DUA MALAM DI RUMAH KOSONG (based on true story)

Bruukkk.....

“Akhirnya aku sampai!” Betapa girangnya diriku, berhasil masuk ke dalam rumah ini. Ventilasi jendela itu tinggi juga, tak banyak berbeda dengan terakhir kali aku melompatinya. Rembulan bersinar terang malam ini, dan awan mendung tidak tampak. Semoga malam ini tidak turun hujan. Meskipun hujan, malam ini aku akan aman di dalam rumah. Tidurku akan nyenyak tanpa satu pun gangguan.

Lantai atas yang kumasuki ini tampak gelap. Tak ada cahaya apapun selain sinar rembulan dari celah-celah ventilasi. Tidak biasanya Ibu membiarkan lampu ruang atas ini mati. Setiap aku lewat di pekarangan luar malam hari, aku selalu memperhatikan nyala lampu dari kejauhan. Ibu tidak pernah lupa menyalakannya, kecuali jika Ibu sekeluarga sedang pergi ke luar kota atau pulang terlambat. Akh...mungkin Ibu lupa menyalakannya karena lelah, atau lampunya putus.
Debu ruangan ini tebal sekali! Ketika aku melompat dari ventilasi itu, terasa debu berterbangan dan membuat hidungku bersin. Hatttttchii! Berkali-kali hidungku bersin, sampai debu pergi menjauh. Gelap dan berdebu sekali ruangan ini.

Dengan semangat aku melangkah cepat menuju tangga turun. Di lantai atas ini tidak banyak yang menarik seingatku. Hanya seperangkat komputer serta lemari berisi tumpukan buku milik Bapak. Sering juga ku dengar musik rock ceria terdengar dari balik ventilasi. Aku tak banyak tahu tentang musik, terutama selera musik Bapak yang menurutku aneh itu. Ruang lantai atas ini memang wilayah kerja Bapak. Tidak banyak hiburan untukku disini.

Dimana tangga turunnya? Aku tak menemukannya? Mengapa yang ada sebuah pintu tertutup?
Aku coba buka pintu dari celah-celahnya. Tanganku tak mampu menggapai pegangan pintunya. Terlalu tinggi untukku. Biasanya aku selalu sukses membuka pintu dari celah-celahnya. Tapi itu khusus untuk pintu ruang utama di lantai bawah, dan itupun jika pintu tidak tertutup rapat serta terkunci. Kali ini pintu sulit sekali terbukanya. Apakah mungkin model pintunya berbeda?
Kupandangi ruang sekeliling dengan cahaya rembulan seadanya. Tampak sebuah pintu lain di sisi ruang sebelah sana. Oh, mungkin itulah pintu menuju tangga turun. Aku tak kuat membuka celah daun pintu. Terlalu kuat bagiku. Terlihat sedikit cahaya rembulan dari celah bawah pintu, dengan semilir angin malam berhembus.

Cahaya rembulan? Angin malam? Seingatku tidak ada pintu menghadap ruang terbuka di lantai atas ini. Atau aku salah?

Kulihat ruang sekeliling. Sedikit cahaya yang masuk dan beruntung aku terbiasa melihat di malam hari. Ada setumpuk kardus usang dan perabotan yang tidak jelas rupanya. Beberapa batang besi dan entah alat apa lagi namanya terbuat dari logam berserakan disini. Berdebu dan diselimuti sarang laba-laba. Ada di mana aku ini?

Dengan mata terbuka lebar kuperhatikan baik-baik sekeliling ruangan. Mana lemari buku dan meja komputer Bapak? Dinding tembok juga kotor dan berdebu. Sama sekali berbeda dengan ruang yang kukenal. Ada di mana aku ini?

Panik kini aku sekarang. Apakah mungkin aku salah rumah? Bentuk ventilasinya benar. Atau aku tidak teliti? Kupandangi ventilasi yang tadi kumasuki. Terbuat dari kayu. Seingatku jeruji ventilasi rumah Bapak dan Ibu terbuat dari besi dengan susun-silang lebar. Oh tidak, aku salah rumah!

“Tolong! Tolong!” Teriak aku sekencang-kencangnya. Berharap ada orang yang mendengarnya. Semoga Bapak, Ibu, Nadya, atau Dita mendengar teriakanku ini. Semoga Nadya atau Dita, kedua putri yang selalu mencintaiku akan mendengarnya. Tapi ini larut malam. Mungkinkah mereka mendengar teriakanku?

Entah sudah berapa menit aku berteriak dan tak ada siapapun yang menjawab. Mereka masih tidur dan akupun tidak tahu aku berada di dalam rumah yang mana. Akupun semakin gelisah dan berusaha membuka celah-celah pintu sekuatnya. Gagal. Aku tak mampu membukanya. Terkunci rapat.

Aku berteriak terus meminta pertolongan, tapi tak seorangpun membalas. Dari kejauhan terdengar ayam jantan tetangga berkokok. Hari mulai subuh dan adzan pun melantun. Aku hanya bisa duduk menangis. Tak ada yang mendengar teriakanku. Mungkin sebentar lagi akan ada pertolongan.

========

Perlahan sinar matahari mulai merasuk. Ruang mulai terang dan tampak berantakannya perabotan di sekelilingku. Tidak salah lagi, aku salah rumah! Entah rumah siapa yang kumasuki. Sekali lagi aku berteriak minta tolong. Tak ada jawaban.

Perlahan ku dengar suara piring-gelas dicuci dan air mengalir. Ibu sudah bangun tidur! Ia pasti dapat mendengarku! “Tolong! Tolong!.....” Tapi Ibu tetap tak menjawab. Terdengar air terus mengalir dan piring-gelas berbunyi di lemari. Aku yakin berada di rumah sebelah, karena suara Ibu mencuci piring-gelas kotor terdengar jelas. Rumah sebelah ini memang kosong dan sudah lama tak dihuni pemiliknya.

“Tumben ia tak datang kesini. Biasanya ia tak pernah terlambat,” ku dengar Ibu berbicara kepada Bapak. “Mungkin ia sedang bermain ke tempat lain,” jawab Bapak. “Aku disini! Tolong! Tolong!,” aku semakin kencang berteriak. Tak ada sahutan pertolongan. Hatiku semakin cemas ketika mendengar suara pintu gerbang mobil dibuka dan mesin mobil dinyalakan. Jangan-jangan..... Terdengar suara Nadya dan Dita berebut Playstation untuk bermain di mobil. “Nadya! Dita! Saya disini! Tolong bukakan pintu! Please....”, teriakku sambil menangis.

Lututku menjadi lemas ketika suara mesin mobil semakin menjauh. Aku tak tahu kapan mereka akan kembali. Biasanya di hari Sabtu seperti ini mereka pergi ke Jakarta dan pulang larut malam. Bagaimana dengan nasibku? Bagaimana cara aku bisa keluar dari rumah yang menyeramkan ini?

Menit demi menit, jam demi jam berlalu. Aku kesepian. Aku kehausan. Aku kelaparan. Ruangan ini semakin panas seiring dengan teriknya sinar matahari. Tak ada gunanya berteriak minta tolong. Tak ada yang mendengar. Aku hanya bisa pasrah.

Dalam tidurku aku mulai bermimpi buruk. Laba-laba mengelilingiku. Lalat berterbangan mengitari telingaku. Kecoak yang menjijikkan itu tampak mondar-mandir. Aku menangis dalam tidurku. Aku merindukan belaian Nadya dan Dita. Aku menyesal selama ini sering berbuat nakal kepada mereka berdua. Aku kesepian....

Tak terasa matahari mulai terbenam dan belum ada tanda-tanda keluargaku pulang. Aku tak mendengar apa-apa dari rumah menyeramkan ini. Tak ada tanda kehidupan di rumahku. Perlahan ruangan lembab ini kembali gelap dan aku sendiri lagi.

Entah pukul berapa saat Bapak, Ibu, Nadya dan Dita pulang ke rumah. Aku mendengar suara pintu gerbang dibuka, suara mesin mobil diparkir, dan suara pintu utama dibuka. “Koq tumben dia tidak terlihat seharian ya?,” tanya Nadya. Terdengar Dita menjawab,”Iya, mungkin dia sudah bosan dengan kita. Atau jangan-jangan dia diculik orang jahat.” Aku hanya bisa meratap lirih,”Aku disini......” Tak ada yang menyahut.

Aku tak bisa menceritakan perasaanku harus melewati malam kedua di ruangan gelap dan menyeramkan ini. Yang ada hanya mimpi buruk, cemas, rasa takut, serta perut lapar dan kerongkongan yang haus. Suaraku semakin serak.

========

Aku semakin lemah ketika mendengar adzan subuh berkumandang dan matahari pagi merayap masuk. Mataku sembab. Badanku kotor dengan aneka debu. Lalu aku mendengar suara orang berbicara di balik salah satu pintu. Pintu ini yang menghadap halaman luar dan tampak secercah sinar matahari dari sela-sela.

“Bisa tidak pintu ini dibuka?” aku mendengar Bapak berbicara kepada seseorang. “Kita coba dulu buka pegangan pintunya. Mungkin bisa dibuka tanpa merusak kuncinya,” jawab seseorang lainnya. Aku segera mendongak. Ada yang datang menolong!
Terdengar suara tangga ditempelkan ke pintu dan seseorang menaikinya. “Tolong dipegang tangganya,”ucap orang itu. Tangga? Mengapa tangga? Oiya aku lupa. Aku berada di ruang atas. Bukan di ruang bawah rumah ini.

“Tolong! Tolong! Aku disini! Tolong!” teriakku keras sambil melompat kegirangan dengan tenaga tersisa.

“Terdengarnya dia ada di balik pintu ini,” ucap orang yang berusaha membuka pintu. “Coba kita buka dengan mengganjal pintunya,” sahut Bapak dari kejauhan, “Bagian bawah kelihatannya bisa dibuka sedikit. Bisa dibuat celah.”

Aku hanya bisa mondar-mandir menunggu pertolongan. Rasanya lama sekali! Perlahan daun pintu bisa dibuka secara paksa. Celah yang hanya sedikit itu diganjal dengan batu. Cahaya matahari masuk menyinari ruangan, dan sebuah wajah asing terlihat. Aku bergerak mundur ketakutan, karena tak mengenalinya. Tangannya hendak menjangkauku.

“Nadya, kamu kesini deh. Panggil dia supaya mendekat ke pintu,”kudengar Bapak memanggil putrinya. “Akun! Akun! Kesini! Keluar lewat pintu!,” kudengar Nadya memanggilku. Aku mendekat ke celah pintu perlahan. Sebuah tangan menangkapku di tengkuk dan menarikku keluar lewat celah pintu. Mataku silau melihat sinar matahari yang terang. Sudah dua hari aku tak melihat sinar matahari seterang ini. Aku hanya bisa tergantung tak berdaya ketika tengkukku dipegang dan tubuhku diangkat keluar. Tubuhku ditangkap oleh Bapak yang menunggu di anak tangga luar, dan akupun berpindah tangan kepada Nadya yang menunggu di pekarangan rumput belakang rumah kosong ini.

“Akun, kamu kemana saja dua hari ini! Kamu terperangkap di rumah kosong ini ya? Makanya kamu jangan suka nakal masuk ke dalam rumah lewat ventilasi jendela. Beruntung kamu bisa ditolong!,” ucap Nadya sambil memelukku gembira. Aku cuma bisa mengeong lemah dan tak bisa tersenyum. Nadya membawaku pulang ke rumah.

Di rumahku, yang benar ternyata bersebelahan dengan rumah kosong itu, Dita sudah menyambutku dengan ceria. Ibu menyiapkan secangkir air putih untukku. Inilah air paling menyegarkan sepanjang hidupku. Betapa bersyukurnya aku terselamatkan. Aku tak mau lagi naik ke atap rumah dan masuk melalui ventilasi jendela. Tak lama Ibu menyuguhkanku sepiring nasi putih bercampur daging ikan Whiskas kesukaanku. Dengan lahap aku makan tanpa tengok kiri-kanan. Betapa laparnya perutku.

Sementara makan, aku melihat Bapak beserta dua orang rekannya mengangkut sebuah tangga dan perkakas dari balik rumah kosong. Nadya dan Dita tampak senang aku telah ditemukan dan selamat. Aku berjanji untuk tidak lagi nakal.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA