KM 80

Adapted from true story


Lelah dan penat seluruh badanku malam ini. Berbagai urusan seputar komik di Jakarta memang melelahkan, sekaligus menyenangkan. Hari ini tuntas sudah beberapa pertemuan penting. Mulai dari kerja sama dengan penerbit, beberapa komunitas, hingga silaturahmi. Ya benar lelah dan penat, tapi aku sangat bahagia. Dunia komik selalu membuatku bahagia. Tidak sekedar penyaluran hobi, tapi juga sebagai penyaluran aspirasiku. Alhamdulillah sebagian di antaranya menghasilkan uang.


Meski ada beberapa jasa taksi bereputasi baik, aku biasanya menggunakan jasa taksi Z untuk rute Jakarta-Bandung. Tidak hanya mobilnya terawat dengan baik, namun juga pada perilaku supirnya dan manajemen Z yang profesional. Mereka selalu memberi perhatian lebih pada pelanggan setianya. Termasuk aku, seorang gadis yang, mungkin di mata mereka, salah satu pelanggan setianya. Heheh…. Yah begitulah diriku.


Taksi sudah siap berangkat, dan aku sudah duduk manis di dalamnya. Sengaja kupilih baris ketiga dari depan, agar dapat tidur tak terganggu. Menurut petugas, tak ada penumpang selain aku pada keberangkatan terakhir malam ini. Hingga lima menit berlalu, tak ada penumpang lain. Tidak biasanya memang, mungkin ini kebetulan. Anggap saja ini malam keberuntunganku, karena tidak harus merasakan bau keringat campur-aduk dari penumpang lain.


Pak supir sudah naik dan siap di balik kemudi. Perawakannya rapi dan bersahaja. Sebenarnya penampilan seperti ini memang standar kualitas para pengemudi. Agar tercermin pelayanan yang baik. That’s one of the many I loved most!


“Assalaamu alaikum, neng,” begitu ucapnya padaku.

“Wa alaikum salaam, pak,” balasku sambil tersenyum dan kepala bersandar ingin tidur.

“Ka Bandung nyalira, neng?,” tambahnya.

“Sumuhun, pak,” kembali balasku.

“Punten, neng. Neng, bade pindah ka payeun? Ngabaturan abdi ngobrol,“ begitu pintanya.


Well, menurut saya boleh-boleh saja. Why not? Kasihan juga Bapak ini, jika dia nyupir sendiri tanpa teman ngobrol. Perjalanan ke Bandung, khan, lumayan jauh. Kira-kira 2 jam dengan perjalanan santai melewati jalan tol Cipularang. Jadilah saya pindah ke depan, samping supir. Hanya satu buah ransel, tidak begitu repot memindahkannya.


Hanya butuh sekitar 15 menit maka kamipun sudah memasuki jalan tol Cipularang. Hari sudah larut, dan arlojiku sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB. Pak supir menyalakan radio dan lagu-lagu slow era 80-an terdengar. Tentunya pak supir ini dibesarkan pada era tersebut, pikirku. Aku sendiri mengenali beberapa lagu, meski aku dibesarkan generasi 2000-an.


Pak supir rupanya mengerti diriku yang dilanda lelah dan mata mengantuk. Meski demikian aku sulit tidur. Kursi samping supir ini tidak bisa dimundurkan maksimal. Beda memang kursi reclyning ini. Yah nasib.....


Dalam perjalanan yang gelap dan mata yang mulai nanar ini, tiba-tiba kuperhatikan pak supir mematikan radio. Lho? Padahal lagu Somewhere Out There sedang diputar. Lagu favoritku! Ia tak berbicara atau menoleh padaku, saat mematikan radio. Setelah itu ia menurunkan kaca spion. Hhmmm…aneh. Bukankah kini ia sulit melihat kondisi belakang mobil? Tapi aku tak bertanya apa-apa. Kupandangi pembatas jalan tol, yang kebetulan terlihat sambil kupandangi pak supir. Sudah mencapai km 80.


Ketika kuperhatikan lagi pak supir, ada yang aneh pada wajahnya. Terlihat tegang dan gelisah, tapi ia tetap mengemudi dengan tenang dan kecepatan yang wajar. Terkadang matanya menatap kaca spion yang sudah diturunkan tadi. Apakah refleks? Aku tak tahu.


Entah sejak kapan, tapi baru kusadari ada yang aneh pada diriku. Jantung berdebar dan bulu-bulu di lenganku terasa sensitif. Mungkinkah ini karena udara dingin? A/C terasa cukup sejuk, dan tidak mengganggu. Lalu ada apa?


Aku hampir secara spontan menengok ke arah bangku belakang, saat pak supir juga secara spontan mengangkat tangan kirinya dari sisi kemudi. Aku terhenyak melihat gerakannya. Ia hanya menolehkan sedikit wajahnya dan menatapku, tak bicara apa-apa. Bibirnya pun tak bergerak. Hanya wajah yang tegang terlihat. Aku kembali duduk menghadap ke muka. Sambil merasa tidak nyaman. Ada apa ini?


Mobil terus melaju seperti biasa, dan banyak mobil mendahului. Pak supir tidak seperti pada awal perjalanan, sering mendahului kendaraan di depannya. Kini ia sering membiarkan kendaraan lain melaju, meski di hadapan kami tidak ada kendaraan lain. Hingga akhirnya ada sebuah kendaraan besar berjalan lambat dan kami menjaga jarak di belakangnya. Pada saat itulah lampu jalan yang terang menyinari jalan tol, dan juga mobil kami. Sedikit cahaya memantul dari kaca depan, dan juga sedikit menyinari bagian dalam mobil. Saat itulah aku menyadari di bangku belakang kami ada penumpang ketiga selain kami.


Jantungku berdegup semakin kencang, dan perasaanku campur aduk. Aku tak berani menengok ke belakang. Aku bahkan tak berani melirik ke arah pak supir! Tanganku berpangku memeluk erat tas ransel dan kini kedua telapak kakiku terasa dingin. Ya Tuhan, apa yang sedang kualami ini?! Tiap detik terasa seperti seabad!

Entah berapa menit kami melaju, hingga akhirnya pak supir memperbaiki posisi kaca spion dan ia mulai melihat cermin kaca spion. Perlahan radio ia hidupkan, meski dalam volume rendah. Sekitar 5 menit kemudian baru ia berbicara. Kini kuperhatikan wajahnya mulai tenang.


“Biasa neng, jika malam sering ada mengganggu,“ begitu saja ucapnya.


What did you say? I could freeze to die, you know? Omaigat!!!! Tadi itu apa? Ya Allah....

Konon makhluk tadi seorang perempuan muda cantik, berpakaian kebaya berwarna merah. Dan biasanya ia hadir malam hari di km 80-an. Tidak menganggu secara aktif memang, hanya duduk mengikuti perjalanan. (Tidak mengganggu, kiss my @**!). Ini rupanya alasan ia memintaku pindah duduk di depan. Agar tidak melihat perempuan itu!


Sejak peristiwa tsb, aku tak pernah pulang ke Bandung dengan taksi keberangkatan terakhir....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA