Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2013

ENJAH: MAMPUKAH KOMIK MEMBANGUN ATMOSFIR HOROR?

Gambar
Judul: Enjah Penulis: Beng Rahadian/ Illustrator: Tomas Soejakto Kategori: Komik Penerbit: Cendana Art Media Tahun: 2013 Sudah lama saya tidak membaca komik dengan tema horror. Bahkan terakhir baca pun tidak ingat. Padahal saya termasuk penikmat genre horror pada media lain, seperti komik, film, novel. Tapi memang sudah lama tidak membaca komik genre horror. Kali ini dua orang sahabat saya berkolaborasi membuat Enjah, sebuah komik genre horror. Meski kedua orang ini sudah saya kenal cukup lama, tapi tak banyak saya ketahui rekam jejaknya dalam dunia horror. Memang, Beng Rahadian pernah menjadi storyboard untuk film horror. Tapi sebagai komik saya tidak ingat. Apalagi Tomas. Sama seperti media audio-visual lain, persyaratan sukses-tidaknya sebuah cerita horror hanya satu: mampukah membuat penikmatnya terbawa suasana horror? Syarat yang sama juga berlaku pada Enjah. Komik sepanjang total 160 halaman ini (bersihnya sebagai komik hanya 150 kurang) menjadi bahan

SELENDANG MAUT

Arjuna terbangun dari peraduannya. Nafas terengah-engah, keringat dingin membasahi punggung, jantung berdegup kencang. Matanya nanar, tak mampu menatap jelas. Punggung tangan kanannya menyapu peluh di dahi. “Sebuah mimpi buruk”, ia berdiam dalam hati. Subadra masih tertidur nyenyak di sampingnya, menghadap ke arah berlawanan. Terlihat tubuhnya mengembang saat mengambil nafas. Ia tak terganggu dengan mimpi buruk suaminya. Arjuna duduk di sisi ranjang, bangkit sambil membuka kelambu. Diteguknya air dari dalam kendi, menyegarkan tenggorokan. Perlahan dibukanya pintu yang menghubungkan kamar tidurnya dengan ruangan samping. Di ruangan inilah cucunya, Parikesit, tertidur pulas. “Bocah pemberani,” gumam Arjuna melihat cucunya yang lucu. Diciumnya kening Parikesit, yang sedikit bereaksi dengan menggeliatkan tubuhnya dan membalikkan badan. Bocah berusia tiga tahun ini memilih untuk tinggal bersama kakek dan neneknya, saat ibunya Utari pergi berkunjung ke Kerajaan Wirata selama beberap

USAI BAHARATAYUDHA

Suasana medan Kurusetra kini sepi. Panji-panji Kurawa dan Pandawa berserakan. Pedang, perisai, kereta kuda, gada, patahan anak panah, keris, dan lainnya yang sudah hancur menjadi pemandangan menyilaukan. Bercampur dengan tumpahan darah yang mulai mengering. Pepohonan serta bukit porak poranda akibat adu kesaktian para ksatria. Tampak para prajurit sedang mencari jenazah dan mengumpulkannya untuk dikuburkan. Tenda-tenda perawatan masih menyisakan rintihan para prajurit yang terluka. Terdengar jelas tangisan para perempuan, janda dan anak yang kehilangan ayah dan saudara mereka. Awan mendung kelabu di sore hari. Beberapa jam lagi matahari terbenam. Di kejauhan, di atas sebuah bukit, tampak seorang laki-laki duduk termenung di bawah pohon. Pakaiannya indah namun lusuh. Tubuhnya gagah namun tanpa gairah. Wajahnya tampang namun mendung di sinar matanya. Dipandanginya sisa-sisa perang Bharatayudha. Ia adalah Arjuna. Teringat jelas dalam ingatan ketika Arjuna menyaksikan satu per