MAHAKARYA HARI INI, MAHAKARYA ESOK HARI

Dalam satu tahun terakhir kita dapati para seniman komik generasi 60-an dan 70-an berkarya kembali. Beberapa di antaranya sudah melakukannya para beberapa tahun sebelumnya, namun ada sebagian yang benar-benar ‘pendatang baru’. Bagi pembaca penggemar Hasmi, Mansjur Daman, Kelana, Gerdi WK, Hans Jaladara, Djair Warni, dan lainnya tentu sangat bergembira. Betapa tidak, karena karya terbaru para pendekar senior ini tidak saja memberi nuansa nostalgia. Mereka juga membawa angin segar dan memotivasi para seniman komik muda untuk terus berkarya.

Lalu seperti apa karya mereka hari ini? Masihkah layak mendapat perhatian? Mampukah generasi muda menikmatinya, sebagaimana para pendahulu mereka?

Djair Warni mempersembahkan karya terbaru dari tokoh rekaannya, Jaka Sembung, dalam judul Jaka Sembung vs Si Buta Dari Gua Hantu (Pluz+, 2010). Beberapa lembar pertama merupakan intisari bergambar dari semua judul Jaka Sembung terdahulu. Semuanya dapat dianggap sebagai nostalgia, pengembali ingatan, serta perkenalan bagi pembaca lama dan baru. Setelah itu tampil panggung utama, dimana Djair meminjam tokoh rekaan sahabat lamanya, alm. Ganes Th.

Apa yang menarik dalam Jaka Sembung vs. Si Buta Dari Gua Hantu? Selain keduanya berasal dari masa jagad waktu yang berbeda, keduanya juga berlatar belakang berbeda meski tentara pendudukan Belanda adalah musuh yang sama. Namun apa yang tak mungkin dalam sebuah komik? Media ini mampu mengakomodir apapun yang diinginkan sang seniman, meski tentu saja memiliki beberapa keterbatasan.

Karya Djair ini termasuk unik, terutama dengan gaya ilustrasi, penataan panel, gaya bahasa pada dialog, serta kompleksitas cerita yang khas era 70-an. Perhatikan lembar demi lembar dan Anda akan dibawa hanyut ke masa 30 tahun silam, ketika kompeksitas cerita dan visual tak serumit komik masa kini. Meski demikian Djair tetap berpijak pada filosofi ke-Tuhan-an yang semasa itu pula menjadi landasan karakter Jaka Sembung. Ada kemungkinan pembaca masa kini, yang terbiasa dengan karya rumit, akan kesulitan untuk menghayati Jaka Sembung vs Si Buta Dari Gua Hantu. Wajar memang karena terdapat celah generasi. Apalagi jika pembaca tak akrab dengan komik Djair era 70-an.

Seniman komik lain yang merebut perhatian adalah Gerdi Wiratakusuma (alias Gerdi WK) dengan episode terbaru Gina: Laila (Anjaya Books, 2010. Desain ilustrasi sampul yang memikat mata sudah menjadi modal ampuh bagi siapapun (terutama pembaca pria) untuk menoleh dan menimang karya terbaru Gerdi WK. Dalam Laila, Gerdi WK kembali membawa Gina dalam petualangan di dunia 1001 Malam. Ada banyak perubahan yang dapat dinilai secara sepintas. Mulai dari narasi dalam teks balon yang lebih sedikit, bahkan jauh lebih sedikit dibanding karya Gerdi WK sebelum tahun 1975, hingga penataan panel dan sudut pandang pengambilan gambar yang variatif.

Meski jauh berkurang, namun Gerdi WK belum mengoptimalisasi bahasa gambar sehingga dapat mengurangi bahasa narasi. Padahal membiarkan sebuah gambar ‘berbicara’ tanpa teks memberikan imajinasi tersendiri bagi pembacanya. Sebuah gambar dapat ‘berbicara’ banyak. Mungkin inilah kekurangan signifikan dalam Laila.

Lembar demi lembar lain menunjukkan kepiawaian Gerdi WK sebagai seorang seniman gambar. Perhatikan ‘gesture’ para karakter wanitanya, seperti Gina dan Laila. Dijamin pria manapun dapat berdebar-debar dan bertekuk lutut menyaksikan betapa bahasa tubuh keduanya mampu menyihir mata dan pikiran pembaca pria. Khusus untuk faktor ini siapapun wajib memberikan penghormatan tertinggi kepada sang maestro. Sulit dicari tandingannya.

Jika Djair Warni dan Gerdi WK membutuhkan seratus halaman untuk membuahkan hasil, maka Hans Jaladara hanya membutuhkan 18 halaman indah sebagai penutup petualangan panjang Panji Tengkorak, tokoh rekaannya. Ke-18 halaman ini seakan menunjukkan kematangan seorang pendekar komik atas langit, dan menjadikannya bak standar kualitas karya bagi generasi berikutnya.

Tampil dalam episode Cinta di Senja Hari (Kumpulan Cergam Kampungan: Romansa, 2010), alkisah Panji Tengkorak kini sudah uzur dan melepaskan seluruh atribut kebesarannya. Tidak hanya itu, topeng tengkorak yang menjadi simbol identitasnya pun ditanggalkan. Dunia tak akan mengenal lagi seorang Panji Tengkorak, seorang pendekar-pengelana yang disegani siapapun yang mengenalnya. Namun takdir mempertemukannya dengan cinta sejati yang telah lama hilang, sebelum ia meninggalkan panggung selamanya. Sebuah episode penutup yang emosional bagi para penggemar Panji Tengkorak telah berhasil disuguhkan Hans dengan segala keindahannya.

Hans tak lupa menampilkan seorang tokoh baru, seorang pemuda yang mungkin saja kelak menjadi pewaris Panji Tengkorak. Semoga pembaca mendapat kesempatan di masa mendatang untuk mengikuti petualangan pemuda ini.

Banyak pesan disampaikan oleh ketiga seniman komik bagi siapapun yang membaca karyanya. Jangan pernah berhenti berkarya dan terus meningkatkan kualitas karya, seakan-akan inilah karya terakhirmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA