KOMIKUS INDONESIA MASA DEPAN
dipublikasikan pertama kali di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, Juli 2008
“Memanfaatkan dunia maya untuk berinteraksi dengan dunia luar.”
Anda tahu Admiranto Wijayadi? Ia lebih dikenal dengan nickname Anto Garang dan baru-baru ini dipercaya menangani komik berjudul Hercules: The Thracian War. Komik berbahasa Inggris ini merupakan kerja sama antara penerbit Radical Entertainment dan Imaginary Friends Studio, tempat Anto bernaung.
Anto merupakan satu di antara banyak talenta muda yang luput dari perhatian pecinta komik Indonesia. Padahal mereka mencetka prestasi dan membuka mata dunia bahwa karya mereka pantas dilirik, diapresiasi, dan diperhitungkan dalam industri komik internasional.
Dulu hal itu mungkin saja mustahil. Tapi inilah era komunikasi berbasis dunia maya, dunia sudah borderless. Tidak ada lagi hambatan birokrasi ataupun industri dan regulasi, yang membuat seorang artis sulit go-international. Konsistensi dan prestasi Ando dan komikus muda lainnya layak menjadi contoh dan teladan bagi rekan seprofesi dan generasi berikutnya.
Serial Hercules yang digarap Anto mendapat sambutan baik di Amerika Serikat. Hasilnya: Anto diundang ke San Diego Comic Convention 2008 di Amerika dalam waktu dekat untuk mempromosikan karyanya. Mengisi acara di salah satu perhelatan komik terbesar manca negara tsb menjadi impian semua komikus.
Jerih payah Anto tidaklah terjadi dalam semalam. Ia melalui proses tahunan berkarya. Bagi penggemar komik lokal, Anto bukanlah nama asing. Ia lebih dulu dikenal melalui karyanya, Zantoro: Siluman Belati (Jagoan Komik, 2006). Komik genre superhero penuh warna ini memukau banyak orang, terutama pecinta gaya realis khas Amerika dan Eropa. Anto juga kerap mengisi ilustrasi sampul dan poster seperti interpretasinya atas tokoh Gina (karya Gerdi WK) dan Putri Bintang (karya John Lo).
Prestasi lain adalah saat ia terpilih menjadi salah satu nominasi penerus serial komik Storm (karya komikus asal Inggris, namun populer di Belanda, Don Lawrence). Sayang ia tak terpilih. Namun prestasi menjadi nominasi tingkat akhir sudah menjadi kebanggaan tersendiri.
Banyak karyanya yang dikenal komunitas komik dan seni grafis berkat situs pribadinya (www.garang76.deviantart.com). Termasuk juga keikutsertaannya dalam komunitas Deviant Art. Situs sekaligus galeri karya inilah yang menjadi pintu gerbang perkenalan karya-karyanya. Sisanya merupakan gayung bersambut. Anto bahkan pernah menjadi artis penerbit besar seperti DC Comics Amerika Serikat untuk ilustrasi guide book Batman.
Kisah serupa dialami Is Yuniarto. Walaupun belum setenar Anto, komikus asal Surabaya ini konsisten dalam menelurkan karyanya melalui jalur indie. Knights of Apocalypse sudah mencapai buku kedua dari trilogi yang direncanakan. Berbeda dengan Anto yang bergaya realis, Is lebih akrab dengan gaya komik manga Jepang. Bekerja sama dengan rekannya John G Reinhart dan Aswin Agastya, semua proses dilakukan secara mandiri mulai dari pendanaan, produksi, penjualan, hingga distribusi.
Bersama kedua rekannya itu, Is merancang Knights of Apocalypse lebih dari sekedar komik. Mereka membuat situs khusus tentang komik tsb, menyisipkan papercraft pesawat tempur yang baru terbentuk utuh setelah menggabungkan ketiga potongan papercraft pada trilogi komiknya, trailer animasi, merchandise, bahkan hingga musik tema. Luar biasa.
Is Yuniarto bukanlah nama baru di kalangan komik lokal. Ia lebih dulu dikenal dengan komik Wind Rider (Elex Media Komputindo, 2005) dan terpilih menjadi satu diantara banyak highlights pameran Komik Indonesia Satu Dekade (2007). Sebelum itu ia kerap menjuarai beberapa lomba komik seperti Ragnarok Online (2004). Beberapa karyanya dapat disimak melalui situs www.windriderstudio.com.
Termasuk paling unik diantara sekian banyak komikus muda, Azisa Noor menawarkan menu berbeda. Jika Anto memenuhi selera realis ala komik Amerika dan Eropa, serta Is berkiblat pada komik Jepang, maka Azisa berada di dimensi lain. Perhatikanlah karya-karyanya, sebagaimana dalam situsnya www.scarlet-dragonchild.deviantart.com. Sebuah negeri antah-berantah dengan tiadanya pakem logika arsitektur. Ia bebas menuangkan imajinasinya, dan tak perlu khawatir terbentur argumen realita.
Gaya ilustrasi Azisa bisa dikelompokkan bersama komikus tenar lainnya di genre sejenis seperti Moebius, Schuiten dan Winsor McCay, yang juga bergaya surealis. Kegemarannya dengan cerita dongeng semakin membuatnya mampu berbuat apa saja yang ’tak masuk akal’. Fakta yang menarik: Azisa sesungguhnya seorang mahasiswi arsitektur yang baru saja menyelesaikan studinya.
Serupa seperti Anto dan Is, Azisa memanfaatkan dunia maya untuk berinteraksi dengan dunia luar. Hasilnya adalah keikutsertaannya pada lomba Fumetto Comic Competition, Swiss tahun 2005. Beberapa karyanya juga ikut serta dalam banyak buku seperti Jogja 5,9SR (kompilasi komik pendek bagi korban bencana gempa Yogyakarta 2006).
Prestasi lain adalah diundangnya Azisa ke Lingua Comica 2007, sebuah program Asian-European Foundation (ASEF), dimana beberapa komikus Asia dan Eropa diseleksi dan dipertemukan dalam kolaborasi komik lintas-budaya sebagian hasilnya bisa dilihat di www.linguacomica.wordpress.com).
Saat ini Azisa sedang merampungkan dua proyeknya: Kala, yang diperuntukkan bagi Comic Central dan pada dasarnya jatuh pada genre superhero, serta komik Urban Fantasy dengan setting kota Bandung, dan banyak menampilkan bangunan-bangunan heritage yang ada di Kota Bunga tsb. Proyek komik ini juga dibantu oleh Bandung Heritage.
Ketiga komikus muda berbakat ini sama-sama menjalani hobi yang sama, yaitu bercerita melalui media visual. Dalam hal ini mengambil format komik. Sejauh ini mereka menekuninya sebagai hobi sekaligus profesi. Kita dapat mengambil hikmah dari ketiganya, bahwa kesuksesan tidaklah lahir secara instan. Semuanya melalui proses, merangkak dari bawah, menangkap peluang yang ada, serta sedikit keberuntungan, membuat ketiganya terus menyempurnakan diri. Alhasil mereka sudah lebih dari selangkah dibanding para kolega seangkatannya, yang katakanlah, belum semujur Anto, Is, dan Azisa.
“Memanfaatkan dunia maya untuk berinteraksi dengan dunia luar.”
Anda tahu Admiranto Wijayadi? Ia lebih dikenal dengan nickname Anto Garang dan baru-baru ini dipercaya menangani komik berjudul Hercules: The Thracian War. Komik berbahasa Inggris ini merupakan kerja sama antara penerbit Radical Entertainment dan Imaginary Friends Studio, tempat Anto bernaung.
Anto merupakan satu di antara banyak talenta muda yang luput dari perhatian pecinta komik Indonesia. Padahal mereka mencetka prestasi dan membuka mata dunia bahwa karya mereka pantas dilirik, diapresiasi, dan diperhitungkan dalam industri komik internasional.
Dulu hal itu mungkin saja mustahil. Tapi inilah era komunikasi berbasis dunia maya, dunia sudah borderless. Tidak ada lagi hambatan birokrasi ataupun industri dan regulasi, yang membuat seorang artis sulit go-international. Konsistensi dan prestasi Ando dan komikus muda lainnya layak menjadi contoh dan teladan bagi rekan seprofesi dan generasi berikutnya.
Serial Hercules yang digarap Anto mendapat sambutan baik di Amerika Serikat. Hasilnya: Anto diundang ke San Diego Comic Convention 2008 di Amerika dalam waktu dekat untuk mempromosikan karyanya. Mengisi acara di salah satu perhelatan komik terbesar manca negara tsb menjadi impian semua komikus.
Jerih payah Anto tidaklah terjadi dalam semalam. Ia melalui proses tahunan berkarya. Bagi penggemar komik lokal, Anto bukanlah nama asing. Ia lebih dulu dikenal melalui karyanya, Zantoro: Siluman Belati (Jagoan Komik, 2006). Komik genre superhero penuh warna ini memukau banyak orang, terutama pecinta gaya realis khas Amerika dan Eropa. Anto juga kerap mengisi ilustrasi sampul dan poster seperti interpretasinya atas tokoh Gina (karya Gerdi WK) dan Putri Bintang (karya John Lo).
Prestasi lain adalah saat ia terpilih menjadi salah satu nominasi penerus serial komik Storm (karya komikus asal Inggris, namun populer di Belanda, Don Lawrence). Sayang ia tak terpilih. Namun prestasi menjadi nominasi tingkat akhir sudah menjadi kebanggaan tersendiri.
Banyak karyanya yang dikenal komunitas komik dan seni grafis berkat situs pribadinya (www.garang76.deviantart.com). Termasuk juga keikutsertaannya dalam komunitas Deviant Art. Situs sekaligus galeri karya inilah yang menjadi pintu gerbang perkenalan karya-karyanya. Sisanya merupakan gayung bersambut. Anto bahkan pernah menjadi artis penerbit besar seperti DC Comics Amerika Serikat untuk ilustrasi guide book Batman.
Kisah serupa dialami Is Yuniarto. Walaupun belum setenar Anto, komikus asal Surabaya ini konsisten dalam menelurkan karyanya melalui jalur indie. Knights of Apocalypse sudah mencapai buku kedua dari trilogi yang direncanakan. Berbeda dengan Anto yang bergaya realis, Is lebih akrab dengan gaya komik manga Jepang. Bekerja sama dengan rekannya John G Reinhart dan Aswin Agastya, semua proses dilakukan secara mandiri mulai dari pendanaan, produksi, penjualan, hingga distribusi.
Bersama kedua rekannya itu, Is merancang Knights of Apocalypse lebih dari sekedar komik. Mereka membuat situs khusus tentang komik tsb, menyisipkan papercraft pesawat tempur yang baru terbentuk utuh setelah menggabungkan ketiga potongan papercraft pada trilogi komiknya, trailer animasi, merchandise, bahkan hingga musik tema. Luar biasa.
Is Yuniarto bukanlah nama baru di kalangan komik lokal. Ia lebih dulu dikenal dengan komik Wind Rider (Elex Media Komputindo, 2005) dan terpilih menjadi satu diantara banyak highlights pameran Komik Indonesia Satu Dekade (2007). Sebelum itu ia kerap menjuarai beberapa lomba komik seperti Ragnarok Online (2004). Beberapa karyanya dapat disimak melalui situs www.windriderstudio.com.
Termasuk paling unik diantara sekian banyak komikus muda, Azisa Noor menawarkan menu berbeda. Jika Anto memenuhi selera realis ala komik Amerika dan Eropa, serta Is berkiblat pada komik Jepang, maka Azisa berada di dimensi lain. Perhatikanlah karya-karyanya, sebagaimana dalam situsnya www.scarlet-dragonchild.deviantart.com. Sebuah negeri antah-berantah dengan tiadanya pakem logika arsitektur. Ia bebas menuangkan imajinasinya, dan tak perlu khawatir terbentur argumen realita.
Gaya ilustrasi Azisa bisa dikelompokkan bersama komikus tenar lainnya di genre sejenis seperti Moebius, Schuiten dan Winsor McCay, yang juga bergaya surealis. Kegemarannya dengan cerita dongeng semakin membuatnya mampu berbuat apa saja yang ’tak masuk akal’. Fakta yang menarik: Azisa sesungguhnya seorang mahasiswi arsitektur yang baru saja menyelesaikan studinya.
Serupa seperti Anto dan Is, Azisa memanfaatkan dunia maya untuk berinteraksi dengan dunia luar. Hasilnya adalah keikutsertaannya pada lomba Fumetto Comic Competition, Swiss tahun 2005. Beberapa karyanya juga ikut serta dalam banyak buku seperti Jogja 5,9SR (kompilasi komik pendek bagi korban bencana gempa Yogyakarta 2006).
Prestasi lain adalah diundangnya Azisa ke Lingua Comica 2007, sebuah program Asian-European Foundation (ASEF), dimana beberapa komikus Asia dan Eropa diseleksi dan dipertemukan dalam kolaborasi komik lintas-budaya sebagian hasilnya bisa dilihat di www.linguacomica.wordpress.com).
Saat ini Azisa sedang merampungkan dua proyeknya: Kala, yang diperuntukkan bagi Comic Central dan pada dasarnya jatuh pada genre superhero, serta komik Urban Fantasy dengan setting kota Bandung, dan banyak menampilkan bangunan-bangunan heritage yang ada di Kota Bunga tsb. Proyek komik ini juga dibantu oleh Bandung Heritage.
Ketiga komikus muda berbakat ini sama-sama menjalani hobi yang sama, yaitu bercerita melalui media visual. Dalam hal ini mengambil format komik. Sejauh ini mereka menekuninya sebagai hobi sekaligus profesi. Kita dapat mengambil hikmah dari ketiganya, bahwa kesuksesan tidaklah lahir secara instan. Semuanya melalui proses, merangkak dari bawah, menangkap peluang yang ada, serta sedikit keberuntungan, membuat ketiganya terus menyempurnakan diri. Alhasil mereka sudah lebih dari selangkah dibanding para kolega seangkatannya, yang katakanlah, belum semujur Anto, Is, dan Azisa.
Komentar
Posting Komentar