KOMIK ROMAN PERJUANGAN DALAM MAJALAH HAI

Tahun 2010 ini Indonesia sudah memasuki usia ke-65 dan ada banyak peristiwa bersejarah diabadikan dalam media cetak dan elektronik. Komik sebagai produk budaya populer menjadi media yang cocok untuk mengabadikan berbagai peristiwa bersejarah tersebut. Pengabadian yang dimaksud tentunya tidak serupa dengan karakteristik fotografi dan media audio serta visual lainnya. Perekaan ulang menjadi pendekatan yang paling memungkinkan diakomodir media komik.

Jika kita kilas balik ke periode awal komik Indonesia, maka akan didapati saratnya tema perjuangan dalam bentuk komik. Baik dalam media komik strip, maupun komik buku. Kisah Pendudukan Jogja dibuat oleh Abdulsalam secara bersambung mulai 19 Desember 1948 di harian Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, adalah salah satu perintis komik perjuangan. Komik dalam format strip (baris) ini mengisahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap usaha pendudukan kembali Belanda. Sejak itu entah sudah berapa puluh (jika bukan ratus) judul komik tema perjuangan melawan penjajah mewarnai perjalanan panjang komik Indonesia.

Selain kisah perjuangan ada pula komik-komik tema roman yang mengambil latar masa perjuangan melawan penjajah Belanda atau Jepang. Sebagian pembaca menyebutnya komik roman perjuangan, meski belum ada peresmian atau konsensus atas genre komik ini. Komik roman perjuangan ini memiliki keistimewaan sendiri, yang membedakannya dengan komik roman pada umumnya. Salah satu keunikannya ada pada kemampuan sang seniman komik untuk meleburkan cerita roman dengan latar belakang (setting) masa perjuangan, dan tidak terlihat sebagai suatu pemaksaan. Semuanya mengalir dengan lancar dan mulus.

Ada sebuah periode, yaitu akhir dekade 70-an hingga awal 80-an, saat sebuah majalah remaja di tanah air sarat dengan komik roman perjuangan. Majalah HAI, begitu namanya, memberikan suguhan berkualitas kepada mayoritas pembacanya yang notabene adalah remaja usia 12 hingga 18 tahun. Terlihat kontras dengan muatan komik lainnya dalam majalah yang sama, yang umumnya seputar petualangan, komedi, fiksi ilmiah, dan lainnya. Meski kebanyakan komiknya adalah produk terjemahan bahasa asing, Majalah HAI masa itu secara konsisten memberikan tempat yang luas bagi komik lokal, terutama genre roman perjuangan. Para senimannya pun bukan main-main: Teguh Santosa, Jan Mintaraga, Hasmi, Wid NS, dan Ganes Th., sekedar beberapa nama di antaranya. Mereka yang sudah melegenda dalam dunia budaya populer.

Teguh Santosa mengambil kisah singkat seputar perlawanan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang memimpin perlawanan rakyat Bali pada 20 November 1946 (Tragedi Tabanan, HAI no. 42 tahun 1980). Saat itu perlawanan rakyat Bali terpecah akibat pesimisme dan kenyataan bahwa perjanjian Linggajati hanya mengakui wilayah kedaulatan Indonesia seluas Sumatra, Jawa dan Madura. Mampukah rakyat Bali memperjuangkan kemerdekaan meski wilayah mereka tidak termasuk dalam Republik Indonesia? Teguh Santosa sebelumnya sudah menghasilkan mahakaryanya, trilogi Sandhora (terbit 1969-1972), yang mengambil latar masa perlawanan Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Imam Bonjol (1803-1837).

Hasmi (populer dengan Gundala Putera Petir) mengadaptasi puisi karya sastrawan Taufiq Ismail menjadi sebuah komik memoir berjudul Buku Tamu Musium Perjuangan (HAI no. 10 tahun 1981). Subekti, tokoh utamanya, mengunjungi museum perjuangan dan mengenang perjuangannya bersama para pejuang lainnya dalam sebuah penyergapan di tahun 1948. Pada penyergapan itulah Subekti mengorbankan nyawanya dan kini arwahnya menyesali kondisi carut-marut negeri yang dulu diperjuangankan dengan darah dan nyawa.

Hasmi mengadaptasi karya Taufiq Ismail lainnya ke dalam judul Setasiun Tugu (HAI no. 42 tahun 1981). Seorang wanita muda dengan dua putrinya yang masih balita menantikan kedatangan suami dan ayah tercinta dari medan peperangan. Sore itu. 26 Mei 1947, ia beserta kedua putrinya menantikan kedatangan kereta api yang membawa pulang rombongan para pejuang. Gegap gempita dan riuh rendah suasana stasiun kereta api, menyambut kedatangan para pahlawan. Wanita muda itu mencari Soenandar, suaminya, di antara kerumunan hingga akhirnya menanyakan kepada seorang pejuang. Dengan sedih ia menoleh menatap gerbong yang membawa beberapa jenazah,”Soenandar gugur tadi pagi dalam pertempuran....”

Ganes Th, yang populer dengan Si Buta Dari Gua Hantu, mengambil kisah pertempuran sekelompok pejuang di Ujung Berung, Bandung, 24 Maret 1946 pada Kemelut (Hai no. 35 s/d 46 tahun 1983). Sebuah drama yang berfokus pada dialog (dan nyaris tidak ada adegan peperangan) para tokoh utama yang terkepung dalam sebuah rumah tua. Sebagian terluka parah, sebagian putus asa, sebagian ingin mengorbankan diri secara sia-sia, hingga pada akhirnya bertengkar di antara mereka sendiri. Akhir cerita sudah bisa ditebak saat mereka saling menuduh siapa sang pengkhianat, dan pada akhirnya saling bunuh. Ganes Th dengan kepiawaiannya membangun dramatisasi cerita hingga layar panggung menutupi panel terakhir.

Jan Mintaraga, yang piawai dalam genre roman, bersama redaksi HAI Arswendo Atmowiloto mengajak pembaca ke 6 Jam Sebelum 6 Jam di Jogja (HAI no. 20 tahun 1978) tentang ujian bagi seorang pejuang yang diragukan kesetiaannya. Mencari Ayah (HAI no. 42 s/d 45 tahun 1978) mengisahkan Ramelan, seorang pemuda yang mengangkat dua orang kakak-adik sebagai saudara angkatnya karena sebatang kara. Sementara Ramelan berjuang, Yati, adik angkatnya, bertugas sebagai perawat. Kelak Ramelan harus mengambil keputusan sulit saat menghadapi seorang pengkhianat yang tak lain adalah ayah kandung Yati.

Beberapa judul di atas menunjukkan bahwa sebuah cerita perjuangan tidak mutlak berkutat di dalam kancah peperangan. Sebuah cerita drama dapat dibangun di sela-sela arena peperangan. Suatu peristiwa yang kerap luput dari perhatian, meski kadang penting peranannya dalam kejayaan perlawanan menghadapi penjajah.

Masa kini komik-komik genre roman perjuangan tidak banyak ditemukan, meski lahan ini adalah kesempatan baik bagi seniman komik yang ingin mengembangkan kemampuan, terutama di bidang khasanah cerita drama dengan latar suatu peristiwa penting. Semoga di hari-hari ke depan akan sering ditemukan kisah-kisah patriotisme sebagaimana yang para komikus senior sudah lakukan bersama Majalah HAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA