AKHIR TRILOGI KNIGHTS OF APOCALYPSE

Dipublikasikan pertama kali di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 29 Maret 2009
“Komik multi lini asli buatan anak bangsa Indonesia”
Penantian selama lebih dari dua tahun terbayar sudah. Trilogi komik Knights of Apocalypse (KoA) usai sudah. Janus von Drache, satu dari ke-empat Ksatria Akhir Zaman (Apocalypse), menemukan kembali ingatannya dan alam semesta kini kembali menjadi damai. Kaisar Garibaldi berhasil dikalahkan, Wolfenstein dan Jagger (dua ksatria yang terlambat sadar diperalat Garibaldi) gugur, Ilumina (alias Yang Tak Tertandingi, satu-satunya wanita dari ke-empat ksatria) kembali bersanding dengan Janus von Drache. Happy ending.
Kisah akhir bahagia ini tak begitu saja tercapai. Jalan rumit dan berliku ditempuh oleh para tokohnya, dan juga pembacanya. Alkisah di Planet Terra pecah perang nuklir dan menghancurkan ekosistem. Ragdash tetap tinggal di Terra, sementara Turkamabad eksodus ke planet Ares. Liberte yang netral sempat meninggalkan Terra sebelum bom nuklir diledakkan, membangun koloni luar angkasa. Kini beberapa ribu tahun mendatang ketiga pihak berseteru kembali. Ragdash, kini bernama Black Sun, menyerang Turkamabad dan Liberte (kini bernama Freedom) dimana keduanya tak juga bersekutu. Di tengah kekacauan inilah hadir para ksatria Apocalypse setelah menghilang selama seribu tahun. Namun kini ingatan mereka terdistorsi dan berada di pihak berseberangan.
“Fokus utama cerita memang pada Janus, dan ketiga ksatria lainnya, termasuk para tokoh protagonis lain, dibuat untuk melengkapi cerita dan latar belakang keseluruhan,” ungkap Is Yuniarto, ilustrator dan cerita KoA. Is Yuniarto tidaklah sendiri. Ia membangun KoA bersama dua orang temannya, John G. Reinhart dan Aswin Agastya. Saat itu tahun 1999 ketika ketiga sahabat ini duduk di bangku SMA di Semarang, Aswin menulis cerita, Is membuat desain karakter dan pesawat, dan John membuat sketsa desain latar. Konsep cerita mengambil model kerangka cerita role playing game (RPG), dimana tokoh utama kehilangan jati diri. Dalam pencariannya ia bertemu kawan dan lawan, lama maupun baru.
Naskah KoA terpendam selama tujuh tahun dan baru dibongkar kembali setelah mereka lulus kuliah. Menyadari naskah sudah kadaluarsa, ketiga sahabat sepakat untuk memperbaharuinya hingga ke desain karakter dan latar. Masing-masing membuat ide cerita, lalu menggabungkannya menjadi satu alur cerita utuh. Mereka belajar banyak dari Wind Rider, komik mereka yang meraih sukses dan diterbitkan oleh Elex Media tahun 2005. Wind Rider sendiri tergolong sukses. Judul ini termasuk dalam sejumlah komik yang dianggap monumental sepanjang kurun waktu 1997-2007 , dan ikut dipamerkan di Komik Indonesia Satu Dekade (KONDE!) 2007. Waktu efektif dalam pembuatan setiap jilid KoA sekitar empat hingga enam bulan. Ketelitian dan kecermatan setiap halaman menjadi bukti waktu dan tenaga tidak terbuang percuma.
Pembangunan cerita tergolong baik. Sejak awal pembaca diperkenalkan dengan jagad cerita dan tokoh-tokoh utama, serta disisipi potongan kisah latar belakang untuk setiap peristiwa penting. Sisipan ini sangat penting sebagai penjelasan latar peristiwa, dan juga untuk menghemat waktu. Tidak mungkin semua informasi relevan dapat dimuat dalam tiga buku. Ada kendala ruang dan waktu. Pendekatan sisipan ini terbukti sangat efektif dan membuat pembaca tidak kebingungan.
Namun KoA lebih dari sekedar komik. Ia merupakan tema yang beranak-pinak menjadi banyak derivatif produk. Di dalam tiap komik terdapat papercraft replika pesawat tempur KoA. Pesawat tempur baru terbentuk utuh setelah kita menggabungkan ketiga potong papercraft. Ada juga paper figure, lengkap dengan petunjuk perakitan, yang dijual terpisah. Sebuah permainan kartu dan figurine dari tanah liat tersedia. Game komputer dan media promo berupa animasi trailer dapat diakses di http://www.windriderstudio.com dan http://www.youtube.com/windriderpro. Sambil menyaksikan animasi trailer dan bermain game komputer, penggemar juga dihibur dengan musik soundtrack KoA yang sangat memikat. Luar biasa!
Rasanya hingga hari ini belum ada komik Indonesia yang membuat konsep sedemikian lengkap. Umumnya hanya terbatas pada komik dan merchandise. Namun tidak merambah permainan kartu, papertoys, bahkan musik soundtrack. Industri komik Jepang mungkin sudah beberapa langkah lebih maju, tapi di Indonesia tak banyak komikus dan studio yang berani dengan konsep ini. Sudah barang tentu investasi berupa waktu, tenaga, teknologi dan uang sangat dibutuhkan. “Saya ingin pembaca setelah selesai membaca komik KoA, tidak langsung menutup buku dan menyimpannya di lemari, masih banyak yg dapat pembaca lakukan sehubungan dengan KoA,”ucap Is Yuniarto.
Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih banyak tentang asal usul ke-empat Ksatria Akhir Zaman, terutama ketika mereka dibentuk untuk melawan bangsa asing Draxonian, sangat dianjurkan bermain game komputernya yang bisa diunduh secara gratis. “Konsepnya saya buat bersama Aswin. Saya ilustratornya dan Aswin sebagai programmer-nya. Game KoA dibuat agar pembaca bisa lebih dalam mengenal tokoh dan cerita dalam jagad KoA. Cerita dalam game tersebut mengambil tempat dan waktu tepat sebelum komik KoA jilid satu. Jadi bisa dibilang cerita dalam game ini adalah prequel / KoA jilid 0.
Seperti halnya film Star Wars, yang juga diidolakan Is Yuniarto, KoA menyimpan banyak pertanyaan. Sebagian diantaranya terkait dengan kisah prequel KoA, sama seperti masa lalu Anakin Skywalker pada trilogi pertama Star Wars. “Kami sedang menyusun Melas Helios, novel grafis prequel dari KoA,”ungkap Is. Semoga lebih banyak informasi seputar ke-empat Ksatria Akhir Zaman, atau bencana nuklir Planet Terra, terungkap.
Keberadaan musik tema menjadi keunikan tersendiri. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di Jepang, musik tema film animasi dan permainan komputer menjadi produk yang punya daya jual tinggi. Is Yuniarto dan teman-temannya menyadari hal ini dan mengadaptasi strateginya. “Ada beberapa rekan komposer yang mengerjakannya. Ada juga yang kami minta secara khusus. Bahkan ada juga yang mengirim tanpa kami minta,” Is menjelaskan. Ilustrasi musik animasi trailer dibuat oleh Des Kharisma. Musik soundtracknya, Ne!, dibawakan oleh The Felinecomplex dan dapat disimak di http://www.myspace.com/thefelinecomplex.
Dedikasi is Yuniarto, John G. Reinhart dan Aswin Agastya sangat pantas mendapat pujian. Tidak hanya karena kreativitas mereka melahirkan satu set produk Knights of Apocalypse. Semuanya dilakukan secara indie, alias modal sendiri. Tentu saja ada bantuan beberapa sponsor. Jika mereka bisa melakukannya, kenapa kita tidak?
Komentar
Posting Komentar