BUS RAPID TRANSIT (BUSWAY) part 2: BOGOTA, MEXICO CITY, GUADALAJARA & PEREIRA

Pertengahan Oktober 2009 selama dua minggu saya ikut serta dalam rombongan studi banding penerapan bus rapid transit (alias busway) di 4 kota di dua negara: Mexico City dan Guadalajara (Meksiko), serta Bogota dan Pereira (Kolombia). Tujuan studi banding ini untuk melihat penerapan busway di 4 kota tsb, bagaimana mereka menangani masalahnya, membandingkannya dengan masalah bus rapid transit/ busway DKI Jakarta, dan menindaklanjutinya sesuai dengan kapasitas masing-masing peserta. Oya pesertanya terdiri dari perwakilan ITDP Indonesia, DPRD DKI Jakarta, TransJakarta Busway, Bike To Work, Suara TransJakarta (komunitas pengguna busway), TVOne, Kompas, Green Radio, serta kami sendiri.

Ada beberapa fakta menarik hasil studi banding ini. Saya akan menceritakannya satu per satu.

Agency (pengelola) busway di 4 kota ini berada di bawah Pemerintah Kota masing-masing. Sama seperti Transjakarta Busway di bawah Pemerintah Provinsi (karena DKI adalah kota merangkap provinsi) DKI Jakarta. Judul bentuk hukumnya beda-beda dan saya ngga ingat istilah mereka. Struktur organisasinya sejauh yg saya perhatikan, berorientasi pasar. Artinya struktur organisasinya cepat tanggap terhadap layanan jasa publik. Kondisi ini berbeda dengan TransJakarta yg cenderung kaku dan birokratif. Jika strukturnya dibenahi dan disesuaikan, seharusnya pelayanan bisa lebih sempurna dibanding sekarang.

Jalur busway disana benar2 steril. Nggada gangguan, apalagi kendaraan yang suka menyerobot masuk. Headway (jeda waktu keberangkatan antar bus) bisa dijaga, sehingga kepastian penumpang akan datangnya bus selalu on-time. Nggada orang menyeberang jalan sembarangan, atau mobil/ sepeda motor masuk jalur. Setidaknya dari hasil pengamatan saya ya. Ngga tahu deh kalo pas saya sedang makan tortilla atau minum tequila di warung pinggir jalan.

Operator busway juga sama seperti di Jakarta, dipegang oleh operator bus dan supir. Mungkin banyak yang tidak paham bahwa TransJakarta hanya memegang jaringan jalur bus/ koridor. Bus dimiliki dan dioperasikan Operator (kecuali bus Koridor 1 yg milik Pemprov DKI). Maksudnya begini: Pada saat koridor dirancang, dihitung jarak koridor dan headway yg diinginkan. Dari dua variabel ini, didapatkanlah jumlah bus yang dibutuhkan. Ditambah bus cadangan, sejumlah bus dan pengemudinya ditenderkan kepada publik.

Sama seperti ke-4 kota yang saya kunjungi, kesempatan pertama diberikan kepada para mantan pemilik bus yang trayeknya hilang gara-gara ada busway. Para mantan pemilik ini disuruh membentuk perusahaan Konsorsium, kumpulin modal, lalu menjadi Operator serta mengadakan bus dan karoserinya.

Mexico City rada unik. Bus-bus lama yang super jelek itu diberi kompensasi USD 1,000/ bus. Oleh Pemerintah bus antik itu dihancurkan. Mantan pemilik bus punya kebebasan untuk ikut Konsorsium atau tidak. Pada trayek yang tidak dilayani busway, masih terdapat bus umum koq. Jangan khawatir. Kota seperti Mexico City dan Bogota saja masih banyak bus kacau balau itu. Sama seperti Jakarta. Berhenti sembarangan, naik-turun penumpang suka-suka hati, penumpang seenaknya angkat tangan manggil bus, dll.

Atas jasa yang diberikan Operator, TransJakarta memberikan kompensasi yang dihitung berdasarkan km tempuh setiap bus. Operator tidak bisa mengoperasikan bus seenaknya. Mereka harus mengikuti jadwal yang ditentukan oleh TransJakarta, yaitu jadwal headway setiap jam yang disusun sesuai kebutuhan. Misalnya pk 05.00-06.00 WIB headway 5 menit. Artinya bus berangkat setiap 5 menit. Pk 06.00-09.00 WIB headway 3 menit. Dst. Ketepatan headway tentunya sangat tergantung pada kelancaran dan sterilisasi jalur. Jika jalur terganggu, sulit headway terpenuhi.

Transmilenio Bogota (Kolombia), yang menjadi blue print TransJakarta Busway, menyediakan fasilitas bagi Operator. Tepatnya sih Pemerintah Kota yang menyediakan, berupa pool, SPBU (ke-4 agency BRT itu semuanya menggunakan solar. Bukan gas), cuci bus, dll. Saya lupa dengan fasilitas bengkel dan control room siapa pemiliknya. Macrobus Guadalajara control room-nya milik Pemerintah Kota, karena sinkron dengan control room subway. Kualitas mesin diesel mereka sudah mencapai Euro-3 dan rencananya tahun 2010 sudah Euro-4. Setahu saya di Jakarta baru bus antar kota saja yang Euro-2. Bus kota? Lihat saja asap knalpotnya dan kira-kira mereka Euro berapa.

Control Room di Transmilenio dan Macrobus peralatannya canggih. Selayaknya kereta api, dan mulai mendekati bandar udara. Semua aktivitas lapangan dapat dipantau dan dikendalikan dari control room. Respon terhadap gangguan dapat segera diketahui dan ditangani.

Sistem tiket juga termasuk canggih. Kecuali Transmilenio yang menyediakan loket kasir, sama seperti TransJakarta, ke-3 busway lain hanya menyediakan mesin tiket. Penumpang memasukkan uang kertas dan tiket tersedia. Loket kasir masih tersedia hanya di halte-halte ujung. Penumpang juga bisa membeli kartu langganan yang bisa diisi ulang. Tidak ada tiket kertas, seperti di Transjakarta.

Desain halte juga menarik perhatian. Pada dasarnya desain halte ke-4 kota mirip-mirip dengan Jakarta, hanya saja lebih baik. Guadalajara misalnya, halte nya sangat panjang dan memperkecil risiko penumpang berdesak-desakan di halte.

Kecuali Transmilenio, penumpang tidak terlalu berdesakan di 3 busway yg lain. Mungkin timing saya saja yg tepat. Tapi di Bogota penumpangnya sangat banyak 1,4 juta/ hari, dari total penduduk Bogota 7 juta orang. Bandingkan dengan TransJakarta yang penumpangnya 240.000 orang/ hari, dari total penduduk DKI sekitar 8 juta. Gudalajara penumpangnya 126.000 orang/ hari. Yang paling hebat adalah Pereira dengan 115.000 orang/ hari padahal penduduknya ngga nyampe 700.000 orang! Artinya 1 dari setiap 6 orang naik busway. Bandingkan dengan Jakarta yang 1 dari 33 orang naik busway.

Kemacetan kota juga masih ditemukan di Bogota, Guadalajara, Mexico City dan Pereira, terutama di bagian-bagian kota yang tidak dilayani busway. Yang paling mengagumkan adalah Pereira, karena mereka menerapkan busway semata karena mengurangi polusi udara akibat tingginya pemakaian sepeda motor. Geografis Pereira mirip-mirip kota CIpanas yang posisinya tinggi, matahari lumayan terik, udara sejuk, dan berbukit. Perjalanan busway selayaknya naik-turun tikungan di sepanjang jalan menuju Bandung dan Cimahi.

Proses naik-turun penumpang (boarding-alighting) di 4 kota itu termasuk sempurna. Nyaris tidak ada kesulitan bagi supir untuk merapatkan busnya ke platform halte. Kondisi ini didukung oleh posisi halte yang memudahkan navigasi. Bisa Anda bayangkan sulitnya navigasi supir untuk merapatkan bus di halte Pasar Baru atau halte Fly Over Raya Bogor (dekat Kp Rambutan). Tapi saya pernah mendapati sebuah bus Transmilenio gap bus dengan halte melebihi panjang sepatu saya.

Jembatan penyeberangan di 4 kota itu lumayan panjang. Beda-beda tipis dengan Jakarta. Konon jembatan penyberangan (JPO) terpanjang adalah JPO di Grogol-RS Sumber Waras, Benhil-Komdak, Dukuh Atas 1-Dukuh Atas 2. Halte di Mexico City umumnya bisa dijangkau dengan zebra cross dan ramp-nya (yg menghubungkan trotoir/ JPO dengan pintu masuk halte) diberikan garis panduan bagi tunanetra (tongkat).

Petunjuk halte dan arah tujuan juga informatif. Tersedia di setiap halte dan bus, dan kadang tersedia layar petunjuk interaktif touch screen. Tentu saja hanya tersedia di halte-halte tertentu. Guadalajara bahkan memberi simbol ikon unik pada setiap halte, yang biasanya menunjukkan lokasi khas di sekitar halte tsb.

Namun membandingkan kinerja Transjakarta dengan 4 kota tsb tidak selalu apple-to-apple. Guadalajara hanya ada 1 Koridor, Mexico City 2 koridor, Pereira 3 koridor, Bogota 10 koridor. Mungkin hanya kepada Bogota, Jakarta bisa membandingkan setara karena Jakarta saat ini punya 8 koridor beroperasi. Kompleksitasnya setanding dengan Bogota.

Bagaimana dengan respon masyarakatnya? Beda-beda tipis juga dengan Jakarta. Masyarakat menengah ke atas Guadalajara menentang busway, karena mengurangi ruang kendaraan pribadi di jalan raya. Pereira menyambut baik. Mexico City juga menyambut baik. Bogota sudah membuktikan melalui jumlah penumpang per harinya.

Satu hal yang pasti, seharusnya busway Jakarta dapat menjadi state-of-the-art busway kelas dunia. Tentu saja dengan syarat: profesional, konsisten, komitmen, dan didukung oleh Pemerintah Kota.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA