LOTIF: POTRET DIRI KITA DALAM KOMIK

Dipublikasikan pertama kali di Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, Sept-Oct 2008

Setiap Minggu, pembaca Koran Tempo senantiasa dibuat tersenyum dengan ulah Lotif, tokoh rekaan dan serial kartun strip karya Beng Rahadian. Ada kalanya pembaca tertawa karena peristiwa yang dialaminya, terutama bagi mereka penduduk urban kota Jakarta. Lotif sebagai pemeran utama sering terlibat dalam berbagai fenomena lazim di sekitar masyarakat yang khas urban. Mulai dari lingkungan sekitar RT (rukun tetangga), penjual makanan keliling, hidup bertetangga, suasana pos ronda, dan lainnya. Tak ketinggalan Lotif dan para tokoh lainnya mengomentari, terlibat, atau menjadi korban berbagai peristiwa nasional dalam skala mikro. Katakanlah suasana pemilihan kepala desa atau walikota, bantuan penduduk miskin, tawuran warga, hingga langkanya kebutuhan sehari-hari di warung.

Alkisah pemuda pengangguran bernama lengkap Abdul Selotif ini peka dan peduli dengan lingkungan tempat ia tinggal dan nongkrong. Latar belakang pendidikan Lotif terhitung lumayan, tamat D-3 jurusan Akuntansi. Sayang ia tak berprofesi sesuai bidang pendidikannya dan lebih aktif di Taruna Karya, serta sering terlibat dalam aneka urusan masyarakat yang printilan hingga yang sedikit lebih luas. Sesuai namanya, Lotif bagaikan selotip yang sering dan mudah menempel dimana-mana. Singkat kata, Lotif adalah potret seorang pemuda urban, yang kebetulan akrab dan peduli dengan problematika masyarakat perkotaan.

‘’Karena Lotif adalah pemuda urban, ia tidak mampu mengomentari problematika di tingkat nasional selayaknya kaum intelektual atau politikus. Ia melihatnya murni dari dampak langsung yang dirasakan masyarakat. Tepatnya masyarakat kota tingkat menengah ke bawah, yang tinggal di pelosok dan pinggiran kota (tepatnya Jakarta),’’ ungkap sang komikus Beng Rahadian. Logis memang penjelasan tersebut, karena jarang Lotif mengomentari peristiwa dan konflik tingkat nasional (termasuk politik) sebagaimana beberapa kartun strip di media lain sering lakukan akhir-akhir ini.

Perhatikanlah beberapa episodenya seperti Penonton Bola (18/06/2006) saat Lotif rela begadang berhari-hari menonton pertandingan sepak bola di televisi (yang sebenarnya potret diri Beng), Suatu Hari Dalam Bus Kota (3/12/2006) dimana berbagai ’hiburan’ dapat ditemukan penumpang bis kota, atau Bencana Banjir (11/02/2007) yang sudah menjadi citra baru kota Jakarta. Bahkan ada episode Kondangan (22/01/2006) ketika Lotif batal menghadiri pernikahan penciptanya, Beng Rahadian dan Lulu Ratna, karena hujan deras. Akhirnya uang hadiah dibelikan ketoprak.

Berbagai kisah pun terinspirasi dari hidup teman-teman dan keluarga terdekatnya. Bahkan profil para tokohnya sangat mirip dengan beberapa sahabat Beng dalam kehidupan nyata. Lotif menanyakan kabar Injun kepada Zarki (yang keduanya sahabat nyata Beng) pada episode Kuala Lumpur (27/08/2006). Lotif menyapa Sukribo (tokoh komik karya Mail di harian Kompas, kolega Beng) dan prihatin atas bencana alam kota Yogya (28/05/2006). Juga Lotif dan Zarki menantikan oleh-oleh haji dari sahabat yang sedang menunaikan ibadah ke Mekkah (2/12/2007). Berbagai kisah terinspirasi dari kejadian nyata sekitar kediaman Beng, berita di koran, dan obrolan di stasiun radio.

Lotif juga pernah hadir terpisah sebagai tuan rumah berkumpulnya para ikon komik dalam rangka Komik Indonesia Satu Dekade (KONDE!) di freemagz Cergam. Ia juga hadir pada majalah Gong edisi khusus membahas perkembangan komik di Indonesia. Penampilannya yang khas pemuda urban kelompok ekonomi sedang, juga membuat Lotif cepat akrab di mata pembacanya. Kaos oblong, jaket, dan celana jeans seakan sudah identik dengan kebanyakan pemuda kota. Ditambah sepeda motor, isi dompet ngepas, cewek gebetan tak kunjung dapat, tinggal di rumah kos, dan sering tertimpa sial. Rasanya koq mengingatkan pembaca pada pengalaman pribadi? Lotif ini gue banget!

Tak terasa Lotif sudah menghibur pembaca sejak 15 Mei 2005, dan nyaris tidak pernah absen hingga hari ini. Namun jarang sekali episode demi episode berkesinambungan. ‘’Saya ingin membuat cerita panjang bagi Lotif dimana ia lebih menyatu dengan lingkungannya, termasuk pengungkapan latar belakangannya,’’ ungkap Beng dengan mimpinya. Obsesi ini menjadi ujian bagi komikus kelahiran Cirebon, 33 tahun yang lalu: Mampukah ia membuat cerita jenaka panjang, namun tetap berbobot dan setia pada pakem Lotif?

Nama Beng Rahadian bukanlah nama baru di dunia komik Indonesia. Ia sudah lama dikenal kiprahnya sejak mendirikan Tehjahe, sebuah komunitas komik di Yogya (1999) dan ketika memenangkan lomba Mengkomikkan Jogja (2001) dengan karya yang dipuji banyak kritikus, Selamat Pagi Urbaz. Tidur Panjang juga memenangkan Kosasih Award 2007 dalam kategori Cerita Terbaik. Masih banyak catatan historis Beng dalam dunia komik dan seni, hingga akhirnya ia sungguh-sungguh berniat menekuninya sebagai profesi ketika memulai Lotif.

”Selamat Pagi Urbaz menyadarkan saya bahwa komik harus komunikatif dengan pembacanya. Tidak hanya untuk dimengerti senimannya. Pada Lotif-lah saya belajar untuk profesional, terutama karena kini saya sudah masuk ke dalam industri musik. Pada Lotif juga saya menemukan gaya ilustrasi yang pas bagi saya,” jelas Beng. Gaya ilustrasi Lotif sangat kentara pengaruh dari seniman idola Beng, Albert Uderzo.

Namun demikian, bagi mereka penggemar karya Beng, gaya ’Lotif’ belum dapat dinobatkan sebagai ciri khasnya. Tidur Panjang, contohnya, sangat surealis. Tidak hanya secara bahasa visual, namun juga bahasa narasinya. Tak pelak karya ini sering dianggap sebagai karya eksperimental dan sisi lain seorang Beng Rahadian, dan layak disandingkan dengan karya komikus surealis Eropa, Moebius.

Simak pula Jalan Sempit, sebuah kisah seorang pemuda homoseksual yang berusaha kembali normal. Visualisasi tak banyak beda dengan Selamat Pagi Urbaz, namun jalinan dan lika-liku cerita terhitung berat. Dari beberapa contoh karya tersebut, terbukti Beng Rahadian mampu menghasilkan karya-karya kelas berat. Lebih berat dan lebih serius dibanding Lotif, alias kategori novel grafis.

Lalu mengapa Beng tidak menekuni novel grafis? Sebenarnya Beng tetap produktif di dunia novel grafis. Tidur Panjang dan Jalan Sempit contoh karyanya. Hanya saja memang tidak seproduktif Lotif ataupun order ilustrasi lainnya, seperti di majalah bulanan Stabilitas. Terlebih iklim novel grafis di Indonesia belumlah marak, meski penggemarnya banyak seperti di milis Komik Alternatif. Beng pun sangat sibuk di Akademi Samali, sebuah perkumpulan seniman yang kerap mengadakan pameran atau diskusi buku. Ia juga aktif dalam menggandeng berbagai komunitas komik dan seni lain di Indonesia untuk diajak berkarya bersama. Aktivitas dan galeri karyanya bisa diintip di blog-nya, http://tehjahe.multiply.com.

Masih banyak proyek komik yang sedang dikerjakannya selain Lotif, diantaranya komik sejarah kopi dan musik rock Indonesia yang belum sempat disentuh. Bahkan proyek lain di luar dunia komik, termasuk membantu istrinya yang aktif di dunia film independen. Tidaklah berlebihan jika Beng Rahadian adalah komikus lintas-seni paling sibuk di Indonesia saat ini. Mungkin lagu Beatles, Eight Days A Week, wajib jadi anthem bagi Beng Rahadian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA

ARSWENDO ATMOWILOTO: SEBUAH MEMOIR