NGGA IKHLAS, NGGA BERKAH

Dalam enam bulan terakhir saya mendengar berita mengejutkan perihal karir tiga orang sahabat terdekat. Bagi saya pribadi, perubahan dan keputusan yang mereka alami membuat sedikit-banyak rasa bersalah pada diri saya. Mungkin dalam kenyataannya saya tidak punya andil apapun dalam, katakanlah cobaan, karir mereka tsb. Namun tetap saja saya merasa punya peran, meski sedikit apapun.

Beberapa tahun lalu saya mengalami peristiwa serupa. Saya mengambil keputusan yang mengejutkan semua keluarga dan sahabat dekat: mengakhiri karir yang sudah dibangun lebih dari 10 tahun. Suatu keputusan paling berat dan bersejarah yang pernah saya lakukan dalam karir. Saya yakin saat itu keputusan terbaik, setidaknya untuk diri pribadi, dan insya Allah untuk keluarga.

Ada beberapa latar belakang yang mendasari keputusan itu. Selama beberapa tahun sebelumnya saya bekerja sebagai....katakanlah sebagai seorang dokter yang bertugas untuk menyehatkan pasiennya. Mulai dari mendiagnosa, menganalisa, memberi obat yang tepat, memberi dukungan moral, hingga memberi rekomendasi hidup sehat. Kira-kira seperti itu. Bedanya, pasien saya adalah perusahaan tempat saya bekerja.

Ada alasan kuat mengapa saya sangat ingin tempat bekerja itu sehat. Disanalah saya mencari nafkah untuk keluarga. Disana juga saya berkarya, mengeluarkan kemampuan terbaik saya. Dan disana juga yang berjasa menjadikan diri saya hari ini (atau tepatnya hari itu). Mulai dari belum berkeluarga, menikah, punya anak-anak, punya rumah dan kendaraan, pergi ke luar negeri, hingga meningkatkan pendidikan. Semua itu diperoleh selama rentang waktu 12 tahun bersama perusahaan tsb. Sudah menjadi kewajiban saya, dan semua yang bekerja disana, untuk memberi kontribusi terbaiknya. Disinilah ‘rumah’ kita.

Jika ini adalah ‘rumah’, maka semua penghuninya punya kewajiban yang sama untuk memelihara ketentraman, kesejahteraan, hingga kesehatannya. Sesuai dengan porsi dan kewajiban masing-masing. Siapa sih yang tidak ingin rumahnya sehat, kuat, kokoh, lingkungannya bersih, bahkan anggota penghuni rumah hidup rukun dan bekerja sama sebagai satu keluarga demi kebaikan sang rumah itu sendiri?

Namun saya mendapati kenyataan berbeda, terutama dalam tahun-tahun terakhir disana. Para penghuninya sibuk dengan urusan masing-masing, tak banyak yang peduli dengan kesehatan rumah. Jikapun peduli, masing-masing bergerak terpisah dan kesulitan untuk diharmonisasikan. Beberapa penghuni memprioritaskan kepentingan pribadi. Yang paling parah: para Kepala Rumah Tangga nya juga tak peduli dan sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing.

Kekecewaan saya memuncak dan emosional. Sangat berat untuk berpikir jernih dan kepala dingin, agar saya tidak melakukan sesuatu yang akan disesali selamanya.Entah berapa lama saya mencari jawaban, agar tidak semakin terjerumus ke jurang frustasi. Hingga pada akhirnya saya ingat pada Sang Pencipta dan wahyu yang telah disampaikan kepada umat manusia.

Di antara semua yang diingat saat itu, ada suatu pemikiran (bukan wahyu) yang hingga kini selalu melekat: Bekerja adalah bagian dari ibadah. Jika kita tidak ikhlas dalam bekerja, maka jerih payah hasil keringat tidak akan memberi berkah bagi diri kita dan keluarga kita.

Inti dari kalimat itu sederhana, dan sudah jelas. Allah SWT sudah memberikan modal paling berharga pada manusia: akal sehat, budi pekerti, moral, sehat jiwa dan raga. Adalah tugas manusia untuk mengembangkan dirinya sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Dia Yang Menciptakan Kita. Maksudnya gimana? Ya, berkarya. Atau gampangnya: bekerja. Berkarya/ bekerja yang bagaimana? Tentu saja yang halal, yang diridhoi oleh Yang Maha Kuasa.

Jika kita bekerja sebagai bagian dari ibadah, secara ikhlas, dan pada bidang yang halal, insya Allah buah keringat kita akan menjadi berkah bagi kita, keluarga kita, dan siapa saja yang ikut menikmatinya. Jika menjadi makanan, insya Allah memberikan kesehatan jiwa dan raga. Jika berupa uang sekolah, insya Allah menjadikan anak-anak kita cerdas intelektual, emosional dan spiritual. Jika berupa rumah, insya Allah rumah kita menjadi tempat yang memberikan keteduhan fisik dan spiritual. Jika berupa kendaraan, insya Allah memberi kita keselamatan dan keamanan kemanapun kita pergi. Jika mengantarkan kita ke Baitullah, insya Allah kita mendapat pahala karenanya. Dst dst...

Lalu apa yang terjadi jika kita bekerja tidak sebagai ibadah, tidak ikhlas, dan tidak halal? Tentunya jawabannya kebalikan dari uraian pada paragraf di atas.

Alasan itulah yang menjadi pemicu kepergian saya dari perusahaan itu. Saat itu saya mulai tidak peduli lingkungan, masa bodoh, sering mengumpat, marah pada diri sendiri, tidak produktif, korupsi waktu, kecewa dengan kepemimpinan, dll. Hingga akhirnya saya sadar bahwa jika begini terus, saya mendzolimi diri sendiri dan juga para kolega. Padahal gaji yang saya terima sebagian berasal dari keringat para kolega yang mencari uang untuk perusahaan. Jika saya seperti ini, artinya saya mendzolimi para kolega. Pada akhirnya saya tidak memberi kontribusi nilai apapun kepada perusahaan. Saya menjadi benalu!

Lalu saya berpikir tentang rizki. Darimana datangnya, dari siapa datangnya, dst. Saya yakin bahwa rizki datang dari Yang Maha Kuasa. Bukan dari siapa-siapa. Saya percaya Dia tak akan menelantarkan saya, jika saya berbuat demi kebaikan. Oleh karena itu saya mengambil keputusan untuk pergi. Karena saya percaya Ia akan membantu saya melalui ini semua, karena saya melakukannya demi kebaikan semua pihak.

Seorang sahabat, yang kelak seorang di antara tiga orang di atas, berdongeng sebuah kisah kepahlawanan klasik: Saat itu sang pemimpinnya membakar seluruh armada kapal. Mereka akan menyerbu sebuah negeri. Dengan tidak ada kapal tersisa, artinya tidak ada jalan pulang. Pilihannya cuma menang, atau mati.

Saya menjawab,”Saya tidak perlu membakar kapal. Saat ini kapal sedang terbakar, dan hanya beberapa orang yang menyadarinya. Termasuk kamu dan saya. Orang lain tidak sadar, atau tidak ingin sadar. Kita termasuk yang sadar, karena data perusahaan ada di tangan kita. Seperti apa kondisi perusahaan hari ini, data ada di atas meja kita.”

Ada tiga pilihan, yang saya katakan padanya: ikut tenggelam bersama kapal, menanti kapal lain lewat dan kita menyelamatkan diri, atau percaya pada Allah SWT dan terjun berenang. Saya memilih pilihan terakhir. Saya tidak mau tenggelam bersama kapal, karena cinta saya pada kapal ini tak sebesar cinta saya pada Allah SWT dan keluarga. Memangnya jika kapal ini tenggelam, ia mau peduli dengan saya dan keluarga? Saya juga tak memilih menunggu kapal lain lewat, karena saya berlomba dengan waktu. Siapa yang bisa menjamin kapal lain akan lewat sebelum kapal yang ditumpangi ini terbakar total?

Lalu saya pun memilih untuk pergi. Istri saya sangat terpukul dengan keputusan ini. Saya hanya katakan,”Saya yakin dengan Allah SWT tidak akan meninggalkan kita, sepanjang kita setia pada jalan yang telah ditentukan. Dan saya tak bisa menjalani ini sendiri. Saya butuh kamu di samping saya. Insya Allah kita akan baik-baik saja.”

Dalam perjalanannya ada banyak peristiwa saya alami dan hadapi. Mulai dari membangun usaha, pergi ke Baitullah, menutup usaha, bersenang-senang, hingga kesusahan mencari pekerjaan. Alhamdulillah semua dapat saya lalui dengan selamat. Setiap detik saat itu saya hanya bisa berkata,”Jika ini memang jalan yang harus kulalui demi mendapat keridhaan-Mu, ya Allah, aku ikhlas menjalaninya.” Alhamdulillah hingga hari ini saya sekeluarga baik-baik saja. Sehat walafiat. Meski tak dipungkiri saya sempat depresi selama beberapa bulan. Semua surat lamaran yang dikirim, tak satupun membuahkan hasil. Apakah ternyata saya tak sebaik apa yang selama ini saya kira?

Sekali lagi, alhamdulillah, saya mulai merintis petualangan baru. Petualangan yang tak dapat saya bayangkan kelak akan berakhir dimana.

Saya hanya bisa berdo’a kepada para sahabat, terutama pada ketiga sahabat di atas yang sedang mengalami cobaan, agar mereka kuat dalam menghadapi apapun dari konsekuensi keputusan yang mereka lakukan. Saya tak bisa mengatakan bahwa keputusan yang dulu saya ambil adalah yang terbaik. Mungkin itu yang terbaik untuk saya, tapi belum tentu terbaik untukmu.

Semoga Allah SWT selalu bersamamu, my dear friends.....
Jakarta, 6 September 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA