HIKMAH DI BALIK BERAKHIRNYA KERETA API PARAHYANGAN

Pada hari Jum’at (16 April 2010) PT. Kereta Api (PTKA) resmi menghentikan operasi kereta api Parahyangan yang melayani tujuan Jakarta-Bandung pp. Parahyangan yang selama dekade 80-an dan 90-an menjadi salah satu sumber penghasilan utama PTKA akhirnya menutup riwayatnya dengan kisah menyedihkan. Alasan utama penutupannya karena rugi berkepanjangan. Tercatat Parahyangan rugi RP 36 milyar di tahun 2009.

Sayangnya tidak banyak penjelasan selain rugi berkepanjangan tersebut, dan masyarakat hanya bisa menebak-nebak penyebab lainnya. Saya sebagai pengguna lama, setidaknya selama 10 tahun berturut-turut saat frekuensi kunjungan ke Bandung tinggi, sangat sedih mendengarnya. Meski dalam 10 tahun terakhir nyaris tidak pernah menggunakan jasanya, kereta api Parahyangan menjadi saksi banyak kenangan indah saya. Salah satunya adalah perkenalan dengan perempuan yang kelak menjadi istri saya terjadi di atas kereta api Parahyangan. Pengalaman pertama anak-anak saya dengan kereta api juga dengan Parahyangan. Terlalu banyak kenangan bersama kereta api legendaris itu.

Saya lebih tertarik untuk memikirkan penyebab berakhirnya Parahyangan, ketimbang nostalgia. Namun mencari data pendukung tidaklah mudah, dan hasil tulisan ini murni atas pengamatan. Seharusnya bisa lebih akurat jika ada data pendukung.

Seingat saya waktu tempuh Parahyangan sekali jalan sekitar 2 jam 50 menit, dengan sekali pemberhentian (tidak mengangkut/ menurunkan penumpang) di stasiun Cikampek. Jika saya tidak salah ingat, hingga akhir hayatnya waktu tempuh ini tidak menjadi lebih singkat. Bahkan berbagai kendala teknis dan kecelakaan lalu lintas membuat waktu tempuh makin lama.
Kendala teknis yang saya maksud seperti kerusakan atau perbaikan jalur rel, alat pengatur sinyal, dan lainnya. Kondisi seperti ini membuat laju kereta api melambat, dan pada akhirnya tiba terlambat di tujuan. Dalam beberapa kesempatan, bahkan terjadi kecelakaan kereta api (tidak hanya Parahyangan). Penyebabnya bervariasi mulai dari kelalaian petugas hingga ketidaksiplinan pengemudi kendaraan bermotor saat melintasi jalur kereta api.
Waktu tempuh tidak konsisten, kondisi jalur rel, serta tingginya kecelakaan relatif membuat pelanggan kecewa dan berpotensi beralih kepada koda transportasi lain.

Faktor penyebab lain menurut saya adalah sistem transportasi umum yang melayani penumpang menuju stasiun. Seperti diketahui Parahyangan berhenti di dua stasiun di kota Jakarta: Gambir dan Jatinegara. Rute kendaraan umum yang melintasi dua stasiun ini sangat tidak praktis dan efisien. Sebenarnya perkara rute kendaraan umum sudah klasik di Jakarta, tidak hanya sekitar Gambir dan Jatinegara. Seseorang membutuhkan beberapa ganti perjalanan untuk mencapai kedua stasiun ini. Bisa dengan alternatif lain seperti taksi, namun biayanya tidak murah.

Transportasi umum di stasiun Bandung juga tidak kalah berantakannya. Rute transportasi umum di kota Bandung dari dulu terkenal tidak praktis. Membutuhkan beberapa ganti perjalanan, dan sangat membingungkan bagi penumpang bukan penduduk Bandung. Petunjuk perjalanan pun minim. Alternatif lain berupa taksi membuat penumpang sakit hati. Nyaris semua taksi di kota Bandung enggan menggunakan argo dan menghidupkan mesin penyejuk ruangan. Hanya sebagian yang secara konsisten menyalakan mesin argometer.
Membeli tiket kereta api (termasuk Parahyangan) juga bukan perkara mudah. Selain antri langsung, metoda pembelian lain tidak banyak berkembang. Pernah ada mesin tiket Kartika, dimana penumpang cukup menggunakan kartu magnetik yang berisi nilai uang dan dapat menggunakan mesin tiket. Kepastian tiket lebih tinggi dan tiket bisa langsung dicetak. Teknologi yahud saat itu, mengingat ATM saja baru diperkenalkan. Tapi.... saya ingat usaha untuk mendapatkan kartu adalah sebuah perjuangan. Belakangan mesin tiket Kartika rusak dan tak kunjung diperbaiki. Membeli tiket kereta api saja sudah suatu perjuangan suci!

Faktor penyebab lain adalah adanya jalan tol Padalarang-Cileunyi dan Cikampek. Para penumpang banyak yang beralih melalui jalan tol karena lebih cepat sampai, dengan biaya yang relatif dekat. Kondisi diperparah dengan semakin banyaknya jasa angkutan travel Jakarta-Bandung (dan Bogor).

Kombinasi berbagai faktor penyebab, ditambah tidak semakin meningkatnya kualitas layanan kereta api Parahyangan, menjadikan nasib buruk salah satu andalan PTKA ini lengkap. Bukannya tidak mungkin rute layanan PTKA yang lain akan menyusul. Bukankah layanan kereta Jabodetabek, Rangkasbitung, dan lainnya juga tidak membaik alias begitu-begitu saja?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA