TRAGEDI KORBAN PERANG DALAM NOVEL GRAFIS


dipublikasikan pertama kali di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 25 Januari 2009


Mampukah komik menggugah nurani demi perdamaian?



Banyak media mewartakan serangan militer Israel ke wilayah Gaza serta kondisi para korban, mulai dari media elektronik, cetak hingga internet. Cerita bergambar, atau komik dalam istilah populernya, ikut menjadi media yang merefleksikan tragedi kemanusiaan ini. Visualisasi dapat menjadi lebih dramatis, terutama karena ’pengendalian waktu’ berada di tangan pembaca. Mengamati sebuah panel gambar, dengan teks di dalamnya, berlama-lama dan berulang-ulang, dapat menggugah emosi dan empati secara signifikan.

Karena muatan pesan di dalamnya, banyak komik dengan tema tragedi kemanusiaan ini tampak berbeda dengan kebanyakan komik pada umumnya. Faktor ini juga berimbas pada penataan panel, teknik gambar, gaya bercerita, bahkan dimensi ukuran buku. Aneka perbedaan ini membuatnya dikategorikan sebagai novel grafis, dimana komik tak lagi sebagai bacaan ringan yang membuat pembacanya tertawa, dibaca sambil tiduran, atau sekali baca langsung buang. Butuh waktu untuk dapat memahami pesan yang disampaikan komikusnya.

Joe Sacco dalam karyanya, Palestine (Fantagraphics Books, 2001) secara cermat mampu menangkap peristiwa yang terjadi di tanah yang diperebutkan itu. Sering disebut sebagai komik jurnalistik, Palestine mengajak pembaca mengikuti ‘rangkaian berita’ selayaknya berita visual di televisi. Sedikit latar belakang sejarah dikupas, yang dimulai dari pengesahan Lord Balfour atas pemberian tanah Palestina kepada bangsa Israel di tahun 1917. Penyingkiran sistematis penduduk Palestina keturunan Arab dilakukan, dan perlahan bangsa Israel menjadi penduduk mayoritas di Palestina.

Novel grafis yang pernah diterbitkan di Indonesia oleh DAR! Mizan ini juga menyorot aspek kehidupan lain di Palestina. Konflik bersenjata, interaksi sosial kedua bangsa, bahkan konflik pribadi pun ada disini. Sudah barang tentu para korban mendapat liputan ekstra. Wawancara dengan para korban disampaikan dengan pendekatan reportase yang dilakukan langsung oleh Sacco. Palestine aslinya diterbitkan secara berkala (1993-1995) dan mendapat penghargaan American Book Award di tahun 1996.

Karya Sacco lainnya adalah Safe Area Gorazde (Fantagraphics Books, 2000) yang mengisahkan tragedi perang Serbia dan Bosnia di kota Gorazde, sebuah kota kecil di timur Sarajevo. Berbeda dengan Palestine, Safe Area Gorazde secara eksplisit memvisualisasikan kekejaman tentara Serbia. Masih dengan pendekatan yang sama seperti Palestine, Sacco mengajak pembaca mengikuti hasil wawancara beberapa anggota masyarakat yang menjadi saksi kekejaman perang. Kisah kesaksian mereka divisualisasikan agar pesannya lebih mudah sampai kepada pembaca.

Pembaca akan merinding dan meneteskan air mata ketika mengikuti penuturan seorang kakek yang selamat dari pembantaian. Ia bersembunyi dibalik pepohonan di tepi sungai, ketika sebuah truk membawa puluhan keluarga Bosnia dan berhenti di atas jembatan. Semua orang berbaris dan terikat tangannya. Satu per satu berdiri di sisi jembatan dan lehernya disembelih tentara Serbia, kemudian dilempar ke sungai. Sang kakek melihat sepasang orang tua menyaksikan satu per satu anaknya disembelih dan dilempar, sampai akhirnya keduanya juga bernasib sama.

Sacco tinggal selama empat bulan tinggal disana. Masih banyak kisah memilukan dalam Safe Area Gorazde seperti pemerkosaan massal, perampokan, dan lainnya. Dijamin pembaca akan menangis perih membaca halaman demi halaman. Narasi yang ditulis Sacco demikian menyentuh dan emosional. Safe Area Gorazde menyabet penghargaan Eisner Award untuk Best Original Graphic Novel tahun 2001. Selain buku ini Sacco masih membuat dua novel grafis lain berkaitan dengan tragedi perang Bosnia, The Fixer: A Story From Sarajevo (2003) dan War’s End: Profiles from Bosnia 1995-96 (2005).

Novel grafis legendaris lainnya tentu saja Maus: A Survivor’s Tale, karya Art Spiegelman yang meraih penghargaan Pulitzer tahun 1992 dibidang Literatur. Ia menulis berdasarkan kisah ayahnya yang seorang Yahudi-Polandia saat rezim Nazi berkuasa di Perang Dunia II. Dibutuhkan tiga belas tahun untuk menyelesaikan Maus.

Yayasan Obor pernah menerbitkan Gen Si Kaki Ayam (Keiji Nakazawa, 2001). Berjudul asli Hadasi No Gen, Nakazawa mengambil cerita pilu seputar korban bom nuklir di Horoshima, Jepang, 1945. Harvey Pekar yang pernah populer dengan American Splendor, membuat Macedonia: What Does It Take To Stop A War? (Villard, 2007). Mengisahkan perjalanan Heather Robertson, seorang aktivis perdamaian, menjelajahi sebuah negeri yang diapit Yunani dan Bulgaria yang senantiasa akrab dengan kekerasan dan peperangan.

Novel grafis monumental lain adalah Deogratias (Dupuis, 2000). Jean-Phillipe Stassen mengambil kisah seputar genosida dan perang berkepanjangan di Rwanda, tahun 1994. Etnis mayoritas, Hutu, menghabisi minoritas Tutsi hingga diperkirakan 800.000 orang musnah. Dunia tak terusik dengan genosida ini. Kelak tragedi ini akan mengundang perang antara Rwanda dan Zaire, dan memicu peperangan terburuk di regional Afrika sepanjang sejarahnya.

Joe Kubert juga pernah membuat Fax From Sarajevo (Dark Horse Books, 1996) yang mengisahkan pengalaman dan penderitaan sahabatnya di Sarajevo. Sacco dan sahabatnya rajin saling berkirim faksimili tentang perkembangan perang. Setumpuk lembaran kertas inilah yang menjadi sumber inspirasi Kubert dalam memvisualisasikannya dalam format novel grafis. Walau tak sekelam Safe Area Gorazde, pembaca dapat mengikuti perjuangan seorang pria dalam menyelamatkan istri dan anak-anaknya keluar dari Bosnia.

Beberapa novel grafis di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak karya yang menyoroti kekejaman perang dan tragedi kemanusiaan. Kesemuanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu mengundang empati pembacanya akan sebuah aksi tanpa hati nurani. Pembaca akan terkesima bagaimana sebuah novel grafis (atau untuk mudahnya, sebut saja komik) dapat memvisualisasikan sebuah tragedi kemanusiaan sedemikian menyentuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA