INTAN PERMATA RIMBA: KOMIK STRIP HANS JALADARA

dipublikasikan di harian Koran Tempo Minggu, 29 April 2007

“Kini saya melihat adegan silat dalam komik tak lagi perlu bersimbah darah.”

Mereka yang kadung komik Indonesia sejak akhir dekade ‘60an tentunya masih ingat dengan serial komik Panji Tengkorak, Walet Merah dan Rase Terbang. Popularitas serial komik inilah yang mengharumkan nama Rianto Sukandi alias Hans Jaladara (60) sejajar dengan Ganes Th, Jan Mintaraga ataupun Teguh Santosa. Disaat para maestro seangkatannya sudah tiada, pensiun ataupun beralih profesi, seakan tiada hari tanpa komik bagi Hans.

Sejak 1968 nyaris ia menggeluti dunia komik tanpa putus. Sudah setahun terakhir ini karya teranyarnya, Intan Permata Rimba, hadir setiap hari disebuah harian di kota Semarang, Jawa Tengah. Hingga hari ini, Intan Permata Rimba sudah menembus jumlah halaman ke-400. “Saya merencanakan total halaman sejumlah 700an. Kira-kira setahun lagi,”ungkap Hans Jaladara saat dikunjungi di rumah, sekaligus studionya, di perumahan Taman Yasmin Bogor. Bagi komikus generasi sekarang, mungkin ngomik sepanjang 700 halaman adalah sesuatu yang berat, monoton, dan menguras ide. Namun bagi Hans bercerita dan menggambar sepanjang lebih dari 1000 halaman-pun bukanlah tugas yang berat. “Komik Walet Merah (1973) saya buat sedikit diatas 1000 halaman, sedangkan Panji Tengkorak sekitar 500 halaman saat saya re-make tahun 1997”. Sudah dapat anda bayangkan bahwa Intan Permata Rimba akan menjadi komik Indonesia termahal sepanjang masa. Untuk mendapatkan selembar halaman, pembaca harus merogoh kantong sebanyak Rp 2.000,- setiap harinya untuk mendapatkan korannya.

Hans mengaku Intan Permata Rimba terinspirasi saat dia membaca lagi serial komik Tarzan yang pernah diterjemahkan oleh sebuah harian saat ia masih remaja. “Saya memang sangat mencintai nilai-nilai yang ditanamkan disitu, diantaranya manusia harus mencintai binatang. Bukan menyiksanya. Nilai moral yang dijunjung Tarzan pun luhur. Belum terkontaminasi dengan nilai-nilai manusia kota,” ujar Hans, “Karena nostalgia inilah saya mendapat ide untuk mengadaptasi nilai-nilai moral tsb ke dalam serial komik yang baru ini.” Tidak perlu membaca Intan Permata Rimba berlama-lama untuk mengetahui tokoh utamanya memang dibesarkan ditengah hutan, berkawan dengan hewan, dan memiliki nilai moral yang bersih.

Ia sebenarnya hendak membuat sekuel Panji Tengkorak, saat dilamar oleh pihak redaksi. Namun inspirasi komik Tarzan, serta kritik dari istri tercintanya, yang menguatkannya membuat Intan Permata Rimba. “Pihak redaksi memberikan saya kebebasan tema apapun yang ingin saya buat. Begitu pula dengan jumlah halaman. Beberapa kritik pembaca juga disampaikan kepada saya. Seperti umumnya pembaca, ada pro dan kontra. Namun saya selalu senang mendengarnya, karena ini dapat memotivasi saya untuk selalu meningkatkan kualitas cerita dan gambar,”kisah Hans ketika bercerita awal mula pemuatan komik bersambung ini. Terbukti keputusan ini adalah tepat dan Intan Permata Rimba memberi warna tersendiri bagi blantika komik nasional.

Saat diwawancara Hans sedang merampungkan beberapa halaman dan sudah siap dikirim ke redaksi koran di Semarang. Sebagian cerita sudah mulai terungkap titik terangnya, dan Hans memberikan sedikit bocoran. Jalinan cerita yang panjang dan berliku sudah menjadi ciri khas Hans. Kecintaannya membaca cerita silat juga menambah kaya imajinasinya. Beberapa tokoh kunci sudah dimunculkan, konflik mulai berbenturan, dan perburuan mencari Permata Sisik Naga yang diperebutkan seluruh tokoh silat mulai mengerucut. Sang tokoh utama, Intan, mulai menyingkap pentingnya permata bagi mereka yang berhasil menguasainya. Beberapa kejutan sudah menanti dan Hans mengajak pembaca untuk menikmati hari demi hari lembaran komiknya.

Jika dirunut sejak 1968, nyaris tidak ada hari istirahat bagi Hans. Selama dekade ‘70an dan ‘80an beliau gencar dengan tema silat. Hans juga pernah mencoba tema drama remaja. Bahkan ia memenuhi awal karirnya dengan tema roman. Kini ia juga secara rutin membuat komik pendidikan anak bagi komunitas rohaninya, yang kerap menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai luhur. Hans juga dikenal dengan interpretasi ulangnya terhadap Panji Tengkorak (1968), serial komik yang ia sendiri ciptakan, sebanyak dua kali (1985 dan 1997). Budayawan pemerhati komik, Seno Gumira Ajidarma, mengangkat keunikan ini dalam disertasi doktoralnya. Siapapun akan kagum melihat bagaimana seorang Hans Jaladara tidak hanya menggambar ulang, tapi ia mampu mengikuti perkembangan zaman, dengan memberi banyak perubahan pada Panji Tengkorak. Perubahan inilah, terutama dari segi visual, yang kerap dikritik pembaca setia sejak era Panji Tengkorak. Banyak yang mengatakan Hans kini sudah terpengaruh manga Jepang. Padahal Hans hanya menyederhanakannya tanpa menghilangkan keunggulan lainnya. Nampak pula berbagai kerumitan yang jarang ditemukan di komik manga.

Bagi Hans membuat komik bersambung bukanlah pekerjaan yang mudah. Ini adalah pengalaman pertamanya. “Saya mencoba untuk mengadaptasi pendekatan komik strip. Seringkali saya kesulitan dan akhirnya membuat setiap halaman selayaknya saat membuat buku komik. Namun saya terus mencobanya karena pendekatan komik strip adalah tantangan baru buat saya,” jelas Hans saat ditanya tentang pakem komik strip yang mampu mempertahankan emosi pembacanya setiap lembar. Hans adalah penggemar berat komik strip serial Garth (karya Frank Bellamy) atau karya maestro Indonesia lainnya seperti Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn. Ia juga kerap mengisi hari-harinya dengan melukis, bilamana ia sedang jenuh ngomik. Kini ia sedang mencoba-coba membuat patung figurine Panji Tengkorak. “Saya tertantang setelah melihat betapa bagusnya figurine komik-komik Amerika dan Jepang disebuah toko. Tapi ini masih contoh kasar, masih perlu penghalusan,” ungkapnya dengan senang saat memamerkan buah karya terbarunya.

Kecintaan Hans pada dunia sinema juga terungkap dalam berbagai susunan panel yang membuat pembaca serasa sedang menonton film di bioskop. Kepiawaian Hans pada panel sinema ini sebenarnya lebih dieksplorasi dalam serial lainnya, Malaikat Pedang Buntung, yang hadir bersambung disebuah majalah komik. Perbedaan kedalaman eksplorasi ini dilakukan karena perbedaan format media dan segmen pembacanya. Format bersambung pada media koran harian memberinya keterbatasan sekaligus keleluasaan.

Menyadari bahwa pembaca koran nyaris merambah semua lapisan umur dan strata sosial masyarakat, Hans menunjukan profesionalitasnya. Sedapat mungkin ia menghindari visualisasi kekerasan. Bahkan tokoh utama Intan tidak pernah sekalipin membunuh manusia. Apapun alasannya. Adegan kekerasan dan bersimbah darah pun sedikit ditemukan. “Saya memang berbeda dibandingkan, katakanlah, 30 tahun yang lalu. Ketika itu Panji Tengkorak kerap penuh kekerasan. Tapi setelah bertambah usia, saya menyadari bahwa suatu cerita kekerasan tidak perlu divisualisasikan seperti itu. Apalagi jika melihat berbagai sinetron televisi yang akrab dengan sensualitas dan kekerasan, saya tidak ingin menyampaikan moral yang merusak pembaca.”

Sudah mendekati 40 tahun perjalanan karir Hans Jaladara, namun kiprahnya dalam komik tak mampu ditandingi oleh komikus manapun di Indonesia. Makin hari kualitasnya semakin meningkat. Berbagai ide dan inovasi ia coba lakukan dalam setiap karyanya. Inovasi, produktivitas dan profesionalisme inilah yang membedakannya dengan maestro komik lain seangkatannya. Hans mampu mengikuti perkembangan zaman, tanpa harus meninggalkan ciri khasnya. Sikap dan semangat inilah yang patut dicontoh seniman manapun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA