IN THE NAME OF GOD


Film Pakistan yang berjudul asli Khuda Kay Liye (2007) ini memotret berbagai peristiwa yang dialami umat Muslim, terutama seputar tragedi runtuhnya World Trade Center, NY, USA pada 9 Sept 2001. Meski sudah dirilis di Pakistan sejak 2007, Indonesia mendapat giliran di akhir 2010. Itupun hanya di beberapa bioskop saja, dan luput dari perhatian kebanyakan penikmat film.

Ada banyak alasan mengapa film ini saya rekomendasikan. Khuda Kay Liye mengambil setting di beberapa tempat di dunia, termasuk London, tapi kebanyakan seputar Pakistan. Ada tiga tokoh utama yang karakternya diobrak-abrik di film ini: Mansoor (diperankan oleh Shaan), adiknya Sarmad (Farwad Khan), dan sepupu perempuan mereka Mary/ Maryam (Iman Ali).

Alkisah Mansoor dan Sarmad adalah sepasang kakak-adik yang taat beragama (secara moderat) dan menjadi penyanyi populer di Lahore, Pakistan. Kehidupan mereka baik-baik, dan berasal dari keluarga baik-baik pula. Kedua orang tuanya pecinta musik, juga taat beragama. Namun nenek mereka tidak menyukai musik, karena menurutnya dilarang Islam.

Ayah kedua pemuda ini memiliki seorang adik yang tinggal di London, Inggris. Memiliki seorang anak gadis bernama Mary, dan ia hidup tanpa nikah dengan seorang wanita Kristiani. Ia jarang beribadah dan Mary-pun tidak dibesarkan dengan nilai Islam sejak wafatnya sang ibu. Selain itu Mary juga menjalin kasih dengan Dave, seorang pria Inggris beragama tidak jelas.

Ayah Mary mulai sadar akibat jauh dari ibadah, ketika mendapati Mary mencintai pria bukan Islam. Terdengar hipokrit memang, karena dirinya pun hidup tanpa nikah dengan seorang wanita Kristiani. Ia mengajak Mary ke Lahore untuk bertemu dengan keluarganya di sana, sambil melihat lebih dekat budaya Pakistani yang hilang dari kehidupannya. Di lain pihak Mansoor dan Sarmad juga menghadapi cobaan ketika panggung mereka dirusak oleh sekelompok umat Muslim yang menganggap musik adalah perbuatan dosa.

Sarmad mempertanyakan sikap Islam terhadap musik, dan ia bertemu dengan seorang ulama di masjid. Sarmad mendapatkan banyak pencerahan dari ulama tsb (diperankan secara gemilang oleh Rasheed Naz) dan mulai meninggalkan musik. Tepatnya: hingar bingar duniawi. Ia berganti penampilan dengan pakaian Arabik, menumbuhkan kumis dan jenggot, menutup rambut, menghindari kontak dengan keluarga, dan mulai bergabung dengan kelompok penentang budaya modern. Ia lebih sering tinggal di sebuah desa kecil, di perbatasan Pakistan-Afghanistan.

Rupanya Ayah Mary memiliki rencana khusus, dan menikahkan Mary dengan salah seorang saudara sepupunya. Ia melakukannya sebagai tebusan dosa atas segala perbuatannya yang tercela, dan tak ingin Mary mengulangi kesalahannya. Mansoor menolak pernikahan macam ini, namun Sarmad menyetujuinya. Mary dinikahkan secara paksa dan tinggal di desa terpencil bersama Sarmad dan puluhan pejuang Muslim penentang budaya Barat. Mansoor mencari kedamaian dengan melanjutkan pendidikan musik ke Illinois, USA. Disana ia berkenalan dengan seorang gadis teman sekelas, yang kelak bersimpati dengan ajaran Islam, jatuh cinta dan menikah dengannya.

Suasana menjadi kacau ketika World Trade Center, USA dihancurkan oleh dua pesawat terbang. Tuduhan bahwa umat Muslim berada di belakangnya menjadi bencana bagi Mansoor, Sarmad, dan Mary. Mansoor diculik oleh agen rahasia, dijebloskan ke penjara, diinterogasi dan disiksa, dipaksa untuk mengaku keterlibatannya dengan Osama bin Ladin. Sarmad yang sesungguhnya cinta damai, terpaksa ikut berperang gerilya ketika sang Ulama menyerang kepentingan-kepentingan Barat di perbatasan Pakistan-Afghanistan atas nama jihad. Mary tersiksa dengan kehidupan dan pernikahan paksa selalu berusaha melarikan diri. Ada adegan menyentuh ketika Sarmad terpaksa membunuh tentara Pakistan, yang sebelum wafat menyebut dua kalimat syahadat. Jika musuhnya juga Muslim, lalu sebenarnya apa tujuan peperangan ini? Penyiksaan Mansoor di penjara Federal USA juga membuat penonton merinding membayangkannya.

Film In The Name Of God (yang sebenarnya lebih tepat diterjemahkan sebagai For God’s Sake) membawa penonton mengikuti secara rinci langkah demi langkah, dialog demi dialog, gambar demi gambar. Sutradara/ penulis naskah Shoaib Mansoor benar-benar rinci melakukannya, dan bagi saya termasuk melelahkan karena seharusnya bisa dibuat lebih singkat. Tidak perlu setiap pesan disampaikan dengan dialog eksplisit. Biarkan gambar yang berbicara. Alhasil film ini berlangsung sangat lama. Ada beberapa dialog dengan bahasa English, selain Urdu sebagai bahasa utama. Namun akting para pemeran film dengan bahasa English terasa hambar dan tanpa ekspresi. Berbeda ketika dialog bahasa Urdu, yang akting nya sangat bagus.

Film bagi saya menjadi sangat menarik ketika Mary berhasil lolos dari desa, dan menuntut ke pengadilan. Ia yang yakin tak bersalah dan menjadi korban penindasan lalu mendatangi Maulana, seorang ulama terpandang di negerinya dan diperankan secara brillian oleh Naseer Uddin Shah. Maulana tidak memenuhi panggilan pengadilan sebagai saksi ahli, karena menganggap kasus ini tak ada gunanya. Mary memarahinya dan berkata,”Kelak saya akan mengatakan kepada Allah SWT, bahwa Anda selalu memiliki waktu untuk shalat, namun tak pernah menyediakan waktu untuk menolong manusia yang tak bersalah!”

Kesaksian Maulana sebagai ahli di hadapan pengadilan yang mengagumkan. Ada tiga hal yang ditanyakan oleh pengadilan. Sayang topik jihad tak termasuk yang ditanyakan, mungkin karena tiga hal ini yang terkait dengan kasus Mary:

Mary memiliki hak penuh menyetujui pernikahannya, meski ayahnya bertujuan baik. Seorang sahabat Rasulallah pernah mendatanginya sambil mengadukan tentang pernikahan paksa dengan laki-laki bukan pilihannya. Rasulallah langsung membatalkan pernikahan tersebut, dan sang sahabat diizinkan mengajukan cerai kepada suaminya. Mary pun tidak perlu sepenuhnya tunduk pada hukum Islam, karena ia tak pernah dididik secara Islam oleh orang tuanya, dan tidak beribadah sesuai aqidah Islam.
Tidak ada pakaian yang disebut sebagai pakaian Islami, karena Islam hanya mengatur prinsip-prinsip pakaian yang baik dan benar. Akan menjadi konyol ketika seorang pemeluk Islam di daerah dingin diwajibkan memakai pakaian a la Pakistani yang tidak sesuai dengan budayanya. Hal itu juga berlaku dengan pemeliharaan jenggot, karena itu hanya dianjurkan. Keimanan seseorang tidak diukur dari pemeliharaan jenggotnya.
Musik tidak dilarang oleh Islam, karena itu bertentangan dengan anugerah yang diberikan Allah SWT kepada para Rasul-Nya. Musik tidak dianjurkan jika ia menyebabkan umatnya menjauhi ibadah. Dari ke-25 Nabi yang disebut dalam Al Qur’an, ada 5 Nabi yang mendapatkan keistimewaan: Muhammad SAW dengan Al Qur’an, Isa AS yang menghidupkan orang mati, Ibrahim AS yang selamat dari kobaran api, Musa AS yang membelah laut Merah, serta Daud AS dengan keindahan suaranya. Bagaimana mungkin Allah SWT melarang keindahan suara (maksudnya musik), jika ia menganugerahkannya kepada salah seorang manusia terpilih?

Film ini memberi banyak gambaran tentang Islam, baik gambaran yang baik maupun yang tidak baik. Ceramah Maulana di hadapan pengadilan membuka wawasan, bahwa Islam harus dipahami secara utuh serta akal sehat. Memahaminya sepotong hanya akan membuat pemeluknya menjauhi nilai-nilai yang sesungguhnya.

Mumpung film nya masih diputar, buruan sana nonton!
http://www.inthenameofgod.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA