DETEKTIF CILIK DI KERETA HINDIA BELANDA

DETEKTIF CILIK DI KERETA HINDIA BELANDA
Dipublikasikan di harian Koran Tempo Minggu, suplemen Ruang Baca, 22 Februari 2009

Banana Publishing, yang sebelumnya pernah menerbitkan novel grafis Ekspedisi Kapal Borobudur: Jalur Kayu Manis (2007), kembali dengan produk terbarunya. Eendaagsche Exprestreinen membawa misi serupa dengan pendahulunya, mengenalkan sedikit sejarah bangsa Indonesia dalam format gambar dan cerita fiksi. Fokus utamanya adalah perkeretaapian Indonesia awal abad 20, pada masa Hindia Belanda.

Berukuran standar komik Eropa yang besar dan penuh warna, pembaca seakan diajak kembali ke masa kejayaan salah satu kiblat penting dunia komik abad ke-20. Pewarnaan yang lembut namun mudah dibedakan, jumlah halaman yang juga mengikuti lazimnya komik Eropa, hingga gaya ilustrasi yang sepintas sudah bisa ditebak sangat terinspirasi begawan komik asal Belgia, Herge. Pembaca mungkin masih ingat dengan novel grafis sejenis, Rampokan Jawa (Peter van Dongen, 2005), yang mengambil masa transisi kemerdekaan Indonesia. Bolehlah Eendaagsche Exprestreinen disandingkan dengan Rampokan Jawa dalam satu genre novel grafis.

Penulis utama dibalik Eendaagsche Exprestreinen adalah Risdianto. Dengan skripsinya yang berjudul Kereta Api Surabaya – Pasuruan – Malang 1875-1900, Risdianto lulus di jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. ”Skripsi ini bercerita mengenai pembangunan jalur kereta api Surabaya – Pasuruan – Malang tahun 1875 – 1900,” katanya. Dia menjelaskan jalur kereta api ini adalah yang kedua di pulau Jawa setelah jalur Semarang – Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta). Yang membangun jalur itu perusahaan pemerintah Hindia Belanda, Staatssporwegen. Dalam skripsi ini saya menggambarkan dampak sosial dan ekonomi pada jalur kereta Surabaya – Pasuruan – Malang,” katanya.

Tetapi tema perkeretaapian tidak digunakan sebagai sentral cerita dalam Eendaagsche Exprestreinen. Novel grafis ini menampilkan kisah fiksi detektif yang mengambil tempat di dalam kereta api jurusan Jakarta-Surabaya. Dalam penulisan naskah, Risdianto dibantu oleh Yusi Pareanom.

Walau pada ilustrasi sampul depan tidak mudah ditebak bahwa novel grafis ini berkisah tentang kereta api, halaman pertama sudah memberikan petunjuk jelas. Jadwal perjalanan kereta api, stasiun Beos (kini stasiun Jakarta Kota), dan kedatangan sebuah keluarga di halaman depan stasiun sudah memancing aroma kereta api. Tak lama pembaca dibuat terkagum dengan ilustrasi arsitektur dan interior Stasiun Beos yang tersohor itu. Arsitektur stasiun yang mengagumkan ini dibuat oleh Ghijsels (1882-1947). Dibangun selama dua tahun hingga peresmiannya pada 8 Oktober 1929. Sedikit keindahan karya Ghijsels dapat kita saksikan disini. Sayang peran Stasiun Beos (kini bernama Stasiun Jakarta Kota) sebatas tempat pemberangkatan, hingga primadonna Ghijsels ini tidak sempat dieksplorasi lebih jauh. Semoga di lain kesempatan ada novel grafis dengan fokus lokasi peristiwa di Stasiun Beos.

Suasana jalur kereta api Jakarta-Surabaya dapat disaksikan disini, yang merujuk pada dokumentasi tempo doeloe. Desain lokomotif dan rangkaian kereta dibuat dengan cermat oleh tim ilustrator yang terdiri dari Bondan Winarno, Dhian Prasetya, dan Gede Juliantara.

Selain itu dapat ditemukan juga stasiun kecil, kondisi kecelakaan kereta api, beberapa bangunan gaya art deco, interior lokomotif, hingga kehidupan sosial masyarakat sekitar perlintasan kereta api-tanah pertanian, pasar, pedagang asongan, hingga pemangkas rambut bawah pohon. Semua ada, lengkap dengan dagelan yang seakan menjadi ciri khas novel grafis terbitan Banana Publishing sejak Ekspedisi Kapal Borobudur.

Ingin sedikit mengenal cara kerja kereta api? Ada juga, dan kita dipandu oleh tiga remaja cilik penumpang kereta. Ketiga remaja cilik inilah aktor utama dalam membongkar pencurian permata di atas kereta api. Sinyo (bocah keturunan Belanda), Seta (pribumi), dan A Xiu (putri keturunan Cina). Bertiga mereka menjadi kawan seperjalanan dan bersama-sama mencari dalang pencuri kotak permata milik kakek A Xiu.

Ikutilah petualangan dan cerita detektif bergaya Tintin, walau mungkin tidak sekompleks karakter ciptaan Herge 80 tahun lalu itu. Bertiga mereka selayaknya Lima Sekawan atau Sapta Siaga-nya Enid Blyton menikmati perjalanan kereta api, sambil melacak pencuri permata. Seting pencurian mengambil tempat dan waktu di dalam rangkaian kereta api, walau sesekali bersinggungan dengan lingkungan luar.

Menyatunya sejarah perkeretaapian Indonesia dan kisah detektif berlangsung mulus, walau ada beberapa kekurangan. Elemen suspense dan investigasi kurang mengigit, walau sebenarnya mampu dilakukan ketiga tokoh utama ini. Seandainya saja drama mencekam ala Murder On The Orient Express (karya Agatha Christie yang diadaptasi menjadi novel grafis oleh Francois Riviere, 2007) didapatkan dalam Eendaagsche Exprestreinen. Peran ketiga tokoh cilik ini dapat menjadi lebih menarik dan mengundang decak kagum. Namun apa yang dilakukan ketiga bocah cilik ini sudah cukup baik dan mereka berbagi peran secara berimbang.

Beberapa bumbu cerita juga ada disini, selain suasana kehidupan sosial sekitar lintasan kereta api. Obrolan pro-kemerdekaan tentang perjuangan Soekarno, cinta monyet (atau tepatnya cinta lokal) antara Seta dan A Xiu, buronan polisi yang bersembunyi di kereta api, termasuk gangguan jadwal perjalanan (yang masih terjadi hingga hari ini).

”Kami ingin orang-orang tahu sejarah Indonesia bukan saja dari sejarah tentang peristiwa-peristiwa besar saja. Tetapi yang kecil-kecil itu juga bagian dari sejarah Indonesia. Juga untuk meramaikan perkomikkan Indonesia,” Risdianto menambahkan.

Kehadiran novel grafis dengan sejarah kereta api ini memang menambah warna-warni wajah komik nasional, yang banyak dinilai miskin ide dan variasi. Bukannya tidak mungkin kelak kita akan menemukan lebih banyak lagi komik dan novel grafis semacam ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA