TJISADANE, MAHAKARYA GANES TH KINI HADIR KEMBALI


Dipublikasikan pertama kali di harian Kompas, 10 September 2007

“Kemiskinan, kemelaratan, kelaparan, dan peperangan yang tak kunjung surut dari peri kehidupan umat manusia! Ah...bilakah masa damai itu datang di atas bumi tua terkutuk penuh dosa ini? Kapan...?! Belum cukupkah kiranya penderitaan kita ini?” (paragraf terakhir Nilam dan Kesumah, Ganes Th, 1970)


Belum lama berselang, Tjisadane, komik lawas kreasi almarhum Ganes Th diterbitkan ulang. Komik ini adalah satu dari rangkaian empat judul yang direncanakan: Krakatau (aslinya tahun 1970), Tuan Tanah Kedawung (1970), Tjisadane (1968-69), dan Nilam dan Kesumah (1970).

Komikus yang melegenda dengan serial Si Buta Dari Gua Hantu ini seakan tak ada habisnya diapresiasi dan ditelaah. Rangkaian empat judul ini banyak yang menasbihkannya sebagai suatu quadrology, walaupun secara eksplisit Ganes Th tak pernah meresmikannya. Namun mengapa ke-empat judul ini menarik dibahas dan diyakini dapat merangkul kembali pembaca lama dan baru?

“Ganes Th secara apik mampu melukiskan seluk beluk budaya Tangerang/ Banten, lengkap dengan strata sosial penguasa tanah, abdi, tukang pukul, dan masyarakat sekitarnya, secara sangat baik dalam empat judul ini, walaupun tidak secara tepat disebut quadrology. Namun memang ke-empat judul ini memiliki tema dan mengambil tempat yang sama, dengan rentang waktu yang berjauhan,” ungkap Syamsuddin, seorang penggemar Ganes Th.

Sementara itu, JJ Rizal, pengamat budaya Betawi, secara khusus mengagumi Tuan Tanah Kedawung disela-sela sebuah diskusi komik berfokus pada sang legenda, ”Ganes Th secara cermat mampu membangun universe lingkungan budaya dalam komik ini. Kekuatan inilah yang membuat pembaca merasa dekat dengan ceritanya.”

Dalam kesempatan yang sama, budayawan Seno Gumira Ajidarma menambahkan bahwa periode terbitnya quadrology ini merupakan sikap Ganes Th dalam menyikapi ke-Indonesia-annya. Sikap ini menjadi penting mengingat pada kurun waktu yang sama, iklim politik Indonesia tidak bersahabat dengan warga keturunan Tionghoa.

Sebutan quadrology bagi ke-empat judul ini pantas diperdebatkan, karena pada umumnya merujuk pada satu tema. Rangkaian judul ini tidak secara eksplisit memiliki kesamaan tema. Setting lokasi mengambil tempat mulai dari meletusnya gunung Krakatau hingga wilayah Tangerang. Rentang waktu pun mencakup beberapa dekade. Kehadiran dan keterkaitan para tokoh utamanya pun tidak dari awal hingga akhir.

Pemimpin perampok Mat Gerong, yang tampil di beberapa judul, tidaklah memegang peran utama hingga ia akhirnya terbunuh. Tokoh-tokoh protagonis lainnya juga tidak saling terkait sepanjang empat judul komik. Tema yang diusung pun tidak memiliki ikatan yang kuat. Hanya cakupan lokasi dan budaya sekitar Banten-lah yang menjadi tali pengikat quadrology ini.

Dari ke-empat judul diatas, Tuan Tanah Kedawung adalah judul yang paling populer. Hingga awal dekade ‘90an pun judul ini masih mudah ditemukan, karena kerap dicetak ulang oleh penerbitnya UP. Rosita. Versi novelnya juga sempat dibuat beliau di tahun 1984. Tuan Tanah Kedawung bahkan diadaptasi ke layar lebar dengan bintang utama Suzanna (1971). Tjisadane dan Krakatau pun juga diadaptasi (1971 dan 1977), namun meninggalkan Nilam dan Kesumah.

Kesuksesan Tuan Tanah Kedawung tidaklah tanpa cacat. Ganes Th sempat hendak diperkarakan para ahli waris ’Tuan Tanah Kedawung’ ditahun 1972. ”Ganes Th melakukan penelitian, walau mungkin saja kurang referensi. Seorang tokoh Tionghoa memang melegenda sebagai bandar beras dan suka menolong masyarakat. Ia kerap dikenal masa itu sebagai Tuan Tanah Kedawung,”tambah JJ Rizal.

”Cerita ini memang saya buat dengan merekayasa peristiwa perebutan warisan milik tuan tanah keturunan Tionghoa di daerah Kedawung, Tangerang. Tapi alur cerita sudah sangat berbeda dengan peristiwa yang terjadi. Saya juga tidak memakai nama-nama asli pelaku. Toh rupanya ada pihak-pihak yang mengaku sebagai ahli waris Tuan Tanah Kedawung, yang merasa perlu menghentikan peredaran buku sekaligus membatalkan pembuatan filmnya. Tuntutan ini tidak masuk akal, juga tidak punya landasan kuat. Yang namanya tuan tanah di Kedawung bukan hanya satu. Dengan argumentasi tersebut kasus tadi batal naik ke pengadilan,” ucap Ganes Th dalam suatu wawancara (Majalah Vista-TV, Juli 1994).

Tapi mengapa Tjisadane yang diterbitkan ulang mendahului lainnya? Padahal secara urut cerita, Tjisadane menempati urutan ke-3 dari 4 judul. ”Tjisadane memang terbit pertama di tahun 1968-1969. Uniknya setelah itu Ganes Th menulis Tuan Tanah Kedawung yang merupakan prequel Tjisadane, serta Krakatau yang menjadi prequel Tuan Tanah Kedawung. Baru di bulan April 1970 beliau menutupnya dengan Nilam dan Kesumah sebagai lanjutan Tjisadane. Proses penulisan prequel-sequel ini menjadikan Ganes Th satu dekade dimuka dibanding George Lucas (Star Wars),” tambah Iwan Gunawan seorang pemerhati komik.

Menilik kisah dibalik pembuatan quadrology ini, tidaklah berlebihan jika Ganes Th pantas disanjung selain mahakaryanya yang lain, Si Buta Dari Gua Hantu. Dengan Tjisadane diterbitkan ulang, kita mendapat kesempatan untuk napak tilas kepada petualangan Ganes Th yang lebih nyata dengan lingkungan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA

ARSWENDO ATMOWILOTO: SEBUAH MEMOIR