INDONESIA HEBAT, NEGERIKU CINTAKU: SEBUAH KONSER KEPRIHATINAN, PERNYATAAN SIKAP & APRESIASI MUSIK
Teater Salihara Jakarta, 31 Oktober 2009, menjadi tuan rumah sebuah pentas musik dua generasi: Kadri Jimmo The Prinzes of Rhythm, serta Keenan Nasution, Fariz RM, Debby Nasution, dan Eet Sjahranie. Tampil selama 2,5 jam para pendekar musik menampilkan buah pikiran dan sikap, serta membaginya dengan para keluarga dan sahabat yang hadir. Krisna Prameswara juga partisipasi untuk menyelaraskan musik dua generasi ini.
Peristiwa yang melanda Indonesia akhir-akhir ini memang pantas menuai keprihatinan. Bencana alam, perang melawan korupsi, keadilan yang entah berpihak dimana, hingga kesemrawutan negeri. Padahal baru saja Ibu Pertiwi ini merestui hadirnya deretan para pemimpin terbaru, dan sudah harus diuji komitmennya.
Masyarakat mengambil aneka sikap berbeda, dan salah satunya tampil pada malam terakhir bulan Oktober 2009 ini. KJP rencananya akan berkolaborasi dengan beberapa legenda musik Indonesia. Masyarakat hari ini mungkin lupa, bahwa para tokoh musik inilah yang berperan penting dalam membuat cetak biru musik Indonesia yang kita kenal hari. Denny Sakrie, sang pembawa acara, mengingatkan penonton bahwa tiga album paling bersejarah saat itu lahir dari rumah keluarga Nasution di jalan Pegangsaan, Jakarta: Guruh Gipsy (1976), Badai Pasti Berlalu (1977) dan Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors (1977). Tanpa mereka niscaya wajah musik Indonesia kini akan berkata lain.
Kadri Jimmo The Prinzes of Rhythm (KJP), yang mengaku sebagai sebuah kelompok pop progresif romantis, membawakan banyak materi dari album perdananya. Satu per satu disajikan dengan sempurna, walau kadang ada gangguan teknis, dan didukung operator, tata suara dan akustik ruangan yang mumpuni. Seluruh personil KJP sungguh-sungguh menyiapkan diri demi perhelatan bersejarah ini, dan penampilan prima berlangsung hingga lagu penutup sesi pertama, Indonesia Memang Hebat.
Tak lama berselang dengan jeda sekitar 15 menit, KJP tampil kembali dan kali ini diiringi beberapa bintang tamu. Fariz RM didampingi Kadri dan Jimmo membawakan karya Guruh Soekarno Putra, Jamrud Khatulistiwa. Di tahun 1978 Keenan Nasution pertama membawakannya di album solo perdana, Di Batas Angan. Liriknya bercerita tentang kecintaan kepada persada dan kekayaan Nusantara. Sebuah pernyataan yang sering dilupakan generasi masa kini.
Salah satu kejutan terbesar ketika Fariz RM membawakan Cakrawala Senja, yang konon adalah lagu pertama ciptaannya dan mendapat kehormatan pernah dibawakan Keenan Nasution di album Di Batas Angan. Entah tahun berapa terakhir kali Fariz RM menyanyikan Cakrawala Senja, dan rasanya (mungkin saja salah) saya belum pernah melihatnya membawakan Cakrawala Senja di berbagai kesempatan dalam 20 tahun terakhir. Simaklah liriknya:
----
Terhampar alam raya
beralas semesta
himbauan dunia
bermandi sinar surga
nan megah benderang
terciptalah sudah
hari yang megah
Termenung kukagumi
cakrawala senja
nan merah merekah
berbaur warna lembayung
pesona jiwa
indah merona
merasuk sukma
Membentang kurnia dewata
menaburkan sejahtera
lukisan alam berderai
melambangkan damainya
Termenung kukagumi
cakrawala senja
nan merah merekah
bermandi sinar surga
nan megah benderang
terciptalah sudah
hari bahagia
----
Kejutan berikutnya ketika Fariz RM menyanyikan lagu 'kutukannya', karena selalu wajib dibawakan kapanpun, Barcelona. Bersama KJP, aransemennya terdengar lebih rock dan upbeat. Tak lama Eet Sjahranie naik panggung dengan gitar elektrik, dan menyapa penonton dengan potongan melodi legendaris dari Barcelona.
Siapapun akan selalu ingat dengan petikan melodi bergaya flamenco 20 tahun lalu itu. Fariz menceritakan proses terciptanya potongan gitar akustik flamenco legendaris ini. Suatu ketika, saat proses rekaman Barcelona, Eet datang ke studio membawa dua buah gitar elektrik. Fariz memilih suara akustik sebagai pengisi melodi. Pilihan yang ada hanyalah gitar akustik yang sering dimainkan satpam dan office boy, dan kondisinya amburadul. Dengan gitar akustik kacau-balau itulah Eet memainkan bagian melodi yang kelak dikenang sepanjang masa.
Bintang tamu berikutnya Debby Nasution dengan sedikit kisah suka-duka album Badai Pasti Berlalu (1977). Ada beberapa kisah kelam dalam proses pembuatannya, dan baru kali ini terkuak ke publik. Tak lama basa-basi, Debby Nasution memainkan Angin Malam, dengan Fariz RM sebagai vokalis. Dentingan piano Debby benar-benar bak percikan air pelipur dahaga. Indah sekali. Segera Debby & Fariz, ditemani KJP, memainkan lagi lagu legendaris karya Debby dari album Keenan, Di Batas Angan: Negeriku Cintaku. Terbit di tahun 1978 lagu epik bernuansa rock progresif ini berisi lirik yang hingga hari ini masih relevan.
----
Bersatulah Resahku Resahmu Dalam Simfoni
Terdengar Bunyi Bunyi Sumbang Tak Menentu
Mengusik Kalbu
Geram Kulihat Betapa Nikmatnya Seorang Yang Duduk Disana
Menghisap Cerutu Tak Mau Tahu Akan Derita
Oh Betapa Kasihan Melihat Si Miskin Kelaparan
Tak Seorangpun Yang Mau Tahu Akan Umat Kita Yang Melarat
Tidak Kah Kau Tega Melihatnya Merangkak
Hei Kaum Muda Masa Kini
Kita Berantaslah Korupsi
Jangan Membiarkan Mereka
Menganiayai Hati Kita
Akan Kucari Jalan Kembali
Menuju Negeri Damai Sentausa
Oh Negeriku Negeri Cintaku
Kembalilah Wajah Ayumu
Kan Kuciptakan Damai Di Bumi
Seperti Yang Dirintis Dahulu
Semoga Tuhan Memberkahi Kita Semua
Dalam Kedamaian
Suci Insan Indonesia Dalam Kedamaian
Hidup Rukun dan Sejahtera Dalam Kedamaian
----
Senang rasanya melihat Fariz yang malam itu tidak ditemani instrumen lain, selain seperangkat drum. Komposisi lagu-lagu yang sulit ia iringi dengan pukulan yang mantap dan bervariasi. Hanya sedikit terlihat kecanggungan, apalagi berdampingan dengan drummer KJP, Hayunaji. "Main kayak gitu, jangan sering-sering," kelakar Fariz usai memainkan Negeriku Cintaku. Nampak Fariz sangat menikmati bermain drum malam ini.
Meski sedang sakit keras dan, seperti diuraikan Ida Royani, suaminya Keenan Nasution dilarang dokter untuk bernyanyi apalagi bermain drum, ia menyempatkan diri hadir dan mendapatkan standing ovation dari penonton. Hanya Nuansa Bening, yang sempat dilantunkan Keenan. Tapi itu sudah cukup mengobati kerinduan dan kegembiraannya ikut meramaikan konser bersejarah ini.
KJP melanjutkan dengan cetak biru lagu rock progresif Indonesia karya Guruh Gipsy (1976), Indonesia Maharddika dengan medley Indonesia Memang Hebat, ciptaan KJP.
Konser ditutup dengan KJP, Fariz RM, Debby Nasution dan Eet Sjahranie membawakan hits Gang Pegangsaan, Palestina/ Manusia Kera. Debby Nasution mengenang kisah 20 tahun lalu ketika Fariz-lah yang berperan penting menjadikan lagu epik ini enak didengar dan sesuai dengan imaji Debby. Sungguh kita kehilangan musik-musik berkualitas seperti ini, ketika kita lebih banyak disuguhi musik-musik cepat saji dari para artis yang lebih memilih jalan singkat menuju popularitas, kematangan diri dan seni bermusik.
Tanpa terasa lebih dari 2,5 jam hadirin semua telah mengarungi sebuah perjalanan keprihatinan, pernyataan sikap, dan apresiasi. Mudah-mudahan seluruh masyarakat Indonesia, yang hari ini tidak peduli dan sibuk dengan urusannya masing-masing, mendengar pesan yang disampaikan dan kembali ingat bahwa hanya dengan niat yang bersih kita mampu membenahi negeri tercinta ini.
kebetulan saya ikut menyaksikan pagelaran itu, terimakasih KJP terimakasih pembawa sejarah permusikan di indonesia ! ternyata saksi sejarah itu tetap punya greget!
BalasHapus