90 TAHUN RA KOSASIH: BAPAK KOMIK INDONESIA



dipublikasikan pertama kali di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 26 April 2009

Dalam waktu dekat akan diterbitkan Mahabharata, komik wayang karya (alm) Teguh Santosa yang pernah terbit sebagai bonus Majalah Ananda sekitar tahun 1980-an. Berbicara tentang komik wayang tak bisa dilepaskan dari RA Kosasih, legenda komikus yang populer dengan deretan komik wayangnya.

Tanggal 4 April 2009 beliau memasuki usia ke-90 tahun, suatu usia yang sangat langka bagi kebanyakan manusia saat ini. Keadaan ini menjadi lebih mengagumkan bagi mereka yang sering berjumpa beliau. Sangat mudah baginya mengingat kiprah awal karir, kesulitan saat mengadaptasi kitab Mahabhrata yang legendaris, hubungannya dengan penerbit Melodie dan Maranatha yang membesarkan namanya, hingga perkembangan industri komik masa kini. Beliau bahkan dapat mengoreksi suatu pernyataan atau informasi yang keliru. Berapa banyak manusia di usia lanjut sepertinya memiliki kesehatan ingatan seperti RA Kosasih?

Mereka yang dibesarkan pada dekade 1950-an hingga 1980-an tentunya ingat betul karya-karya beliau: Mahabharata, Ramayana, dan puluhan komik wayang lainnya. RA Kosasih juga yang menciptakan tokoh pahlawan super wanita, Sri Asih (1953). Berpakaian selayaknya penari wayang orang dan mampu terbang, Sri Asih membasmi kejahatan. RA Kosasih adalah komikus yang sangat produktif, termasuk membuat komik cerita rakyat.

Walau memulai karirnya sebagai komikus di usia yang terhitung sudah terlambat start, ia termasuk komikus yang paling produktif. Sepanjang kurun waktu 1953 hingga awal 1990-an, catatan sementara dalam database KomikIndonesia.com menunjukkan sekurangnya 114 judul terdaftar. Suatu jumlah yang fantastis dan sulit ditandingi, bahkan untuk komikus generasi muda sekarang.

RA Kosasih bukanlah komikus pertama negeri Pertiwi. Sebelumnya sudah ada Kho Wan Gie dan Nasroen AS. Karir nya pun sezaman dengan Delsy Sjamsumar, John Lo, Taguan Hardjo, dan Zam Nuldyn. Namun RA Kosasih lebih dikenal luas di masyarakat, karena ia mampu menyadur karya sastra kelas berat menjadi komik yang notabene adalah produk pop. Di tangan RA Kosasih wayang berhasil divisualisasikan secara sempurna, walau diakuinya ia mencontoh profil wayang orang dan wayang golek.

“Saya dari kecil memang menyukai wayang golek dan terinspirasi untuk menjadikannya dalam bentuk komik,” kenang RA Kosasih dalam suatu wawancara. Adalah penerbit Melodie Bandung yang mendorongnya untuk membuat komik wayang. “Saat itu komik dihujat karena dianggap produk murahan dan berakibat buruk bagi anak-anak. Saya tergerak untuk membuat komik cerita rakyat yang berisi pesan moral. Hingga akhirnya saya mencoba membuat komik wayang Burisrawa Merindukan Bulan. Judul itu laku keras dan penerbit Melodie Bandung meminta saya membuat komik wayang cerita panjang dan berseri. Saya terpikir kitab Mahabharata yang punya pesan moral dan sudah mengakar dalam budaya Indonesia,” tambah RA Kosasih.

Menyadur kitab ini bukanlah pekerjaan mudah. RA Kosasih meminjam buku itu dari penerbit Balai Pustaka dan mulailah corat-coret. Ia berusaha untuk tetap setia dengan pakem ceritanya, dan tidak menyampurnya dengan pakem wayang purwa Jawa. Selanjutnya serial Mahabharata menjadi best seller (1954) dan berhasil mengubah citra komik menjadi bacaan yang mendidik. Kesuksesan ini membuatnya berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai dan menekuni profesi komikus.

Ambillah sebuah episode Mahabharata dan perhatikan setiap halaman baik-baik. Profil setiap tokoh tidak sulit dibedakan. Walau ia mengadaptasi profil kostum dan perhiasan kepala (termasuk mahkota) dari wayang golek dan wayang kulit, kita masih mampu membedakan tiap karakter dengan mudah. Dekorasi mahkota, perhiasan, dan pakaian, divisualisasikan secara sederhana. Sangat berbeda dengan versi wayang kulit, golek atau wayang orang yang aksesorisnya rumit. Perhatikan pula berbagai bentuk dan ornamen bangunan, mulai dari istana, gapura, hingga kereta kuda dan senjata. Tampak seakan terbuat dari batu dan kayu, dengan proses pengerjaan selayaknya candi puluhan abad silam.

Perhatikan secara seksama gaya bahasa Indonesia yang digunakan. Sangat sederhana, lugas dan sarat makna. Ia mampu menyadur bahasa sastra kelas berat menjadi bahasa pop yang mudah dicerna, seakan bahasa sehari-hari. Pesan moral didalamnya pun tetap melekat dan pembaca dapat menyerapnya.

Terlihat pula RA Kosasih sangat mencintai pemandangan alam. Kebetulan cocok dengan lansekap dunia pewayangan yang sering mengambil lokasi daerah pegunungan, sawah, tanah lapang, lautan, dan lainnya. Suatu pemandangan universal dan seakan berada di lingkungan sekitar kita puluhan abad lampau. Di masa produktifnya, ia mampu menyelesaikan tiga halaman per hari dengan honor (sistem royalti belum dikenal masa itu) yang jauh melampaui gajinya sebagai karyawan.

Namun karya RA Kosasih tidak luput dari kekurangan. Cerita asli karangan beliau tidaklah cukup mumpuni bertanding dengan karya saduran wayangnya. Tema yang kurang berbobot serta penokohan karakter yang kurang dalam, membuat karyanya seperti Cempaka, Siti Gahara, dan lainnya hanya dikenal penggemar fanatik. Pujian masih dapat diberikan pada karya saduran cerita rakyat seperti Panji Semirang, Sangkuriang, Salaka Domas, atau Ratih Danuwarsa, yang disadur dengan pendekatan serupa Mahabharata.

Kesuksesannya membuka jalan bagi banyak seniman yang ingin mengadu nasib terjun menjadi komikus. Lahirlah suatu industri buku baru di Indonesia, yaitu industri komik. Suatu produk bacaan yang sebelumnya tidak diduga bakal menjadi industri. Sebelumnya komik hanya dikenal terbit harian, atau mingguan, di surat kabar seperti serial Put On (Kno Wan Gie) dan Mentjari Poetri Hidjaoe (Nasroen AS) dengan format komik strip. Tapi RA Kosasih merubah segalanya. Sejak terbitnya serial Sri Asih (1953), RA Kosasih memperkenalkan komik langsung dalam format buku. Bukan terbit bersambung di media massa. Sejak saat itu entah sudah berapa ribu komikus Indonesia lahir, terinspirasi olehnya. Banyak pula komikus yang mengadaptasi (lagi) komik wayang saduran RA Kosasih, seperti Mahabharata karya (alm) Teguh Santosa diatas itu.

Saat ini beberapa komunitas komik berinisiatif membuat serangkaian acara untuk menghormati perjuangan dan jasa RA Kosasih sepanjang tahun 2009 ini. Harapannya agar masyarakat ingat akan pengabdian beliau. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang dibesarkan dengan karya beliau. Mulai dari pelajar, pekerja, seniman, ibu rumah tangga, hingga politikus dan pemimpin pemerintahan. Nilai-nilai moral yang ia sampaikan masih membekas di hati.

Tidaklah berlebihan ketika budayawan Seno Gumira Ajidarma pernah berkata, "Siapapun yang menjadi presiden, sebaiknya ia tidak lupa memberi penghargaan kepada RA Kosasih dengan bintang Mahaputera, karena memang orang tua ini seorang mahaputera..." ("R.A. Kosasih: Sang Mahaputera" Seno Gumira Ajidarma, Majalah D'Maestro Sept 2004).

Selamat ulang tahun ke-90 Bapak Komik Indonesia!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA