DUA KOTA, KERETA API, DAN SECARIK KERTAS

Diadaptasi dari kisah nyata

“Kursi ini kosong?”

Aku terhenyak menoleh kepada sang pemilik suara. Seorang gadis cantik berdiri di koridor gerbong, di samping bangku aku duduk. Aku tidak tahu apakah tempat di sampingku ini ada penumpangnya atau tidak. Yang pasti aku seorang diri, dan nomor kursiku di sisi jendela. Biasanya memang aku meminta nomor kursi di samping jendela. Bukan karena ingin menikmati pemandangan. Hanya saja aku tidak suka jika bahuku harus bersenggolan dengan semua orang yang lalu lalang di koridor kereta api.

“Ya, kursi ini kosong,” begitu jawabku singkat, sambil melepaskan earphone iphone-ku. Kuputuskan saja kursi ini kosong, karena kereta api sudah melewati stasiun Jatinegara. Semua penumpang sudah duduk manis di kursinya masing-masing. Kecuali gadis ini. Ia tak banyak berkata setelah mendengar jawabanku. Ia segera duduk, sambil memangku tas kecilnya. Bukan ransel, hanya tas selempang berukuran sedang.

Kupandangi kursi di seberang, yang juga sebenarnya kosong satu kursi. Menempel di jendela adalah seorang asing berwajah pucat. Ia sudah tertidur. Hhmm... mungkin gadis ini tidak ingin duduk berdampingan dengan pria bule itu. Lucky me.

Kunikmati terus membaca komik Fables: 1001 Nights of Snowfall. Kisah petualangan Snow White ini benar-benar seru. Suaminya sang Pangeran harus mengusut pembunuhan berantai yang melibatkan bangsa kurcaci. Ketika akhirnya jatuh korban ke-7 di sebuah gubuk di tengah hutan dan ludes terbakar, Pangeran yakin pembunuhan sudah berakhir. Namun ia mencurigai istrinya, Snow White. “Dahulu kamu tidak mau bercerita, apa yang kau lakukan di tengah hutan saat kutemukan kamu mati suri?,” tanyanya kepada istrinya. Snow White dengan wajah dingin sambil tersenyum menjawab datar,”Bukankah Paduka dulu berjanji, tidak akan pernah menanyakan masa laluku? Saya mohon Paduka tetap memegang janji itu.” Sejak itu Pangeran selalu curiga akan kejujuran Snow White.

Aku sangat menikmati Fables: 1001 Nights of Snowfall ini. Menurutku inilah komik terbaik yang pernah kubaca dalam beberapa tahun terakhir. Tak ada yang cacat dalam komik ini.

Saat akan kulanjutkan ke bab berikutnya, tentang cobaan yang dialami Pangeran Katak, baru kuingat akan gadis yang duduk di sampingku ini. Ia hanya duduk sambil membaca koran. Hhmmm...tekun sekali nampaknya. Terlihat dari samping gadis ini terlihat cantik. Rambutnya hitam gelap, lurus, dengan panjang sebahu. Warna kulitnya putih dan berwajah oriental. Hidungnya lancip dan kecil. Alisnya tebal. Wow, tak kusangka aku meneliti penampilan gadis ini secara seksama. Mana pernah aku peduli sebelumnya dengan orang yang duduk di sampingku? Entah dia laki-laki atau perempuan. Aku selalu tenggelam dengan buku bacaan, dan earphone yang menempel di telinga. Atau biasanya aku tidur. Kembali aku sibuk melanjutkan kesibukanku, yaitu baca komik. Namun belum juga selesai satu halaman, aku terusik.

“Jalan-jalan ke Bandung, atau pulang ke Bandung?” kubuka pembicaraan dengannya.
“Pulang ke Bandung,” jawabnya singkat.
“Sendirian saja?,” tanyaku lagi.
“Ya,” lagi-lagi jawaban singkat.

Yah begitulah. Pertanyaan singkat, jawabannya pun singkat. What would you expect? Hingga pada akhirnya datang pak kondektur.

“Mohon maaf, karcisnya,” begitu permintaannya kepada kami, saat ia berhenti di samping kursi. Kuberikan karcisku padanya, sambil melepaskan earphone. Setelah ia mengamati singkat, ia membolongi karcis dengan alat mungilnya itu. Lalu giliran gadis cantik ini. Pak kondektur mengamati sebentar karcisnya,”Maaf mbak, karcis mbak tidak tertulis nomor kursi. Ini karcis berdiri.”

Aku sudah melihat gelagat gadis ini panik dan sebelum ia sempat menjawab,”Kursi ini tidak ada penumpangnya, pak. Dan kebetulan saya bertemu teman saya ini. Kasihan jika dia harus berdiri sepanjang perjalanan. Bukan begitu, pak?” Bapak kondektur hanya memandangi kami, lalu mengangguk dan membolongi karcis. Dikembalikannya kepada si gadis. “Terima kasih,” begitu ucapnya. Masih pula nadanya datar dan tidak banyak senyum. “Sama-sama,” sahutku. Akhirnya kini aku punya bahan pembicaraan!

“Apa berita hari ini? Sepanjang hari saya tidak sempat membaca koran. Ada berita yang menarik?” tanyaku pura-pura penasaran.
“Ngga banyak. Seperti biasa kasus penggelapan pajak, video porno artis, kemacetan kota Jakarta, inflasi harga bahan kebutuhan, dan juga pengrusakan rumah oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama,” jawabnya. Dan kini ia berbicara dengan nada yang lebih ramah. Wajahnya kini terlihat lebih jelas.

Ah, cantiknya gadis ini! Ia hanya mengenakan kemeja putih casual, dan celana jeans biru muda. Tak ada perhiasan yang menyolok, kecuali sebuah jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. Berbentuk bulat dengan terbalut kulit warna coklat. Ah...serasi sekali. Di jari manis kanannya juga ada sebuah cincin melingkar dengan batu merah ruby. Wah, desainnya pun bagus!

Aku meminjam korannya dan ikut membaca. Tepatnya pura-pura membolak-balik halaman, sementara aku sebenarnya tak tertarik. Koran hari ini sudah kubaca di rumah, tadi pagi. Ya, aku berbohong. Habisnya, mau bicara apa lagi? Tidak ada ide! Sambil ku membolak-balik halaman, ia meminjam komik Fables-ku. Sekelebat ia melihat seluruh halaman.

“Ini buku apa? Komik?” tanyanya. Dengan semangat kuceritakan ringkasan buku ini. Bagaimana tokoh-tokoh dongeng dikembangkan dan dirombak kisah hidupnya. Contohnya tentang Snow White itu. Tampak dari wajahnya ia tertarik mendengarkan, dan sesekali ia bertanya. Wah, jarang sekali ada perempuan tertarik pada komik nyentrik seperti ini! Biasanya teman-teman perempuanku yang lain memandang sinis usaha perombakan karakter dongeng.

Perjalanan Jakarta-Bandung akhirnya menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan. Ia bertanya apa tujuanku ke Bandung, di mana ku berasal, apa kerjaku, kegemaranku baca komik, bahkan musik yang kudengar di iphone. Tidak disangka ternyata banyak juga pertanyaan darinya. Aku pun berhasil mengorek beberapa data tentang dirinya. Mulai dari alasan dia ada di Jakarta, kegiatan dia di Bandung, dan seterusnya. Rupanya ia gadis yang berkepribadian menarik, dan ramah. Berbeda sekali dengan sikapnya di awal perjalanan. Kami pun saling meng-approve request friend di Facebook. Hhmm...tidak ada mutual friend. This should be very interesting. Tak terasa perjalanan kereta api selama tiga jam akan berakhir. Tanda-tanda kota Bandung sudah terlihat.

“Kapan-kapan saya boleh main ke rumah? Siapa tahu saya lewat sekitar rumahmu,” pintaku padanya. Ia pun menuliskan pada secarik kertas, alamat rumahnya. “Nomor telepon ada?” tanyaku penasaran. Ia hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaanku.

Tak lama setelah kereta api berhenti di stasiun Kebon Kawung Bandung, kamipun mengucapkan kata berpisah dan melangkah ke arah yang berlawanan. Sebelum ia menghilang dari pandangan, kukatakan dalam hati,”Kelak kita akan bertemu lagi.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA