SELENDANG MAUT
Arjuna terbangun dari peraduannya. Nafas terengah-engah,
keringat dingin membasahi punggung, jantung berdegup kencang. Matanya nanar,
tak mampu menatap jelas. Punggung tangan kanannya menyapu peluh di dahi.
“Sebuah mimpi buruk”, ia berdiam dalam hati. Subadra masih tertidur nyenyak di
sampingnya, menghadap ke arah berlawanan. Terlihat tubuhnya mengembang saat
mengambil nafas. Ia tak terganggu dengan mimpi buruk suaminya.
Arjuna duduk di sisi ranjang, bangkit sambil membuka
kelambu. Diteguknya air dari dalam kendi, menyegarkan tenggorokan. Perlahan
dibukanya pintu yang menghubungkan kamar tidurnya dengan ruangan samping. Di
ruangan inilah cucunya, Parikesit, tertidur pulas. “Bocah pemberani,” gumam
Arjuna melihat cucunya yang lucu. Diciumnya kening Parikesit, yang sedikit
bereaksi dengan menggeliatkan tubuhnya dan membalikkan badan. Bocah berusia tiga
tahun ini memilih untuk tinggal bersama kakek dan neneknya, saat ibunya Utari
pergi berkunjung ke Kerajaan Wirata selama beberapa bulan. Setiap hari ia
bermain dengan binatang-binatang dan para bocah seusianya di Kadipaten
Madukara.
Tak ada yang bisa dilakukan Arjuna dan Subadra selain
menyayanginya sepenuh hati. Parikesit cilik tak pernah mengenal ayahnya, yang
gugur sebagai pahlawan di perang Bharatayudha. Ia membutuhkan figur ayah, dan
menjadi tugas Arjuna menggantikan Abimanyu.
Ditutupnya pintu kamar utama, dan Arjuna melangkahkan kaki
menuju pekarangan. Udara dingin dan sinar rembulan penuh menemaninya duduk
malam itu. Mimpi buruk itu masih terngiang-ngiang..... terlihat jelas detik-detik
Irawan dan Abimanyu gugur di medan Kurusetra.... dan Arjuna tak dapat berbuat
apapun untuk menyelamatkan mereka. Nyaris empat tahun sudah berlalu, dan ia
masih merindukan anak-anaknya yang sudah pergi selamanya.
Tak terhitung bintang di langit yang ia coba hitung, saat
terdengar suara teriakan dari dalam istana. Itu suara Subadra, tak mungkin ia
salah. Bergegas Arjuna berlari dan didapatinya pintu kamar terbuka. Subadra tak
sadarkan diri di lantai. Arjuna memeriksa denyut nadinya dan ia tak luka. Hanya
sedikit memar di bahunya akibat pukulan tangan. Tapi ini pukulan ringan, pikir
Arjuna cepat, jarak sedekat ini seharusnya fatal.
Seketika ia ingat dengan Parikesit. Dilihatnya pintu
kamarnya terbuka dan tak ada seorangpun di ruangan. Ranjangnya kosong.
Parikesit diculik! Kemana ia dibawa pergi?
Bergegas Arjuna keluar istana dan terdengar suara kuda
meringkik karena terganggu. Disana penculiknya berada, pikir Arjuna. Masih
dengan kain tidur seadanya ia segera lari mengejar. Hanya sebuah busur dengan
tiga anak panah dibawa. Tergeletak di ruang depan. Hanya ini senjata yang ada.
Belum sempat ia tiba di istal kuda, terdengar suara burung-burung berterbangan
di kejauhan. Rupanya si penculik sudah mencapai sisi Timur pagar istana. Arjuna
terus mengejar.
Tak butuh waktu lama bagi Arjuna hingga mulai tampak sasaran
yang dikejar. Ia berlari cepat sambil sesekali melompat. Berpakaian gelap dari
rambut hingga pergelangan kaki. Terlihat juga Parikesit dibawanya. Sulit
terlihat keadaannya dari kejauhan, karena terlindung punggung dan gelapnya
malam. Dengan ringan si penculik bergerak menembus pekatnya hutan, melompat
kiri-kanan dan ke atas serta menunduk, seakan seisi hutan dikenalinya tanpa
perlu melihat. Ia berlari terus, dan Arjuna semakin dekat. Menuruni lembah ia
melompat sambil menggendong Parikesit kecil, yang masih tertidur lelap. Arjuna
tiba di puncak lembah ketika si penculik tiba di sisi sungai yang deras.
Jembatan kayu berada di sisi utara, dan kini ia terjebak. “Tertangkaplah kau
kini,” pikir Arjuna.
Sang penculik masih menggendong Parikesit dengan tangan
kirinya, ketika ia melepaskan kain yang melilit pinggangnya. Sebuah selendang
rupanya, dan dengan sekali kebas selendang itu sudah membentang, membelah
sungai, dan ujungnya terikat di pangkal pohon seberang sungai. Sekali sentak
selendang itu diayun dan sang penculik sudah melayang membawa Parikesit ke
udara. Arjuna tertegun menyaksikan pemandangan ini. Sambil turun berlari ia
mencabut setangkai daun pisang dan melompat terjun ke sungai. Ilmu meringankan
tubuhnya kini berguna untuk berdiri di atas daun pisang, dan mengikuti arus
sungai. Ujung busur digunakan untuk menahan arus sungai. Tampak sang penculik
berhenti dan menyaksikannya mengarungi sungai. Hanya sekejap ia terus berlari
dan melompat.
Tak butuh waktu lama bagi Arjuna untuk semakin mendekati si
penculik. Mudah sebenarnya baginya melepaskan anak panah, namun kegesitan si
penculik mengkhawatirkan. Bisa saja anak panah menghujam Parikesit, dan ini
sangat berbahaya. Semakin dekat ia mencium wangi harum samar-samar. Aku tahu
wangi ini, tapi dimana aku mengenalnya? Aku tak ingat terakhir kali menciumnya.
Dari mana asalnya?
Penculik tiba di sebuah tanah lapang dan bulan purnama
bersinar terang. Arjuna melepaskan anak panah menuju kakinya. Sebelum anak
panah itu mencapai sasarannya, sudah hancur berantakan oleh sapuan selendang
sang penculik. Selendang yang tampak pendek itu mampu memanjang hingga belasan
tombak, setajam pedang dan sekuat gada. Sekali lagi selendang itu berkibas ke
arah Arjuna, namun ia sudah menduganya. Sekali hentak dan ia sudah
melayang..... ujung selendang menghantam bongkah batu cadas hingga berantakan.
Masih di udara ksatria Madangkara melepaskan anak panah kedua. Sang penculik
melenting terbang dan kini selendangnya kembali menghancurkan panah Arjuna.....
dan meluncur deras ke wajahnya. Sebuah jurus yang tak terduga dan sangat sulit
dilakukan. Arjuna segera mengelak dan hawa sedingin es menerpa wajahnya. Ujung
selendang yang tajam menghancurkan anak panah terakhir, yang belum sempat
dilepas. Rupanya tujuannya anak panah itu, bukan tubuhnya. Tanpa anak panah,
Arjuna tak punya senjata jarak jauh.
Si penculik kini berdiri tegap menanti serangan Arjuna
berikutnya. Di tengah kekhawatiran Parikesit terluka, Arjuna menjejakkan
kakinya ke tanah dengan keras. Rumput ilalang tercerabut dari akarnya,
melayang, dan pukulan tangan kiri Arjuna melanjutkan sekelompok ilalang kini
bagaikan ratusan jarum berterbangan. Lagi-lagi hanya dengan sekali kebas,
seluruh ilalang rontok bagaikan nyamuk terkena udara panas.
Si penculik hendak melarikan diri ketika Arjuna untuk
pertama kalinya berteriak,”Berhenti!” Ia masih membopong Parikesit dan tak
membalikkan badan. “Kembalikan cucuku, dan kau boleh pergi. Aku sudah lelah
dengan berbagai pertempuran, dan tak ingin melukaimu. Lepaskan anak itu, dan
aku berjanji tak akan menemukanmu,” suara Arjuna terdengar lembut di kegelapan
malam, namun dingin menusuk. Si penculik masih terdiam dan menggenggam ujung
selendang. Dengan cepat ia membalikkan badan dan melontarkan selendang ke arah
Arjuna. Ia tak menyadari Arjuna memegang senjata andalannya, Dadali. Sebuah
anak panah sakti yang selalu datang jika sang pemilik memanggilnya. Arjuna
sadar bahwa sekali Dadali dilepas, ia akan menemukan korbannya. Namun entah
mengapa Dadali terasa berat, seakan tak mau menunaikan tugas.
Saat selendang mengarah dirinya, terasa angin kencang
berhembus darinya. Kembali harum semerbak tercium dan merasuk kalbu. Sekujur
bulu tengkuk Arjuna merinding. Saat ia menyadari siapa lawannya, ujung
selendang sudah di hadapan mata dan menghancurkan busur Arjuna. Di tengah kekalutannya,
tanpa disadari Dadali terlepas satu detik sebelum busurnya hancur. Dadali
melayang lurus dan hancurlah selendang yang berusaha meremukkannya. Hanya dua
detik setelah itu Dadali menemukan sasarannya dan si penculik roboh ke tanah.
Parikesit terguling ke samping, dan si penculik menggunakan tubuhnya sendiri
untuk menahan Parikesit dari luka.
Dadali kembali ke Arjuna, namun ia tak menghiraukannya dan
bergegas mendekati si penculik yang kini sudah terbaring di rerumputan. Ia
memeluk si penculik dan dibukanya penutup wajah. Tampak wajah seorang wanita
cantik berurai air mata. “Ulupi....maafkan aku....aku tidak tahu itu dirimu....
Seharusnya aku tahu harum itu adalah harum tubuhmu.... tapi aku tak
mengenalinya”, tangis Arjuna sambil memeluk tubuh istrinya, Ulupi, ibu dari
Irawan putra tertuanya. Ulupi dengan sisa nafasnya hanya memandangi wajah
suaminya yang sudah dua puluh tahun tak dijumpainya. Darah mulai mengalir dari
sudut bibirnya.
“Aku hanya ingin membuatmu merasakan hidup tanpa anak
kesayanganmu, sebagaimana aku rasakan.....,” ucap Ulupi lirih, “.....aku tahu
kau tak akan mengizinkan aku membawa Parikesit sebagai pengganti Irawan.
Subadra tak akan mengizinkanmu. Kini aku bisa meninggal dengan tenang, karena
Irawan sudah menungguku di seberang sana.....”. Ulupi menghembuskan nafas
terakhir, sebelum Arjuna sempat berkata apa-apa. Hanya air mata berderai
membasahi wajahnya, dan wajah Ulupi.
Sebuah tangan mungil menyentuh bahu Arjuna. “Kakek? Kakek
kenapa? Kenapa Nenek tidur? Tadi Nenek membangunkanku waktu tidur. Aku belum
pernah bertemu dengannya, tapi ia baik Kek. Nenek bertanya, maukah aku ikut
tinggal bersamanya? Aku jawab, mau Kek. Nenek memintaku tidur dan ia memelukku
hangat. Mengapa Nenek sekarang tidur?” tanya Parikesit kecil. Arjuna tak mampu
menjawab, dan hanya memeluk tubuh mungilnya. “Nenek tidur, nak. Nenek lelah....
nanti kita ajak Nenek pulang ke Madukara,” ucap Arjuna menghibur cucunya, dan
juga menghibur dirinya yang entah kapan bisa terobati.
=== November 2010===
Komentar
Posting Komentar