GINA: LAILA


Judul: GINA: LAILA
Pengarang: Gerdi WK
Penerbit: Anjaya Books
Tahun: 2009
Jumlah halaman: 203

Setelah 25 tahun tidak mengudara (maksudnya terbang, bukan siaran radio) Gina kembali menyapa kita dengan,”Apa kabar? Lama tak jumpa.” (halaman 8). Inilah pertama kalinya Gina datang dengan cerita utuh dan sebagai tokoh utama. Sepanjang 203 halaman, dengan kertas berukuran nyaris standar komik Amerika, sang penciptanya Gerdi Wiratakusuma (biasa dikenal dengan Gerdi WK) memperlihatkan kemampuannya yang semakin sempurna. Gina: Laila dikemas secara mewah, hard cover dan sampul jaket.

Walau tampil setelah 25 tahun, sebenarnya Gina sempat hadir cameo. Seorang gadis metropolitan abad 21 dipercaya sebagai pewaris kesaktian Gina. Ia yang bernama Dina sempat tampil sebanyak dua edisi di tahun 2005 dan 2006. Gerdi WK ketika itu menampilkan sosok gadis remaja yang sempat tidak siap dengan anugerah yang diterima. Jiwa kepahlawanannya tampil begitu saja, terpanggil melihat berbagai masalah di sekitar lingkungannya. Tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, Gina. Secercah kenangan hadir ketika Gina menyambangi Dina dan memberinya semangat.

Setelah dua judul, sayang belum ada kelanjutannya. Secara pribadi saya sangat menyukai episode pertama Dina. Sebuah babak baru seorang pahlawan gadis belia. Guratan tangannya di 100 halaman Dina menampilkan puncak kesempurnaan ilustrasi seorang Gerdi WK. Ada sebuah panel, yang di mata saya, menghadirkan wajah ayu yang belum ada tandingannya dan mampu meluluhkan hati pria manapun. Jika (menurut saya) Dina episode pertama sudah sempurna, apa lagi yang bisa ditawarkan oleh Gerdi WK dalam Gina: Laila?

Tujuh halaman pertama dari Gina: Laila dirancang selayaknya adegan pembukaan sebuah film seperti serial James Bond. Seorang pria tua bersama seorang gadis cilik berkelana dengan permadani terbang. Tampak mereka kelelahan setelah mengarungi langit berhari-hari. Setibanya mereka di sebuah gua untuk beristirahat, sebuah makhluk berbentuk awan (?) mengurung kedua pelarian ini. Tidak jelas nasib keduanya. Hanya sebuah panel dengan keduanya saling berpelukan membelakangi pembaca dan menghadap batu besar yang menutupi pintu gua. Terasa keduanya duduk lemas penuh harap, mampukah mereka keluar dari sekapan ini?

Gina mendapati sekelompok mayat bergelimpangan, gugur akibat perseteruan. Seorang diantaranya selamat dengan luka parah. Gina membawa pria ini ke istananya untuk dirawat. Dari pria ini diketahui ia dan seluruh mayat itu memperebutkan harta rampasan sebuah negeri yang sedang kacau-balau. Gurun Yang Subur, nama negeri itu, dimana terjadi perebutan kekuasaan. Raja yang lalim dijatuhkan, namun Gurun Yang Subur tak kunjung damai. Pihak-pihak yang dulu bersekutu kini bertikai, memperebutkan singgasana.

Pembaca setia Gina tentunya sudah paham, bahwa Gina sering terlibat dalam suatu konflik dengan entry point seperti ini. Ia terpanggil untuk menegakkan kebenaran. Ia berangkat menuju Gurun Yang Subur, berlokasi sangat jauh, menyeberangi laut dan beberapa pulau. Di sebuah pulau negeri ini berada. Dalam perjalanannya, Gina bertemu dengan beberapa tokoh dan mulai mendapatkan info awal. Tapi siapa pihak yang benar? Nampaknya semua merasa benar dan paling berhak atas tahta panas. Satu per satu misteri mulai terkuak, dan dalang keonaran terungkap di akhir cerita.

Ada banyak unsur menarik untuk dibahas dalam Gina: Laila. Format ukuran halaman yang mendekati ukuran standar komik Amerika memberi keleluasaan kepada Gerdi WK untuk menampilkan panel demi panel yang memamerkan keindahan topografi pemandangan. Saksikanlah istana Gina bak Taj Mahal India atau bangunan-bangunan di Istanbul dan Samarkand. Berbagai pojok kota Gurun Yang Subur pun dibuat dengan cermat dan menciptakan atmosfir setting Seribu Satu Malam ratusan tahun lalu.

Profil anatomi para tokoh juga tak kalah menarik. Tidak ada yang kurang, terutama pada Gina, yang tetap saja terlihat cantik. Salah satu kepiawaian Gerdi WK tampak pada panel ke-4 halaman 42, dengan lirik mata dan bibir yang khas. Meskipun demikian, bagi saya keindahannya tak mampu mengalahkan pose wajah serupa pada Dina beberapa tahun sebelumnya.

Gerdi WK masih dengan ciri khas dialog yang panjang, walau pada Gina: Laila jauh lebih singkat dan padat dibandingkan Gina di masa lalu. Meski demikian ada banyak narasi atau text balloon yang menurut saya bisa dipersingkat atau dihilangkan. Biarkan saja pembaca menggunakan imajinasinya pada sebuah pemandangan atau adegan pada panel. Tanpa teks sedikitpun. Disinilah aktivitas membaca komik jadi menyenangkan. Ada beberapa panel yang dapat membuat pembaca memperluas khayalannya.

Kadang gaya bahasa yang digunakan terasa mengganggu. Mungkin dirancang agar terasa luwes dan lugas, namun kesemuanya membuat setiap karakter terasa homogen. Gaya bahasa masing-masing tokoh terdengar serupa. Akan lebih menyenangkan jika setiap gaya bahasa atau tutur wicara menunjukkan kepribadian setiap karakter.

Unsur lain yang bagi saya mengganggu adalah banyaknya teks ‘sound effect’ seperti ‘buk’, ‘wus’, ‘hegh’, ‘hiaaat!’, dll. Pada masanya mungkin penulisan teks ‘sound effect’ ini menyenangkan. Namun seiring perkembangan zaman, tidak banyak ditemukan kini komik-komik dengan teknik seperti ini. Saya membandingkan dengan komikus Belgia, Herge, yang mengoptimalisasi visualisasi ‘sound effect’ seperti bintang-bintang berputar (ketika tokohnya pusing), tarikan garis (ketika pukulan tangan melayang), dan lainnya. Disini sekali lagi pembaca mendapat kesempatan untuk mengembangkan daya khayalnya dengan aneka ‘sound effect’ visual.

Secara pribadi saya sangat menyukai pergerakan panel pada halaman 197, ketika Laila tertunduk putus harapan dan frustasi. Mata yang sebelumnya terpejam kini terbuka, seakan mendapat ide nekat. Dengan cepat tangannya menyambar pedang di lantai dan menebas leher sekutunya. Adegan ini sangat sinematik. Perubahan pada tiap panel dengan close up wajah menuju mata sangat mengagumkan.

Susunan tiga panel widescreen pada halaman 200 juga berkesan mendalam. Panel pertama hanya tampak sosok Gina, Laila, dan suaminya Muklis berdampingan dengan teknik ilustrasi arsir. Air mata membahasi pipi Laila. Gina tertunduk memejamkan mata. Muklis menengadahkan wajah pasrah terpejam. Hanya ada efek suara dan jeritan pilu. Panel kedua menampilkan badai gurun pasir dengan narasi, yang ditutup dengan panel ketiga. Berakhirlah Gina: Laila. Panel-panel berikutnya sepanjang tiga halaman lebih menyerupai epilog dengan harapan kelanjutan hubungan Gina dan Muklis.

Saat terakhir saya berkunjung ke rumah Gerdi WK, beliau sedang memulai sketsa halaman-halaman pertama episode Gina selanjutnya. Kita nantikan kejutan apa lagi yang akan diberikan seorang gadis, yang korsetnya menginsiprasi penyanyi Madonna pada masa jayanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA