MERAMPOK JAWA DAN SULAWESI
Dipublikasikan pertama kali di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 15 Mei 2005
Peter van Dongen menulis kisah fiksi dengan mengambil lokasi beberapa tempat di Indonesia.
Kedua buku komik karya Peter van Dongen, komikus kebangsaan Belanda, memberikan arti tersendiri bagi pembacanya. Terutama jika pembacanya berasal dari Indonesia. Mengapa demikian? Pemilihan judul pada kedua buku komik itu saja sudah menggelitik keingintahuan. Merampok Jawa dan Merampok Sulawesi? Lho, apa isi komik ini sebenarnya?
Peter van Dongen menulis kisah fiksi dengan mengambil lokasi beberapa tempat di Indonesia (diantaranya Jakarta, Surabaya, Blitar, Bandung dan Makasar). Bahkan sebagian diantaranya secara spesifik melukiskan suasana Tanjung Priok, daerah Pecinan di Glodok, pedalaman Jawa Tengah, Pasar Atom di Surabaya, stasiun kereta api, perkampungan, sawah, dan perkebunan.
Anda bisa menyaksikan suasana bongkar muat kapal di pelabuhan, pangkas rambut dibawah pohon, becak, penjual jamu gendongan, warung nasi, adu ayam, gladiator tradisional melawan harimau, dan lain sebagainya. Kebudayaan lokal pun nampak sangat mendekati kenyataan sehari-hari: pakaian kebaya, pria bersarung, pakaian petinggi masyarakat adat, dan seterusnya.
Kisah fiksi ini mengambil waktu di tahun 1945-1946 saat Indonesia baru saja merdeka dari jajahan Belanda. Kini anda mulai bisa membayangkan suasana tempo doeloe di kedua buku komik ini (Rampokan Celebes merupakan sequel Rampokan Java).
Kisah fiksinya pun menciptakan tokoh-tokoh dari kedua pihak, bangsa Belanda dan bangsa Indonesia, dimana keduanya saling berinteraksi. Hubungan yang terbina terwujud dalam berbagai bentuk. Mulai dari pertempuran pihak pejuang melawan pihak Belanda, dua insan berbeda bangsa yang memadu kasih, dua sahabat yang berbeda akar budaya, dua pihak yang menjalin hubungan dagang yang baik.
Bagi pembaca asal Indonesia, kedua buku ini terasa semakin akrab saat membaca berbagai kosakata yang tak asing seperti “merdeka!”, ampun!”, usir penjajah!”, “bersiap!”, “serang!”, ataupun “tolong!”. Seakan masih belum cukup, masih banyak tambahan seperti toko kelontong bernama Toko Ong atau Obat Mandarin yang banyak dijumpai sepanjang kawasan perniagaan.
Peter van Dongen tampak mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam menciptakan kedua buku komik ini. Dengan pengaruh Herge (komikus asal Belgia yang terkenal dengan komik Tintin) yang sangat kental dalam setiap coretannya, van Dongen menggunakan berbagai referensi dalam ‘memindahkan’ realita ke dalam coretan gambar. Cobalah tengok berbagai rumah tradisional dan rumah adat, bentuk-bentuk bangunan, serta kendaraan tradisional seperti becak, perahu dan andong, Anda akan menyadari betapa ia bersungguh-sungguh dalam membuat karya masterpiece-nya ini.
Mungkin kita bertanya-tanya,”apa sih hubungan van Dongen dengan negeri Indonesia?”. Ibunda Peter van Dongen ternyata keturunan Cina-Indonesia dan pernah tinggal lama di Makasar dan Manado. Kisah-kisah tempo doeloe ibundanya inilah yang membuat Peter dari dulu memang akrab dengan Indonesia dan berniat mewujudkan kecintaannya dalam bentuk buku komik.
Peter van Dongen mendapatkan banyak sumber referensi dari foto-foto tua milik ibunya dan dari koleksi sebuah museum di Amsterdam, Belanda. Komikus muda kelahiran Belanda, 1966 ini mulai berkarya sejak tahun 1990 dengan bukunya “Muizentheater”serta mengakui besarnya pengaruh Herge dalam karya-karyanya. .
Sayang kedua buku ini hanya tersedia dalam bahasa aslinya, yaitu Belanda. Jika saja ada penerbit di Indonesia yang berniat menterjemahkan dan menerbitkannya, niscaya kedua judul ini akan menjadi pembicaraan hangat para penggemar komik di Indonesia.
Peter van Dongen menulis kisah fiksi dengan mengambil lokasi beberapa tempat di Indonesia.
Kedua buku komik karya Peter van Dongen, komikus kebangsaan Belanda, memberikan arti tersendiri bagi pembacanya. Terutama jika pembacanya berasal dari Indonesia. Mengapa demikian? Pemilihan judul pada kedua buku komik itu saja sudah menggelitik keingintahuan. Merampok Jawa dan Merampok Sulawesi? Lho, apa isi komik ini sebenarnya?
Peter van Dongen menulis kisah fiksi dengan mengambil lokasi beberapa tempat di Indonesia (diantaranya Jakarta, Surabaya, Blitar, Bandung dan Makasar). Bahkan sebagian diantaranya secara spesifik melukiskan suasana Tanjung Priok, daerah Pecinan di Glodok, pedalaman Jawa Tengah, Pasar Atom di Surabaya, stasiun kereta api, perkampungan, sawah, dan perkebunan.
Anda bisa menyaksikan suasana bongkar muat kapal di pelabuhan, pangkas rambut dibawah pohon, becak, penjual jamu gendongan, warung nasi, adu ayam, gladiator tradisional melawan harimau, dan lain sebagainya. Kebudayaan lokal pun nampak sangat mendekati kenyataan sehari-hari: pakaian kebaya, pria bersarung, pakaian petinggi masyarakat adat, dan seterusnya.
Kisah fiksi ini mengambil waktu di tahun 1945-1946 saat Indonesia baru saja merdeka dari jajahan Belanda. Kini anda mulai bisa membayangkan suasana tempo doeloe di kedua buku komik ini (Rampokan Celebes merupakan sequel Rampokan Java).
Kisah fiksinya pun menciptakan tokoh-tokoh dari kedua pihak, bangsa Belanda dan bangsa Indonesia, dimana keduanya saling berinteraksi. Hubungan yang terbina terwujud dalam berbagai bentuk. Mulai dari pertempuran pihak pejuang melawan pihak Belanda, dua insan berbeda bangsa yang memadu kasih, dua sahabat yang berbeda akar budaya, dua pihak yang menjalin hubungan dagang yang baik.
Bagi pembaca asal Indonesia, kedua buku ini terasa semakin akrab saat membaca berbagai kosakata yang tak asing seperti “merdeka!”, ampun!”, usir penjajah!”, “bersiap!”, “serang!”, ataupun “tolong!”. Seakan masih belum cukup, masih banyak tambahan seperti toko kelontong bernama Toko Ong atau Obat Mandarin yang banyak dijumpai sepanjang kawasan perniagaan.
Peter van Dongen tampak mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam menciptakan kedua buku komik ini. Dengan pengaruh Herge (komikus asal Belgia yang terkenal dengan komik Tintin) yang sangat kental dalam setiap coretannya, van Dongen menggunakan berbagai referensi dalam ‘memindahkan’ realita ke dalam coretan gambar. Cobalah tengok berbagai rumah tradisional dan rumah adat, bentuk-bentuk bangunan, serta kendaraan tradisional seperti becak, perahu dan andong, Anda akan menyadari betapa ia bersungguh-sungguh dalam membuat karya masterpiece-nya ini.
Mungkin kita bertanya-tanya,”apa sih hubungan van Dongen dengan negeri Indonesia?”. Ibunda Peter van Dongen ternyata keturunan Cina-Indonesia dan pernah tinggal lama di Makasar dan Manado. Kisah-kisah tempo doeloe ibundanya inilah yang membuat Peter dari dulu memang akrab dengan Indonesia dan berniat mewujudkan kecintaannya dalam bentuk buku komik.
Peter van Dongen mendapatkan banyak sumber referensi dari foto-foto tua milik ibunya dan dari koleksi sebuah museum di Amsterdam, Belanda. Komikus muda kelahiran Belanda, 1966 ini mulai berkarya sejak tahun 1990 dengan bukunya “Muizentheater”serta mengakui besarnya pengaruh Herge dalam karya-karyanya. .
Sayang kedua buku ini hanya tersedia dalam bahasa aslinya, yaitu Belanda. Jika saja ada penerbit di Indonesia yang berniat menterjemahkan dan menerbitkannya, niscaya kedua judul ini akan menjadi pembicaraan hangat para penggemar komik di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar