasaan lokal. Sebagai contoh pakaian, motif pakaian, transportasi dan rumah tinggal tradisional, seorang pemangkas rambut di bawah pohon, dan lainnya. Nampaknya Anda melakukan penelitian yang serius dalam menciptakan buku ini. Bagaimana Anda melakukannya?
Saya menggunakan banyak foto tua jaman Hindia-Belanda, kota-kota, literatur, novel (bahasa Indonesia dan Belanda), buku harian para tentara, dll. Saya juga pergi ke Musium Tropis Amsterdam yang memiliki koleksi foto tua dari Makassar. Di kota Yogyakarta saya juga pergi ke Musium Tentara.
Coretan Anda sangat terpengaruh dengan gaya Herge (komikus legendaris asal Belgia, pencipta Tintin)?
Ya saya sangat terpengaruhi gaya Herge. Terutama buku Tintin: Lotus Biru. Buku itu menceritakan pendudukan Jepang di negeri Cina. Komik tersebut sangat membuka mataku: anda bisa bercerita apapun melalui komik. Kakekku, seorang tentara Hindia-Belanda, gugur melawan Jepang saat Perang Dunia II di Indonesia.
Berbeda dengan Herge, Anda tidak menggunakan banyak warna. Hanya hitam, putih dan coklat muda. Apakah ini ditujukan agar gambarmu terlihat lebih artistik?
Tidak. Semuanya tentang uang. Penerbit tidak memiliki cukup uang untuk mencetaknya berwarna. Namun di lain pihak terlihat lebih bagus. Lebih otentik.
Apakah Anda dapat bercerita sedikit tentang latar belakang Anda? Apa saja hasil karya Anda di masa lalu? Apakah pernah membut buku tentang Indonesia sebelumnya? Apakah bagian lain dari Indonesia akan diikutsertakan dalam karya-karya yang akan datang?
Saya lahir di Amsterdam tahun 1966 dan memiliki seorang saudara kembar. Saya belajar otodidak dan sejauh ini sering mengerjakan iklan. Hingga saat ini belum menyiapkan waktu untuk berkonsentrasi pada buku yang baru. Saya merencanakan sesuatu lagi tentang Indonesia. Tak banyak yang bisa diceritakan, karena semuanya masih berupa ide. Kedua Rampokan adalah bukuku yang pertama tentang Indonesia. Karyaku yang pertama adalah ‘Muizentheater’ (Mice Theater), sebuah buku komik tentang dua saudara laki-laki di Amsterdam sekitar tahun 1030-an, diterbikan oleh Casterman, tahun 1990.
Apakah Anda sering mengunjungi Indonesia, terutama lokasi-lokasi yang memberikan sumber inspirasi?
Saya sudah tiga kali mengunjungi Indonesia. Kota-kota yang saya kunjungi adalah Jakarta, Bandung, Malang, Yogya, dan tentu saja Makassar yang memberikan inspirasi terbesar terutama bangunan-bangunan tuanya dari periode Belanda (1920-1940). Selain itu pemandangan Jawa, Bali dan Sulawesi (desa Bada) memberikan banyak inspirasi.
Apakah ada kenangan manis tentang Indonesia?
Kenangan terindah adalah saat saya mencari makam keluargaku di pemakaman bangsa Eropa di Ternate tahun 1992. Sekelompok anak-anak membantuku mencari makam kedua kakek dan nenek buyutku. Seseorang menghampiriku dan saya menunjukan foto tua hitam-putih yang menggambarkan makam tersebut dan ia membawaku kesana. Yang mengejutkan adalah ia mengenal beberapa orang, yang tinggal tak jauh dari kompleks makam, yang ternyata merupakan keluarga nenek buyutku. Nenek buyutku asli dari Ternate dan menikah dengan seorang keturunan Cina, kakek buyutku. Saya bertemu dengan seorang tua, yang menyebutkan banyak sekali nama keluarga yang telah pindah ke Belanda. Perasaanku saat itu sungguh menakjubkan. Orang ini, yang asing bagiku, ternyata adalah keluargaku. Padahal kami terpisah jauh, terpisah oleh lautan yang luas.
Surjorimba Suroto, penggemar komik, mewawancarai penulis Rampokan Java dan Rampokan Celebes melalui email. Berikut petikannya:
Apa yang membuat Anda tertarik menulis buku tentang Indonesia?
Ibuku lahir di Manado, 1941 dan itulah alasannya mengapa saya penasaran dengan masa lalunya serta kedua kakek-nenek saya (kakek saya seorang prajurit K.N.I.L). Keluarga ibu juga banyak yang masih tinggal di Sulawesi.
Mengapa Anda memilih Jawa dan Sulawesi sebagai lokasi kedua buku?
Saya memilih Jawa karena kebanyakan buku tentang Hindia Belanda dan perang kemerdekaan Indonesia berpusat disini. Selain itu juga karena banyaknya foto indah tentang Batavia (kini Jakarta) dan Bandung yang kutemukan. Sulawesi saya pilih karena ibuku pernah tinggal di Makassar dan saya juga tertarik kepada Kapten Westerling yang bertanggung jawab atas berbagai aksi militer yang menewaskan banyak warga Indonesia.
Ada alasan tertentu mengapa Anda memilih waktu kejadian sekitar 1946, saat Indonesia baru saja menyatakan kemerdekaannya?
Ya, saya memilih periode ini karena saya ingin bercerita tentang seorang pemuda Belanda kelahiran Indonesia, yang karena suasana kemerdekaan menjadikannya tak diterima dilingkungannya.
Dari kedua buku tersebut, Anda mencoba untuk menyatukan cerita dengan berbagai peristiwa sebenarnya di Indonesia. Menurut pendapat saya hasilnya bagus. Sebagai penulisnya, apakah Anda cukup puas dengan hasilnya? Apakah Anda merasa hasil karyamu bisa lebih baik seandainya saja memiliki lebih banyak waktu dan penelitian?
Ya saya puas. Tentu saja ada beberapa halaman yang bisa lebih baik dan mungkin saya menggunakan sedikit alur cerita dan informasi, tapi saat itu saya merasa sudah mencukupi.
Apakah Anda menggunakan banyak buku referensi untuk menjadikan buku Anda sedekat mungkin dengan kenyataan? Banyak dari lukisan Anda yang mendekati akurat dengan berbagai kebiasaan lokal. Sebagai contoh pakaian, motif pakaian, transportasi dan rumah tinggal tradisional, seorang pemangkas rambut di bawah pohon, dan lainnya. Nampaknya Anda melakukan penelitian yang serius dalam menciptakan buku ini. Bagaimana Anda melakukannya?
Saya menggunakan banyak foto tua jaman Hindia-Belanda, kota-kota, literatur, novel (bahasa Indonesia dan Belanda), buku harian para tentara, dll. Saya juga pergi ke Musium Tropis Amsterdam yang memiliki koleksi foto tua dari Makassar. Di kota Yogyakarta saya juga pergi ke Musium Tentara.
Coretan Anda sangat terpengaruh dengan gaya Herge (komikus legendaris asal Belgia, pencipta Tintin)?
Ya saya sangat terpengaruhi gaya Herge. Terutama buku Tintin: Lotus Biru. Buku itu menceritakan pendudukan Jepang di negeri Cina. Komik tersebut sangat membuka mataku: anda bisa bercerita apapun melalui komik. Kakekku, seorang tentara Hindia-Belanda, gugur melawan Jepang saat Perang Dunia II di Indonesia.
Berbeda dengan Herge, Anda tidak menggunakan banyak warna. Hanya hitam, putih dan coklat muda. Apakah ini ditujukan agar gambarmu terlihat lebih artistik?
Tidak. Semuanya tentang uang. Penerbit tidak memiliki cukup uang untuk mencetaknya berwarna. Namun di lain pihak terlihat lebih bagus. Lebih otentik.
Apakah Anda dapat bercerita sedikit tentang latar belakang Anda? Apa saja hasil karya Anda di masa lalu? Apakah pernah membut buku tentang Indonesia sebelumnya? Apakah bagian lain dari Indonesia akan diikutsertakan dalam karya-karya yang akan datang?
Saya lahir di Amsterdam tahun 1966 dan memiliki seorang saudara kembar. Saya belajar otodidak dan sejauh ini sering mengerjakan iklan. Hingga saat ini belum menyiapkan waktu untuk berkonsentrasi pada buku yang baru. Saya merencanakan sesuatu lagi tentang Indonesia. Tak banyak yang bisa diceritakan, karena semuanya masih berupa ide. Kedua Rampokan adalah bukuku yang pertama tentang Indonesia. Karyaku yang pertama adalah ‘Muizentheater’ (Mice Theater), sebuah buku komik tentang dua saudara laki-laki di Amsterdam sekitar tahun 1030-an, diterbikan oleh Casterman, tahun 1990.
Apakah Anda sering mengunjungi Indonesia, terutama lokasi-lokasi yang memberikan sumber inspirasi?
Saya sudah tiga kali mengunjungi Indonesia. Kota-kota yang saya kunjungi adalah Jakarta, Bandung, Malang, Yogya, dan tentu saja Makassar yang memberikan inspirasi terbesar terutama bangunan-bangunan tuanya dari periode Belanda (1920-1940). Selain itu pemandangan Jawa, Bali dan Sulawesi (desa Bada) memberikan banyak inspirasi.
Apakah ada kenangan manis tentang Indonesia?
Kenangan terindah adalah saat saya mencari makam keluargaku di pemakaman bangsa Eropa di Ternate tahun 1992. Sekelompok anak-anak membantuku mencari makam kedua kakek dan nenek buyutku. Seseorang menghampiriku dan saya menunjukan foto tua hitam-putih yang menggambarkan makam tersebut dan ia membawaku kesana. Yang mengejutkan adalah ia mengenal beberapa orang, yang tinggal tak jauh dari kompleks makam, yang ternyata merupakan keluarga nenek buyutku. Nenek buyutku asli dari Ternate dan menikah dengan seorang keturunan Cina, kakek buyutku. Saya bertemu dengan seorang tua, yang menyebutkan banyak sekali nama keluarga yang telah pindah ke Belanda. Perasaanku saat itu sungguh menakjubkan. Orang ini, yang asing bagiku, ternyata adalah keluargaku. Padahal kami terpisah jauh, terpisah oleh lautan yang luas.
Komentar
Posting Komentar