ENJAH: MAMPUKAH KOMIK MEMBANGUN ATMOSFIR HOROR?



Judul: Enjah
Penulis: Beng Rahadian/ Illustrator: Tomas Soejakto
Kategori: Komik
Penerbit: Cendana Art Media
Tahun: 2013

Sudah lama saya tidak membaca komik dengan tema horror. Bahkan terakhir baca pun tidak ingat. Padahal saya termasuk penikmat genre horror pada media lain, seperti komik, film, novel. Tapi memang sudah lama tidak membaca komik genre horror.

Kali ini dua orang sahabat saya berkolaborasi membuat Enjah, sebuah komik genre horror. Meski kedua orang ini sudah saya kenal cukup lama, tapi tak banyak saya ketahui rekam jejaknya dalam dunia horror. Memang, Beng Rahadian pernah menjadi storyboard untuk film horror. Tapi sebagai komik saya tidak ingat. Apalagi Tomas.

Sama seperti media audio-visual lain, persyaratan sukses-tidaknya sebuah cerita horror hanya satu: mampukah membuat penikmatnya terbawa suasana horror? Syarat yang sama juga berlaku pada Enjah.

Komik sepanjang total 160 halaman ini (bersihnya sebagai komik hanya 150 kurang) menjadi bahan ujiannya. Desain sampul yang gelap (meski bukan berwarna hitam) memberi petunjuk akan isi komiknya. Typography ‘Enjah’ pun memberi kesan itu: angker. Berwarna merah, tertera di tembok, berukuran besar, serta warna yang sedikit keluar dari setiap huruf. Saya sendiri tidak terlalu suka dengan penataan teks yang lain, seperti nama komikus dan penerbit. Bagi saya mengganggu keindahan ilustrasi sampul.

Alkisah, ada seorang pemuda bernama Rama, yang tinggal di sebuah rumah kontrakan tua bersama temannya (namun sedang tugas luar kota). Pada suatu malam ia mendapati dapur dalam keadaan super berantakan. Pada dindingnya tertulis ‘Enjah’. Tak diketahui apa yang menyebabkan dapur sedemikian berantakan.

Rama pun mulai mencari tahu latar belakang rumah tsb, dan kisah rumah kontrakan mulai terungkap sedikit dari pemilik rumah. Satu per satu petunjuk diikuti, hingga kisah lengkap rumah itu didapat. Dalam perjalanannya, tampak kehadiran ‘orang-orang lain’ yang tak tampak bagi Rama. Suasana horror mulai terbangun.

Seiring dengan terkuaknya kisah, Rama mengalami beberapa peristiwa normal selayaknya seorang biasa. Kisah romansa bermasalah dengan kekasihnya. Membantu sahabatnya yang juga punya masalah asmara pelik. Masih banyak yang lain. Di akhir cerita rupanya semua peristiwa yang tampaknya biasa itu saling berhubungan, dan terkait dengan rumah angker.

Ada banyak faktor menarik dalam buku ini. Konon Beng Rahadian menggarap story board per halaman. Sama dengan pendekatan story board sinema. Menurutnya pendekatan ini lebih mudah, lebih fokus, dan lebih tepat sasaran. Menurut saya pendekatan ini tepat, karena terasa setiap halaman isinya penuh. Padat. Baik dari segi cerita, maupun secara visual.

Pendekatan yang dilakukan Tomas Soejakto juga sangat baik. Setiap halaman terisi dengan padat. Ukuran dan posisi panel disesuaikan. Angle setiap panel pun juga ‘bermain’. Ada close up, ada bird view, ada frog view, dlsb. Sangat bervariasi dan tidak membosankan.

Bagaimana dengan story telling nya? Secara umum menurut saya sangat baik, meski awalnya saya mendapat kesulitan. Ada beberapa kehadiran karakter yang ternyata tidak memiliki makna lanjutan, alias tidak tampak lagi pada panel2 setelahnya. Padahal pada panel2 sebelumnya ia memiliki porsi. Contohnya hantu anak kecil, serta Bapak & Ibu Sudiro (pemilik rumah). Alangkah baik jika mereka yang sempat mengisi beberapa panel sebelumnya, bisa hadir di akhir buku dan diketahui hubungannya dengan akhir cerita. Bahkan ada karakter penting yang hadir di pertengahan atau akhir, tanpa dijelaskan siapa dia itu. Contohnya mas Tarno, yang tidak dihadirkan di awal cerita. Saya sempat mencari2nya di awal buku.

Memang disampaikan pada catatan penulis, bahwa proses kreasi yang memakan waktu lama mengakibatkan perubahan gaya visual di beberapa tempat. Urutan proses konon tidak mengikuti urutan halaman. Entah ini hanya perasaan atau tidak, saya sering kesulitan untuk mengikuti nama2 karakter dan tidak mengenali figurnya. Sebagian karakter pun tampak tidak konsisten, dan mungkin karena proses yang lama tsb. Sering tidak mudah dikenali di halaman2 akhir. Akibatnya harus sering membalik halaman dan mencari nama karakter tsb di awal buku. Buat saya ini merepotkan karena mengganggu intensitas dan mood membaca.

Mungkin karena komik ini bersetting di Jawa Tengah, sehingga banyak menggunakan dialog berbahasa Jawa. Ya benar, di akhir buku ada penjelasan akan dialog2 tsb. Saya bisa memahami bahwa penggunakan bahasa daerah untuk memberi lebih nyawa pada karakter atau cerita. Tapi catatan kaki diletakkan di belakang membuat saya harus membolak-balik halaman. Lagi2 itu mengganggu mood membaca.

Karakter2 alam gaib digambarkan dengan sangat baik. Nampaknya sedikit kerutan di dahi, ekspresi wajah yang polos, serta warna mata hitam kelam, sudah dianggap cukup memberi kesan angker. Saya tidak membantahnya. Namun saya sangat terkesan dengan bagaimana mood suspense horror dibangun sejak halaman pertama. Meski susah payah karena sering bolak-balik halaman, saya berusaha tetap mempertahankan mood. Kebetulan saya membacanya di malam hari menjelang tidur, saat semua anggota keluarga terlelap. Bila setiap panel dan halaman diikuti perlahan, dan lupakan sejenak teksnya, konsentrasi saja pada bahasa visualnya, Anda dapat menghayati cerita horror ini lebih baik.

Tomas juga dengan sangat baik menggambar arsitektur, lansekap, kendaraan, dan berbagai pernak-pernik lainnya. Terasa cermat dan hidup hasilnya. Tidak banyak hari ini komikus Indonesia yang membuatnya secermat ini.

Kini pertanyaan yang paling penting: terciptakah suasana horror nya? Saran saya belilah bukunya dan bacalah…. Anda akan menemukan jawabannya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA