BERPIKIR POSITIF: MENGAMBIL HIKMAH ATAU MENYANGKAL KENYATAAN?

Setidaknya dalam lima tahun terakhir saya mendidik diri sendiri untuk selalu berpikir positif pada setiap kesempatan, terutama jika suatu peristiwa buruk terjadi pada diri saya atau sekitar lingkungan. Ada banyak manfaat dari berpikir positif karena tetap mampu menyalakan api semangat dalam diri, dan mengambil hikmah dari peristiwa buruk tsb. Manusia sangat membutuhkan semangat positif agar mampu survive dalam hidup ini. Jika tidak mampu, rasanya mustahil bisa selamat dalam menghadapi berbagai kendala dan cobaan hidup.

Kemarin saya ngobrol dengan rekan kantor perihal berpikir positif. Terdengar mudah, namun dalam kenyataannya sulit. Kami mengambil contoh ketika kita mengalami sakit. Terbaring di rumah, atau setidaknya tak mampu beraktivitas di luar rumah. Walau kenyataannya kita sedang tak berdaya, kerap kita berusaha untuk berpikir positif,”Hikmah di balik ini agar saya lebih bersyukur pada kesehatan dan harus mampu memeliharanya. Atau... lumayan istirahat dari kesibukan kantor.” Tentunya itu dua contoh dari sekian banyak.

Meski telah mempraktekkannya dalam beberapa tahun terakhir, ada kalanya saya kesulitan untuk mempraktekkannya. Dalam beberapa kondisi, ternyata sulit sekali. Misalnya, sekitar tahun 2001 mobil saya pernah ditabrak sepeda motor. Saat itu bulan Ramadhan menjelang buka puasa. Saya mengemudi perlahan di dalam kompleks perumahan. Seperti biasa pasang sign belok kiri jauh-jauh sebelumnya. Tepat saat saya berbelok (karena berjalan lambat dan tidak banyak orang lalu-lalang, saya tak melihat kaca spion kiri) sebuah sepeda motor menghantam sisi kanan depan dengan sangat keras. Sepeda motor, pengemudinya (yang seorang pemuda tukang ojek), dan penumpangnya (seorang gadis) terjatuh. Ia mengebut dan menyalip dari sisi kiri mobil.

Saya berusaha untuk menahan emosi, apalagi ini bulan Ramadhan. Inilah cobaan, kata suara hati. Sepeda motor yang rusak ditinggal, penumpang kebetulan hanya memar, tapi pengemudinya lumayan luka-luka di lengan dan betis. Saya antar dia ke rumahnya, yang kebetulan tak jauh, dan disana bertemu kedua orang tuanya. Kami berbicara baik-baik, dan sang bapak bersedia mengganti biaya perbaikan sisi kiri depan mobil. Kami berangkat ke bengkel dekat rumah dan setelah negosiasi mobil pun menginap untuk diperbaiki. Sang ayah berjanji untuk membiayai perbaikan.

Beberapa hari setelah selesai diperbaiki, pemilik bengkel dan sang ayah ojek datang ke rumah saya. Sang ayah minta tolong saya membayar terlebih dahulu kepada bengkel, dan dia akan melunasinya sebelum Lebaran. Sebagai jaminan ia meninggalkan kartu SIM. Hingga berminggu-minggu setelah Lebaran, tidak ada janji yang dilunasi.

Sulit rasanya untuk berpikir positif dan mengambil hikmah saat itu. Sesungguhnya tidak masalah jika sejak awal ia tak menyanggupi biaya perbaikan mobil. Namun ia sendiri yang berjanji, dan anaknya (pengemudi ojek) yang mengemudi secara berbahaya. Bahkan membahayakan penumpangnya. Insiden kami bukanlah suatu kecelakaan, karena sebenarnya dapat dihindari asal mengemudi secara tertib.

Mungkin saya naif begitu mudah percaya pada janji seseorang. Namun saya percaya pada kesucian Ramadhan saat itu, dan (mungkin) ucapan janji di bulan ini lebih sakral dibanding bulan lainnya. Hilanglah sebagian uang yang sebelumnya sudah saya cadangkan untuk keluarga.

==

Ada banyak peristiwa sebenarnya dimana saya benar-benar berpikir positif, mengambil hikmah, dan ikhlas. Namun sebagaimana film seri Kiamat Sudah Dekat, ikhlas itu susah. Berat. Berpikir positif nggada apa-apanya dibanding ikhlas. Bagaimana saya bisa ikhlas, jika berpikir positif dan mengambil hikmah saja tidak konsisten dan tertanam dengan kuat?

Saya pernah mengalami musibah kecil saat pergi haji tahun 2007. Saat itu bersama istri sedang tawwaf sunnah, kami baru saja keluar dari Hijir Ismail, samping Ka’bah. Lautan manusia sudah menghadang dan samping kami yang lain adalah tembok Ka’bah. Berjalan keluar dari tawwaf, sambil mengelilingi Ka’bah, sudah merupakan suatu perjuangan. Semua sisi mendesak agar diberi jalan. Saat itulah ketika melangkah, tumit kaki seseorang menginjak jari kelingking kaki kiri. Hanya jeritan kecil, “Aduh!” keluar dari mulut saya sambil bibir meringis. Setelah semua proses ritual tawwaf usai, didapati jari kelingking kaki kiri membengkak.

Saya mafhum ekspresi wajah teman-teman jamaah yang berekspresi,”Apakah itu teguran Allah kepadamu?” Jujur saja saya tidak tahu, apakah insiden tsb adalah hukuman/ teguran atas suatu kesalahan yang pernah saya lakukan. Hanya pikiran positif yang saya lakukan,”Ini kecelakaan murni. Bisa terjadi pada siapa saja, dan dimana saja, terutama dalam suasana tawwaf seperti ini.”

===

Saya mengalami masa-masa sulit selama tahun 2007 hingga 2009. Alhamdulillah saya bisa menjalaninya dengan lapang dada dan hati ikhlas. Seorang sahabat menanyakan rahasia dibalik keikhlasan itu, karena ia sering melihat saya baik-baik saja meski ia tahu sesungguhnya saya dirudung kesusahan. “Saya menerimanya sebagai bagian dari jalan yang harus saya lewati jika ingin survive di masa mendatang,” hanya itu jawaban saya.

Masa-masa itu isi do’a saya hanyalah agar diberi kekuatan dalam menjalani hari-hari sulit ini. Ada beberapa orang yang mengandalkan hidupnya pada saya, dan saya tidak ingin mereka melihat saya putus asa. Karena jika saya jatuh, mereka akan jatuh bersama saya. Oleh karena itulah saya harus survive. Saya menyerahkan diri kepada Sang Pencipta, karena saya percaya jika saya berusaha keras Ia akan membantu.

===

Tidak lama setelah Idul Fitri 2009 saya melakukan shalat magrib di masjid Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Seperti biasa sepatu saya simpan di rak sepatu. Petugas sedang tidak ada saat itu (atau memang biasanya tidak ada, saya tidak tahu). Usai shalat Magrib, sepasang sepatu tsb sudah raib. Kaos kaki ditinggal oleh pencurinya. Saya sangat sedih karena sepatu itu adalah favorit dan sangat banyak kenangannya. Usianya di kaki lebih tua dibanding usia putri pertama saya.

Siapa yang mau disalahkan? Tidak ada. Saya sudah menyimpan sepatu pada tempatnya.
Berusaha untuk mengambil hikmah, itulah yang saya lakukan. “Mungkin sudah waktunya saya membeli sepatu baru. Tokh ia sudah tua. Jika sepatu itu dijual, semoga pembelinya (yang membeli secara sah) mendapat manfaat sebagaimana yang saya dapat bersama sepatu tsb.” Saya sudah mengikhlaskan sepatu tsb.

Baru-baru ini, April 2010, peristiwa serupa terulang kembali. Usai shalat magrib sepatu saya hilang. Padahal sudah disimpan di rak sepatu, dan di masjid ini (letaknya dekat kantor) memang tidak pernah ada penjaga rak sepatu. Saya pun sering shalat disini dan tidak pernah ada masalah.

Apa yang harus saya lakukan? Marah? Marah kepada siapa? Berpikir positif? Saya tidak tahu apa yang harus saya pikirkan, mengingat semua pikiran positif sudah saya tanamkan ketika enam bulan sebelumnya saya kehilangan sepatu. “Jika ia menjualnya, semoga uang hasil penjualannya memberi kesengsaraan. Jika digunakan sendiri, semoga setiap langkahnya tidak menuntunnya ke jalan yang lebih baik,” hanya itu yang saya ucapkan.

Hingga hari ini saya masih berusaha mencari hikmah dibalik kisah naas itu. Mungkin saya kurang beramal? Bisa jadi, karena yang mampu menilai hanya Yang Di Atas sana meski saya kerap beramal. Mungkin saya harus lebih waspada melihat kondisi masjid. Namun apakah saya harus menunda shalat wajib jika mendapati masjid tidak aman? Idah berkata,”Hikmahnya adalah saya punya bahan untuk hadiah ulang tahun kamu.” Sebuah satir.

Saya berniat untuk tetap menanamkan pikiran positif dalam diri saya, meski saya tahu sangat berat. It’s the only thing that’s keeping me surviving these difficult days.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA