SENYUM TERAKHIR DI BAITULLAH

“Ya Allah, Aku bersujud menghadap-Mu, bersyukur atas semua karunia yang telah Kau berikan padaku dan keluargaku. Tidak ada sedikitpun dari apa yang telah Kau berikan yang membuatku menderita. Semuanya itu selalu mengingatkanku atas apa yang menjadi kehendak-Mu, serta apa yang menurut-Mu terbaik untuk kami semua..... Sekali lagi aku berterima kasih pada-Mu, yaa Allah, penguasa langit dan bumi, atas kesempatan yang telah Kau berikan kepada kami, hingga dalam waktu dekat aku dan istriku akan mengunjungi rumah-Mu di Baitullah.... Bimbinglah kami selalu, yaa Allah, agar kami dapat meninggalkan semua yang buruk disini, dan kelak kembali dari Baitullah membawa yang baik... Hanya dengan bimbingan-Mu kami berharap kelak menjadi manusia yang lebih baik....”

Pria itu bersujud dengan air mata berlinang, tanpa seorang pun memperhatikannya. Sebuah masjid tua bersahaja menjadi saksi bisu kekhusukan dirinya di hadapan Sang Pencipta-nya. Tidak banyak umat yang sedang itikaf di masjid mungil di pinggir kota Jakarta ini. Maklum waktu shalat magrib masih beberapa puluh menit lagi, meski ada beberapa warga sekitar yang berdatangan dan mengisi waktu sambil merenung, berdo’a, dan keheningan lainnya yang hanya dia dan Tuhan-nya yang tahu. Pria yang bersujud itu sedang berteduh dari hujan dalam perjalanan pulangnya. Ruas jalan kemacetan Ibukota membuatnya menepi sejenak, sembari menanti datangnya adzan shalat Magrib.

Grusaaakkkk.....seorang kakek tua terjatuh, tak mampu menahan berat tubuhnya. Di tengah-tengah usahanya memanjatkan do’a, ia tak mampu membiarkan kedua lututnya menopang badan yang ringkih ini. Tanpa sengaja sebagian tubuhnya menimpa pria yang sedang bersujud di belakangnya.

“Masya Allah, kakek.... Anda tidak mengapa? Masih kuatkah kakek berdiri?,” beberapa hadirin bergegas membantu sang kakek berdiri. Semua terperanjat menyaksikan tubuh pria di belakang sang kakek terkulai di lantai. Nampaknya ia tersungkur tak menyadari sang kakek menimpa dirinya. Seseorang menghampirinya dan berusaha membangunkannya, hingga tampak wajah hening tanpa kata menyeruak..... Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.... Leher pria itu retak tak mampu menahan tubuh sang kakek yang menimpanya tak sengaja. Ia pun pergi tanpa pesan sepatah kata pun....

====

Labbaik allahuma labbaik....labbaik alaa syarikkala labbaik....
Suara jutaan manusia berkumandang di seantero Masjidil Haram Mekkah, berkeliling Ka’bah, sebuah bangunan sederhana yang dibangun oleh Ibrahim ribuan tahun lalu. Sebuah bangunan yang dipersembahkan bagi Sang Pencipta. Hari ini jutaan umat Islam sedunia berkumpul di hari yang agung, hari yang bersejarah bagi para pendahulu dan mereka pengikutnya hari ini. Sebuah hari yang menggenapi kewajiban setiap umat yang beriman.

“Iman! Iman!,” terdengar suara seorang pria memanggil. Nyaris tak terdengar di tengah keramaian hiruk pikuk suasana tawwaf seputar Ka’bah. Pria yang dipanggil mendengar dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia sedang berdiri bermunajat kepada pemilik bangunan besar di hadapannya. Tak banyak orang berkerumun di sekitarnya, karena umumnya mengambil tempat yang lebih dekat dengan Ka’bah. Meskipun demikian dari tempatnya berdiri, pemandangan sangat jelas. Dilihatnya sebuah wajah yang entah sudah berapa lama tak dilihatnya. Wajah itu tersenyum lebar. Ia bergegas mendatanginya, sambil berusaha tidak mengganggu prosesi tawwaf umat lainnya.

“Iman! Lama sekali kita tak berjumpa! Alhamdulillah kita bertemu di sini!,” pria itu datang menyapa.

“Hai Sumantri, sahabatku! Kemana saja kau tak pernah mengunjungiku di Makassar! Masya Allah, sudah lebih dari 5 tahun kita tak jumpa,” Iman memeluk hangat sahabat lamanya ini.

“Sejak kapan kau tiba di Mekkah? Aku dan Lastri sudah satu minggu di sini. Kau berhaji bersama istrimu, Hafshah? Bagaimana kabarnya dia?”, tanya Sumantri bertubi-tubi.

“Alhamdulillah kami baik-baik saja. Mari kita bertemu esok hari, sudah lama juga pastinya Hafshah tak bertemu istrimu. Kamu ikut kloter rombongan Jakarta?”, balas tanya Iman.

“Ya benar Jakarta. Kami di maktab 476 daerah Misfalah. Kau dan Hafshah tinggal di maktab berapa dan daerah mana?,” tanya Sumantri dengan antusias.

“Kami di maktab 512, tidak jauh dari Misfalah. Kira-kira 300 meter. Bagaimana jika kami mengunjungimu esok setelah Subuh? Nanti kita bersama-sama ke Haram untuk waktu Dzuhur. Ada banyak yang bisa kita bicarakan. Aku juga tak punya nomor ponsel mu di Jakarta. Semua nomor teleponku hilang bersama ponselku satu tahun yang lalu di pelabuhan Makassar. Aku putus kontak dengan seluruh teman-teman lamaku di Jakarta,” tanya Iman.

“Aku tak membawa ponsel Jakarta ku. Kutinggal di rumah bersama anak-anak. Ya setuju besok pagi kita bertemu di tempatku. Kau tahu lokasi hotelku? Jangan lupa ajak Hafshah. Nanti Lastri akan kuberitahu. Ia pasti sangat gembira,” tanggap Sumantri.

“Ya, insya Allah kami tidak tersesat. Nomor maktabnya berurutan khan? Nanti akan kutemukan,” janji Iman.

Keduanya pun berpisah sambil bersalaman dan berpelukan. Sumantri pun melanjutkan tawwaf keliling Ka’bah, sementara Iman menyelesaikan do’anya dan menghampiri sudut persediaan air zam-zam. Seteguk gelas sejuk ia telan. Betapa menyegarkannya air zam-zam ini.

======

Hari sudah menunjukkan pukul 8 pagi di kota Mekkah. Suasana sekitar pemukiman jamaah asal Indonesia sudah ramai sejak usai Subuh. Para pedagang sibuk menjajakan barangnya, sementara jamaah berbagai negara sedang mengisi waktunya sebelum datangnya waktu Dzuhur. Sebuah pemandangan menakjubkan saat beberapa bangsa bertemu dan berinteraksi dalam aktivitas sehari-hari.

“Assalaammu alaikum.....,” sebuah suara menyapa. Iman dan Hafshah telah tiba di pekarangan depan sebuah hotel tanpa nama di sisi jalan raya. Sebuah papan bertuliskan nomor 512 tertera disana. Tak salah disinilah jamaah asal kota Jakarta bertempat tinggal selama musim haji.

“Wassalaammu alaikum....,” beberapa wanita asal Indonesia menjawab. Mereka baru saja tiba di teras depan hotel, usai berbelanja sarapan pagi.

“Apakah ini benar maktab 512?,” tanya Iman dengan ramah.

“Ya benar, ini maktab 512 Jakarta,” jawab seseorang di antaranya.

“Ibu kenal dengan pak Sumantri? Kami sahabatnya dari Makassar. Ada di lantai berapa ya beliau?,” tanya Iman dengan antusias.

“Sumantri? Seingat saya tidak ada tidak ada jamaah bernama pak Sumantri. Bapak yakin tidak salah nomor maktab?,” tanya Ibu itu kepada Iman dan Hafshah.

“Saya yakin benar, Bu. Kemarin saya bertemu beliau di Masjidil Haram. Atau mungkin beliau dari kloter berbeda?,” jawab Iman antara yakin dan ragu.

“Apakah disini ada yang bernama Ibu Lastri?,” tanya Hafshah memberanikan diri.

“Oh kalau Ibu Lastri ada. Ia ada di atas, lantai dua. Tapi ia berhaji sendiri, tanpa suami,” jawab wanita paruh baya itu.

Terheran wajah Iman dan Hafshah mendengar jawaban Ibu itu. Tapi mungkin saja Ibu ini keliru, dan mereka berdua pun melanjutkan naik ke lantai dua. Tampak sebuah ruangan cukup luas di lantai dua, dengan beberapa meja yang biasa digunakan untuk makan. Ada banyak jamaah Indonesia berkumpul disini, sekedar mengobrol dan sarapan pagi.

“Hafshah?,” terdengar suara seorang wanita memanggil. Hafshah menoleh ke arah suara dan tampak seorang wanita cantik datang menghampiri.

“Lastri! Alhamdulillah....kita bisa bertemu disini! Bagaimana kabarmu? Ini suamiku, Iman, masih ingat khan? Sudah lama sekali kita tak bertemu,” ucap Hafshah sambil merangkul erat Lastri dan memperkenalkan suaminya, Iman.

“Ya alhamdulillah aku baik-baik saja. Kamu berdua masih tinggal di Makassar? Bagaimana kalian tahu aku pergi haji juga dan tinggal di maktab ini?” tak henti-hentinya pertanyaan mengalir dari Lastri kepada sahabat lamanya ini.

“Aku kemarin bertemu Sumantri, suamimu, di Masjidil Haram. Ia yang pertama mengenaliku dan kami sempat mengobrol beberapa lama. Sumantri yang memberi tahu nomor maktab kalian dan mengundang kami datang kesini. Kemana Sumantri? Biasanya ia selalu tak jauh dari sisimu,” jelas Iman.

Mendengar penjelasan Iman, tampak wajah Lastri berubah pucat. Tidak lagi tampak senyum ceria tersisa. Terasa kedua telapak tangannya bergetar. Hafshah yang memegang kedua tangan Lastri merasakannya. “Lastri ada apa? Kenapa wajahmu pucat dan tubuhmu bergetar?,” tanya Hafshah. Iman pun menjadi bingung atas respon Lastri yang mengejutkan.

“Dimana kalian bertemu Sumantri? Tidak mungkin kalian bertemu dengannya. Kalian jangan main-main,” pucat wajah Lastri saat mengucapkan kata-kata ini. Terasa nada suara yang juga gemetar.

“DI Masjidil Haram. Kemarin. Lastri, ada apa? Ada apa dengan Sumantri? Dimana dia sekarang?,” tanya Iman dan Hafshah panik. Lastri nyaris terjatuh, jika Iman dan Hafshah tak segera memeganginya. Nyaris seluruh jamaah yang sedang berada di ruang tersebut juga terkaget dan mendekati Lastri. Tak lama Lastri pun mulai menangis.

“Sumantri meninggal dunia tiga bulan lalu. Ada kecelakaan kecil di sebuah masjid, di pinggir Jakarta. Saat itu hujan deras dan ia berteduh sambil menanti adzan magrib. Ia meninggal di tempat. Apakah kalian berdua tidak tahu? Aku pergi haji seorang diri. Padahal saat itu kami berdua sudah mendapat tempat pada haji tahun ini,” isak tangis Lastri tak tertahankan.

“Sumantri telah meninggal dunia? Tidak mungkin! Aku kemarin bertemu dengannya di Masjidil Haram! Kami berdiri sama dekatnya dengan kita saat ini. Tidak mungkin aku salah!,” hardik Iman tak percaya dengan penjelasan Lastri.

“Benar, Iman. Aku tak mungkin berbohong! Aku mencintainya lebih dari apa yang orang lain bayangkan. Kecelakaan itu begitu mengejutkan dan terjadi di dalam masjid! Di dalam masjid Hafshah! Tempat yang seharusnya paling aman di dunia ini. Mengapa Allah memanggil suamiku saat berteduh di rumah-Nya sendiri? Aku tak pernah mengerti,” Lastri masih menangis tak henti. Hafshah dan Iman tertegun tak tahu harus berucap apa.

“Lalu siapa yang kemarin aku temui? Aku tak mungkin salah, meski sudah lima tahun tak bertemu dengannya,” tanya Iman sambil bergetar tak mengharapkan jawabannya.

“Aku tak tahu dengan siapa kau bertemu kemarin, Iman. Tapi aku berani bersumpah demi Allah, suamiku sudah meninggal tiga bulan yang lalu,” jawab Lastri sambil menengadahkan wajahnya. Tak ada lagi senyum ceria di wajahnya. Hanya derai tangis air mata yang membasahi kedua telapak tangannya.

=======

Tiga hari telah berlalu sejak Lastri bertemu Hafshah dan Iman di pemondokannya. Selama tiga hari itu pula Lastri tak pernah berhenti menjalankan shalat lima waktu di Masjidil Haram. Dicarinya jawaban atas pertanyaan yang mungkin akan selalu disampaikan selamanya. Ia hanya bisa menatap hampa kerumunan orang yang shalat, tawwaf, dan sa’i di sekitar Ka’bah. Mengapa Engkau menuliskan takdir seperti ini kepadaku, ya Allah? Mengapa Kau begitu cepat memanggil suamiku kembali ke sisi Mu? Apa yang harus kulakukan tanpa dirinya?

Termenung Lastri duduk menatap putaran tawwaf dari entah sekian ribu jamaah mengelilingi Ka’bah. Di antara sekian banyak itu, nampak sesosok figur yang ia kenali dari kejauhan. Tidak terlalu jauh sebenarnya, sekitar 20 meter jaraknya. Sosok itu mengenakan dua helai kain ihram berwarna putih, berdiri mengarah ke Lastri, tak menghiraukan arus tawwaf para jamaah.
Lastri bergetar, jantung berdetak kencang, dan tak lama terasa air mata mengalir membasahi pipinya.

Tampak Sumantri berdiri tenang dan tegap, sambil tersenyum padanya. Tak dihiraukannya tubuh para jamaah yang melanggar dirinya sembari tawwaf. Ia hanya menatap wajah Lastri dengan tersenyum. Terlihat jelas tubuh Sumantri sedikit bercahaya, berpendar, tampak kontras dibanding arus para jamaah yang lalu-lalang. Bersih terlihat dirinya, seakan tak ada noda apapun pada tubuhnya. Berkali-kali Lastri mengusap air matanya dengan sapu tangan.
Hanya wajah penuh tanya yang bisa disampaikan Lastri. Ia tertegun tak tahu harus berkata apa. Sumantri hanya berdiri tak bergerak. Hingga akhirnya Lastri mengumpulkan tenaga untuk bangkit, dan ingin menghampiri Sumantri. Ingin Lastri memeluknya, meluapkan rindu.

Sumantri melambaikan tangan kanannya, tinggi ke arah Lastri. Tangannya melambai pelan, namun penuh semangat dan gelora. Bukanlah sebuah lambaian memanggil, namun lebih kepada pemberian salam. Saat Lastri bergerak ingin melangkah maju, didapatinya Sumantri tak lagi berdiri di tempatnya......

Surjorimba Suroto
Jakarta, 26 Agustus 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA