CITRA JAKARTA HARI INI

dipublikasikan pertama kali di Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 28 Juni 2009


“Jalan macet, copet, polusi udara, jalan berlubang, lalu lintas tak teratur, hingga banjir….”

Mungkin tak banyak yang mengetahui pada tanggal 8 hingga 18 Juni 2009 lalu terdapat galeri poster di Sudirman City Walk, Jakarta. Mengambil tema Jakarta Oh Jakarta, sedikitnya ada 80 karya dari berbagai penjuru negeri yang ikut serta. Namun hanya 39 buah yang dipilih untuk ditampilkan.

Galeri karya yang diadakan oleh Akademi Samali sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sudah terlalu banyak kritik dan keprihatinan akan kondisi kota Jakarta hari ini dalam aneka bentuk. Mulai dari lukisan, karikatur, puisi, liputan media, keluhan masyarakat, bahkan hingga coretan graffitti di tembok jembatan layang. Sebagian masyarakat juga sudah mulai apatis, meski sebagian sisanya tetap optimis.

Diadakan bersamaan dengan ulang tahun kota Jakarta di bulan Juni, partisipasi yang singkat dan kecil ini memiliki arti penting. Ia menunjukkan bahwa masih ada yang peduli dengan wajah ibukota negara, berharap agar citranya diperbaiki. Saksikanlah ketika Tommy Thomdean melukiskan menara-menara pencakar langit Jakarta dihujani puluhan mobil dari perut pesawat terbang yang terbuat dari batu bata dan mengeluarkan asap polusi (Mobile Booming). Kritik ini menyoroti wajah kota yang semakin padat dengan gedung beton. Volume kendaraan pribadi pun semakin meluap. Nampak Thomdean prihatin modernisasi yang, mungkin, lepas kontrol dan kurang bersahabat dengan lingkungan.


Pandangan serupa disampaikan Jitet Koestana, melalui Gunung Gedung. Dalam sebuah figur gunungan wayang, yang biasa menjadi pembuka dan penutup pentas wayang kulit, tampak sebuah rumah kecil terhimpit para pencakar langit. Tampak mungil sekali rumah dengan atap bergaya Jawa, dibanding puluhan gedung yang menjulang. Ilustrasi ini dapat diartikan terdesaknya nilai-nilai tradisional oleh kepungan cakar modernisasi.

Cermin kondisi sosial budaya Jakarta hari ini menjadi tema yang tepat diusung Akademi Samali, yang bekerja sama dengan manajemen Sudirman City Walk. Sudah waktunya masyarakat diajak merenung, mengingat, dan sadar perubahan lingkungan di sekitar kita. Masihkah Jakarta kota yang nyaman sebagai tempat tinggal? Seberapa jauh kita ingin merubah wajah kota Jakarta, yang sekitar 30 tahun lalu masih sejuk dan bersahabat? Lebih jauh lagi, mampukah modernisasi melebur diri dengan nilai-nilai tradisional dan menjadi simbiosis baru yang akrab dengan nilai-nilai bangsa kita?


Mungkin saja masyarakat kota Jakarta sudah menyadarinya, namun bersikap apatis. Lihatlah bagaimana sepasang muda-mudi yang menjadi ikon kota Jakarta. Keduanya duduk berpelukan, tampak punggung, meletakkan bunga yang sudah tahunan dipegang di Bundaran Hotel Indonesia, dan memilih untuk memandangi suasana sekitarnya dengan sedih (Jakarta Undercover). R. Sugiri melukisnya dengan sangat indah. Kedua patung ini sudah lelah mengucapkan selamat datang kepada penduduk kota Jakarta yang semakin tak peduli lingkungannya.


Jakarta juga menjadi kota langganan banjir bila turun hujan. Tampak sebuah desa yang bertransportasi menggunakan kendaraan air. Tidak lagi tersedia jalan untuk kendaraan darat. Bis Metro Mini juga beralih bentuk menjadi angkutan air. Pada gambar lain, Seno Aditomo (Hujan=Macet) melukiskan butiran-butiran air berbentuk mobil dan jatuh ke daratan. Setiap hujan, meskipun ringan, sudah membuat masyarakat Jakarta paranoid. Kemacetan parah sepanjang puluhan kilometer sudah dijamin terjadi, karena genangan air yang melumpuhkan kelancaran lalu lintas.

Selain kartun-kartun kritik dan keprihatinan, banyak kartun yang sekedar memotret peristiwa sehari-hari, seperti pengemis di pinggir jalan, aksi copet di dalam bis, suasana taman bermain, dan sebagainya.

Masih ada puluhan karya lain yang pantas disimak. Sayang tidak semuanya mampu dipamerkan. ”Kartun yang dimuat adalah kartun yang dianggap sangat sesuai dengan tema, memiliki aspek komunikasi yang baik, tingkat artistik yang tinggi dan mampu menghibur,” jawab Beng Rahadian, ketua Akademi Samali, ketika ditanya kriteria pemilihan karya.


Selain pemilihan dari Akademi Samali, masih ada dua orang lain yang ikut berperan: Eros Djarot dan Radhar Panca Dahana. Kedua tokoh seni dan budaya ini memilih karya yang mereka anggap sesuai dengan tema dan menarik untuk disimak. Kombinasi pilihan ketiganya terpilih untuk ditampilkan kepada publik.

Tampil di ruang publik bagi sebagian orang adalah pengalaman baru. Meski dalam beberapa tahun terakhir sudah banyak pameran lukisan, fotografi, atau patung di dalam mal, namun tetap tidak lazim. Dalam persepsi masyarakat, sebuah pameran karya seyogyanya mengambil tempat di sebuah galeri atau museum. Jakarta Oh Jakarta menjadi saksi bahwa mal bisa menjadi tempat yang tepat untuk menyampaikan gagasan. Ada pasar tersendiri disini, yaitu kelompok masyarakat yang lebih akrab dengan mal dibanding ruang galeri. Banyak pengunjung mal menyempatkan diri mengamati deretan karya, mulai dari orang tua hingga remaja, dari penduduk lokal hingga warga asing. Wajah yang serius menjadi indikator bahwa mereka ikut merenungkan, bahkan hingga panel terakhir.


Tidaklah berlebihan jika tujuan dan efektivitas pesan yang disampaikan kepada masyarakat dipertanyakan. Seberapa besar perhatian para pengambil keputusan di ibukota ini yang mengambil hikmah? ”Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap karya seni kartun yang berdiri sendiri (tidak dimuat di media atau terkait dengan teks tertentu). Tentunya mereka mendapat pencerahan dari persoalan yang sedang dicandakan oleh seni kartun ini,” ungkap Beng saat menjelaskan tujuan yang ingin dicapai.


Mungkin ada benarnya harapan Beng pada kalimat terakhir. Sudahkah penduduk kota Jakarta menyadari perubahan yang terjadi di sekelilingnya? Akankah apatis, menjalani aktivitas harian dengan pasrah bahwa perubahan bagai pungguk merindukan bulan? Atau mungkin tergerak untuk melakukan perubahan dan perbaikan? Biar bagaimanapun kota Jakarta adalah kota bersejarah dan menjadi ibukota Republik Indonesia. Para kartunis sudah mengungkapkan ekspresinya. Kini apa yang bisa kita lakukan?


Sayang puluhan karya indah ini belum ada rencana dipamerkan di tempat lain. Ada banyak masyarakat yang belum sempat menjadi saksi Jakarta Oh Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA