STANDAR KINERJA BUSWAY PERLU DIBUAT PER KORIDOR?

Draf standar pelayanan minimum bus transjakarta belum dapat menjawab tantangan untuk meningkatkan pelayanan angkutan massal itu. Standar pelayanan minimum seharusnya dibuat per koridor bus transjakarta agar dapat lebih mudah diterapkan oleh semua pihak (Kompas, 30 April 2010)

Ada banyak hal menarik dari artikel yang dimuat di harian Kompas tersebut. Narasumber utama dalam artikel tersebut adalah Gubernur DKI Jakarta. Saya sebagai pemerhati lingkungan kota DKI Jakarta terpanggil untuk mengomentari dan berbagi pengetahuan.

Sedikit banyak saya punya peranan dalam penyusunan draft Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dimaksud. Dengan bekal itu maka saya yakin dapat memberikan pandangan berimbang. SPM yang dimaksud dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas layanan jasa transportasi publik, berbentuk bus rapid transit (BRT) di DKI Jakarta. Mengapa saya menyebut BRT? Karena sebenarnya itulah istilah yang benar. Bukan busway, sebagaimana yang populer di masyarakat selama ini. BRT berarti sistem angkutan umum berbasis bus yang mampu mengangkat penumpang secara massal dan dalam waktu cepat. Kira-kira seperti itu pengertiannya.

Sejak beroperasi tahun 2004, busway tidak memiliki standar kinerja yang memberi jaminan layanan kepada penumpangnya. Padahal hingga awal tahun 2010 sudah beroperasi delapan koridor. Menurut rencana sekitar Oktober 2010 akan dioperasikan dua koridor (9 dan 10), hingga total menjadi 10 koridor. Namun kualitas layanan yang dirasakan penumpang semakin hari semakin buruk.

SPM yang disusun bukanlah mutlak menjadi tanggung jawab Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta Busway. Melainkan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan BRT ini, mulai dari BLU Transjakarta Busway, semua Dinas terkait di bawah Pemprov DKI, serta pihak terkait lainnya (seperti Polda DKI tentang kelancaran lalu lintas). Berhasil atau tidaknya pencapaian kinerja, menjadi tanggung jawab bersama semua pihak tersebut. Atau setidaknya semua pihak di bawah kendali Pemprov DKI, dan tidak termasuk Polda DKI yang berada di di luar Pemprov DKI.

Banyak orang tidak menyadari bahwa sesungguhnya busway itu adalah kereta api. Mulai dari sistem, sarana dan prasarana, hingga semua parameter kinerja. Anda cukup mengganti rangkaian rel dengan jalanan aspal, serta mengganti lokomotif/ gerbong dengan bus. Selesai. Semua sistem kereta api berlaku pada sistem busway: jalan busway yang steril tanpa gangguan, sistem kontrol, jeda waktu keberangkatan (headway), transaksi tiket di halte (sebelum penumpang naik), tanpa kondektur, dst. Everything is exactly the same.

Dengan karakter sistem kereta api, semua pihak juga harus berpikir bahwa busway adalah kereta api dengan tubuh yang berbeda (yaitu bus). Oleh karena itu akurasi pengendalian sistem sangat tinggi. Ada satu gangguan saja dalam sistem, maka seluruh sistem bisa gagal. Oleh karena itu harus dipahami bahwa jika ada pelanggar masuk ke dalam lintasan busway, akibatnya tidak hanya mengganggu kelancaran sistem busway (perjalanan jadi terhambat, dll). Namun juga risiko ditanggung sendiri, alias celaka, dan busway/ pengemudi tidak bisa dipersalahkan. Kenapa? Karena pelanggar masuk sengaja ke dalam sistem busway. Sama persis dengan kereta api. Jika ada pelanggar lintasan, kereta api dan masinis tidak pernah salah. Kecuali jika masinis dan penjaga pintu lintasan tidak mengindahkan sinyal sistem.

Kembali ke SPM......

Ada empat dimensi utama dalam SPM ini: Kehandalan Pelayanan, Keselamatan dan Keamanan, Kemudahan, serta Kenyamanan. Urutan empat dimensi ini disusun sesuai dengan urgensi standar pelayanan, serta sesuai dengan umumnya permintaan penumpang.

KEHANDALAN PELAYANAN
Dimensi SPM ini adalah tulang punggung sistem busway. Jika dimensi ini gagal, lupakanlah yang lain karena keberhasilan dimensi ini mencakup nyaris 80% dari sistem busway. Dimensi ini mencakup SPM rencana headway, ketepatan headway, waktu menaikkan/menurunkan penumpang, jarak lantai bus dengan platform halte, kecepatan perjalanan, kehandalan armada, dan konsistensi jam pelayanan.

Dalam artikel tersebut di atas dikatakan bahwa suatu SPM tidak bisa diterapkan sama rata pada semua koridor, karena setiap koridor memiliki karakternya sendiri. Alias memiliki keunikan tersendiri. Pada satu sisi pemikiran tersebut benar. Namun harus diingat bahwa satu standar berlaku untuk semua (tidak berlaku double standard), dan parameter keberhasilannya bisa diatur dalam penetapan range (rentang) kinerja.

Sebagai contoh, yang kita semua tahu, bahwa delapan koridor memiliki karakternya sendiri. Koridor 1 (Blok M-Kota) nyaris steril, nyaris lurus sepanjang perjalanan, dan tidak banyak intersection atau mixed traffic. Ketepatan headway nyaris 100%, yaitu 5 menit untuk waktu tidak sibuk, dan 3 menit untuk waktu sibuk.

Kondisi ini sangat berbeda dengan, katakanlah, koridor 6 (Ragunan-Latuharhary). Koridor 1 memiliki keuntungan perada di jalur protokol dan nyaris tidak ada yang berani melanggar aturan lalu lintas. Sedangkan pada Koridor 6, jangankan masyarakat umum, baru-baru ini seorang pejabat Pemerintah Pusat saja melanggar dan masuk ke jalur busway.

Namun ketika kita bicara suatu standar, target pencapaian headway (dalam %) haruslah sama antara Koridor 1 dan Koridor 6. Meskipun headway pada kedua koridor bisa berbeda. Seingat saya headway koridor 6 saat jam sibuk (peak hour) adalah 5 menit dan off-peak 10 menit. CMIIW. Pencapaian kinerja SPM diukur dari % tercapainya target tsb. Semakin mendekati 100% maka kinerja semakin baik. Semakin jauh dari 100%, artinya ada yang tidak beres dalam runway. Jika ketidakcapaian berlangsung terus-menerus, artinya masalahnya akut (bus kurang, pelanggaran jalur, dll) dan bukan masalah musiman (kecelakaan, listrik mati, dll).

SPM Kecepatan Perjalanan juga memiliki pemikiran sendiri. Artikel tsb menyebutkan bahwa narasumber mengkritik waktu tempuh. Mohon maaf, tidak ada SPM Waktu Tempuh (travel time). Yang ada adalah SPM Kecepatan Perjalanan. Maksudnya gimana? Setiap koridor berbeda jarak tempuh kilometer, dan berbeda jumlah kilometer intersection/ mixed traffic. Dapat diketahui melalui survey, waktu tempuh rata-rata di setiap koridor dari halte ujung ke halte ujung lainnya saat peak dan off-peak. Dari hasil survey dapat dihitung kecepatan rata-rata sebuah bus, di setiap koridor, saat peak dan off-peak. Kecepatan rata-rata inilah yang menjadi standar kecepatan bus.

Anggaplah koridor 1 Blok M-Kota pada peak hour kecepatan rata-ratanya antara 15 hingga 10 km/ jam, dengan total waktu tempuh 45 menit. Petugas SPM cukup mencatat waktu keberangkatan bus nomor X dan waktu kedatangannya di halte ujung. Jika ternyata bus nomor X tiba di halte ujung dalam waktu 35 menit, sudah dapat dipastikan bahwa supir ngebut. Atau jika bus tiba dalam waktu 60 menit, artinya sudah pasti kecepatan rata-ratanya di atas 10-15 km/ jam. Pada saat inilah dikatakan target SPM tidak tercapai.

Okelah jika bus kena sanksi jika terlambat. Tapi bukankah jika lebih cepat itu lebih baik? Ya benar, tapi ada toleransi 50% dari standar headway. Asumsinya, jika bus nomor X itu lebih cepat 60% dari kecepatan rata-ratanya, dia pasti akan menabrak bus di depannya karena bus di depannya itu berjalan dengan kecepatan rata-rata 10-15 km/ jam.

SPM di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak SPM yang disusun. Seluruh SPM berlaku standar bagi semua koridor. Disediakan jalan keluar untuk mengakomodir karakteristik koridor yang berbeda, yaitu dengan menciptakan rentang (range) target. Sepanjang hasil perhitungan SPM berada dalam rentang sasaran, artinya SPM tercapai.

Jadi ngga perlu dibuat pusing dengan konsep SPM yang kelihatannya rumit, dan tidak applicable. Draft SPM itu sudah dibahas oleh banyak pihak, termasuk jajaran Dinas dalam Pemprov DKI. Hampir semua pembahasan saya ikuti. Yang penting sekarang adalah kesungguhan untuk membereskan kinerja bus rapid transit, dan menjadikannya tanggung jawab renteng semua pihak terkait. Mohon diingat, DKI Jakarta sebagai kota metropolitan tidak memiliki sistem angkutan massal yang handal. Tidak usah menunggu hingga lima tahun ke depan.

Jika kebijakan Pemerintah Provinsi DKI tidak segera berpihak pada transportasi publik, dan masih memberi porsi lebih kepada transportasi pribadi, dijamin kota DKI Jakarta akan collapse dalam 3 tahun. Sekarang saja macet lalu lintas sudah terjadi setiap hari. Mulai dari pk 06.00 hingga 22.00, nyaris di seluruh jalan utama. Lupakanlah mimpi dengan subway dan monorail. Yang kita punya sekarang adalah busway, dan mulailah benahi harta yang kita punya itu. Jauh lebih berharga daripada menggapai mimpi lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA