BUS RAPID TRANSIT (BUSWAY) part 1: DKI JAKARTA

Salah satu transportasi umum yang paling populer di DKI Jakarta dalam 5 tahun terakhir adalah bus rapid transit (BRT) yang lazim dikenal dengan nama Busway. Diselenggarakan oleh TransJakarta Busway, yang merupakan agency BRT di bawah Dinas Perhubungan, DKI Jakarta. Melihat betapa mendesaknya penanganan kemacetan kota Jakarta, tidak heran jika banyak pihak yang memperhatikan dengan teliti kinerja Busway. Kebetulan dalam setahun terakhir saya aktif menggeluti sepak terjang TransJakarta Busway, serta berbagai problema transportasi massal, saya terpanggil untuk menuangkan buah pikiran dan berbagi dengan para pengguna jasa publik ini, termasuk mereka yang belum menggunakan jasanya.

Banyak yang tak menyadari bahwa busway (gampangnya busway aja ya, dibanding BRT) sesungguhnya adalah konsep sistem kereta api dalam bentuk bus. Bayangkanlah suatu sistem kereta api, lengkap dengan lokomotif, gerbong, stasiun, sistem tiket, sistem kendali, lampu kendali, dll. Sudah? Setelah terbayang, gantilah lokomotif dan gerbongnya dengan bus, serta rel kereta api dengan jalur busway. Sisanya tetap sama. Jadilah sistem busway yang kita lihat sekarang.

Sama halnya dengan kereta api, rel kereta api tidak bisa dan tidak boleh diinterupsi kendaraan lain atau pejalan kaki. Dalam kasus kereta api, tentunya kendaraan lain mustahil masuk ke jalur rel (selain mobilnya James Bond dalam film Octopussy tentunya). Tapi jalur busway dibuat dari aspal/ beton dan mudah dimasuki kendaraan lain. Tidak ada kendaraan yang berani menggunakan jalur rel, karena sudah pasti akan ditabrak oleh kereta api. Namun karena busway berbentuk bus dan ada pengemudinya, para pelanggar berasumsi bus bisa melambatkan laju kendaraan, bahkan bisa rem mendadak, jika ada kendaraan pelanggar masuk ke jalur busway. Jika melihat kembali pada sistem kereta api, semua pelanggar dan korban yang jatuh menjadi risiko yang ditanggung sendiri. Bukan kesalahan busway.

Sama dengan kereta api, busway juga mengenal ketepatan waktu. Biasa dikenal dengan istilah headway, yaitu jeda waktu keberangkatan antar bus. Artinya bus akan berangkat setiap, katakanlah, 3 menit dari sebuah halte. Ketepatan headway ini hanya bisa terwujud jika jalur busway benar-benar steril dan tidak terganggu. Persis sama seperti rel kereta api. Minimnya persimpangan dengan jalan umum, u-turn, lampu merah, dll akan mempengaruhi kecepatan bus dan ketepatan headway. Dengan sulitnya jalur bus steril, kecuali Koridor 1 (Blok M-Kota), dapat dipastikan jadwal headway sulit bisa ditepati. Tidak aneh penumpang bisa menunggu hingga 30-45 menit.

Kenapa posisi halte sedemikian tinggi? Apakah tidak bisa lebih rendah, selayaknya halte bus normal? Inilah konsekuensi dari adaptasi sistem kereta api, dimana lantai platform posisinya tinggi dan lantai bus menyesuaikan diri.

Mengapa jumlah penumpang bus nampak penuh sesak? Menurut aturan yang dibuat Pemerintah Kota, batas maksimal penumpang adalah 85 orang (single bus) dan 160 orang (articulated/ bus gandeng). Jika jumlah kursi dan luas lantai dihitung, dan diperkirakan terdapat 5 orang/ m2, maka kira-kira 85 orang merupakan angka yang cocok. Jika dirasakan kurang nyaman, bisa saja aturan diperbaiki dan jumlah maksimal direvisi menjadi, katakanlah, 70 orang.

Sebuah bus sebenarnya tidak membutuhkan seorang penjaga pintu, yang lazim disebut satgas bus. Petugas ini membantu proses naik-turun penumpang (boarding & alighting) agar lancar, terutama karena kendala jarak antara bus dan halte yang sulit serapat mungkin. Kendala utama adalah kondisi jalur bus yang tidak mulus (bergelombang atau rusak) dan posisi trotoir yang tidak sejajar dengan batas ujung platform halte. Selain itu kebiasaan penumpang yang cenderung tidak sabar membuat proses naik-turun sering terhambat. Bahkan sering ada penumpang yang kecelakaan, kaki nya terperosok ke celah bus dan platform halte.

Halte yang terlihat penuh sesak dan panas merupakan dampak dari terhambatnya headway bus, kurang baiknya desain halte di awal perancangan, keliru memperkirakan jumlah calon penumpang, serta minimnya fasilitas di dalam halte. Desain halte yang sekarang dikenal mengadaptasi desain halte busway di kota Bogota, Kolombia, karena desain dan sistem busway Jakarta memang diadaptasi dari kota tsb. Bogota adalah kota yang sejuk, karena berada di ketinggian 2.600 m di atas permukaan laut. Jakarta iklimnya berbeda dan mungkin desain serta bahan pembuatnya kurang tepat. Sirkulasi dan pendingin udara juga sangat kurang, sehingga membuat udara semakin hangat (jika bukan panas).

Sistem tiket busway saat ini sebagian masih menggunakan tiket kertas. Melihat perkembangan dan tuntutan zaman, seharusnya sistem tiket kertas sudah ditinggalkan dan diganti dengan tiket elektronik. Dengan adanya tiket elektronik, risiko uang beredar dapat dikurangi. Anda bisa bayangkan jika setiap halte menjual tiket sebanyak 1.000 lembar per hari, ada berapa uang tunai di tangan kasir? Ini sangat berisiko. Tiket elektronik juga lebih bisa diyakini laporan penjualannya, karena tercatat secara real-time. Setiap kartu elektronik, mirip-mirip kartu isi ulang yang biasa dipakai berbelanja atau jalan tol, bisa mencatat asal dan tujuan setiap penumpang, serta waktu pemakaiannya. Data ini sangat penting untuk merencanakan kebutuhan bus setiap saat, berdasarkan grafik perjalanan penumpang.

Mengapa jembatan penyeberangan tampak kotor dan tidak terurus? Banyak yang tidak tahu bahwa jembatan penyeberangan orang (JPO) tidak berada dibawah kendali Transjakarta, melainkan di bawah Dinas Perhubungan. Ya benar, banyak penggunanya adalah pengguna busway. Tapi apa mau dikata, penanggung jawabnya bukan TransJakarta. Sulit bagi mereka untuk memelihara, memperbaiki, dan menjaganya. Kasus yang sama juga terjadi pada kondisi runway/ jalur. Digunakan oleh Busway, tapi penanggung jawab perbaikan ada pada Dinas Perhubungan. Jadi jika ada permintaan perbaikan, ya terpaksa menunggu .....

Mengapa busway nampak menuh-menuhin jalan raya aja? Bikin tambah macet! Sebenarnya ada paradigma yang ingin dibangun disini. Sebuah kota hendaknya dirancang agar layak huni bagi penduduknya. Mulai dari taman kota, ruang publik, ruang pejalan kaki, udara yang sehat dan bersih, dan lainnya hingga adanya transportasi masal. Jakarta sudah terlalu padat dengan kendaraan bermotor pribadi. Memilikinya sih sah-sah saja, dan itu hak setiap orang. Tapi penggunaannya yang harus dibatasi. Kendaraan pribadi bisa digunakan saat hari libur, tapi pada hari kerja hendaknya menggunakan kendaraan umum. Coba saja hitung secara kasar, perbandingan ruang pada jalan raya antara mobil dan bus. Pada perbandingan ruang yang sama, bus bisa mengangkut hingga 85 orang. Sementara mobil pribadi? Mungkin maksimal 21 orang saja (3 MPV x 7 orang). Apalagi dengan sepeda motor? Emisi gas buang busway juga lebih baik. Kecuali Koridor 1, bahan bakarnya adalah gas.

Bicara soal gas, ada masalah lain lagi. SPBG di kota Jakarta sangat terbatas. Sedangkan jumlah busway ada ratusan. Setiap bus terpaksa harus mengisi gas 2x sehari. Kapasitas tangki gas tidak bisa ditambah lagi dan sudah maksimal. Sebuah bus harus mengantri hingga setidaknya 3 jam untuk mengisi penuh. Aliran listrik sangat mempengaruhi kecepatan pengisian gas. Jika listrik Jakarta terganggu, dan ini sangat sering, sudah dapat dipastikan antrian bus akan panjang. Pernah sebuah bus harus antri dan mengisi gas hingga 10 jam, hanya karena gangguan listrik.

Kembali lagi ke kota yang layak huni. Tujuan utama dari busway adalah menarik minat para pengguna kendaraan pribadi agar mau pindah ke busway. Dengan demikian, pemakaian kendaraan pribadi berkurang. Namun sudah wajar seseorang menuntut pelayanan prima kelas satu dari busway. Dengan fisik bus yang sering tidak mengilap, halte penuh dan panas, AC bus kurang dingin, jalur terhambat, dll siapa yang tertarik pindah ke busway?

Pengalaman saya melihat penerapan busway di Mexico City, Guadalajara, Pereira dan Bogota, peran bus feeder sangat penting. Feeder inilah yang menjemput dan mengantar penumpang ke/ dari halte busway. Tidak perlu penumpang memarkirkan kendaraannya (seperti di Kuala Lumpur) dan selalu ada halaman parkir luas di sekitar halte. Feeder dapat memecahkan masalah dan sistem tiketnya bisa gabung dengan busway. Namun sebuah feeder tidak boleh mengangkat/ menurunkan penumpang dimana saja, dan hanya boleh melayani penumpang busway. Inilah masalah utama di Jakarta, dimana feeder lebih mirip transportasi normal saja dan tidak terintegrasi dengan busway. Tidak aneh feeder menjadi masalah dengan transportasi umum lainnya yang merasa periuk nasinya dicuri.

Jadi mampukah busway menjadi andalan DKI Jakarta dalam memecahkan masalahnya? Mampukah Anda, warga kota Jakarta, ikut mendukung kelancaran operasi busway?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA