SUATU HARI KELAK GILIRAN SAYA BUTUH PERTOLONGAN

Seorang sahabat mengeluh tentang suaminya yang sering tidak sesuai harapannya. Dalam hal kedewasaan dan tanggung jawab selaku kepala keluarga, maksudnya. Sulit bagi saya untuk memberikan komentar, karena saya mengenal keduanya sangat baik. Sesungguhnya saya juga tak tertarik dan tak punya nyali untuk mengomentari rumah tangga orang lain, karena saya pun tidak sempurna. Namun ia telah datang dan meminta saran. Bagi saya ini suatu amanah, karena ia percaya saya bisa memberikan saran yang bijaksana.

Saya ingat sebuah kisah, yang saya tidak ketahui apakah berlatar suatu hadits shahih atau tidak. Namun makna di dalamnya sangat masuk akal.

Sering kali seseorang yang taat beribadah dan tak pernah lepas dari keimanannya percaya kelak ia akan menjadi penghuni surga. Ia berpendapat demikian, karena mampu menahan godaan dari lingkungan yang menurutnya tidak baik. Katakanlah tersesat atau tercela. Namun sesungguhnya ia akan menjadi salah satu orang pertama yang masuk neraka. Mengapa? Karena ia hanya memikirkan dirinya sendiri, dan tidak berusaha untuk mengajak lingkungannya meninggalkan perbuatan tercela dan kembali ke jalan yang benar.

Saya lama memikirkan kisah ini, tak menemukan maknanya, hingga teringat dengan kisah para Nabi. Semuanya diutus ke muka bumi, atau tepatnya dipilih oleh Allah SWT, untuk mengingatkan masyarakat sekitarnya untuk kembali ke jalan Allah SWT. Coba ingat baik-baik. Mulai dari Nuh, Musa, Ibrahim, Yusuf, Hud, hingga Isa dan Muhammad SAW. Semuanya punya tugas yang sama: mengajak masyarakat sekitarnya kembali ke jalan yang benar. Para Nabi ini bertugas sebagai agen perubahan.

Kini kisah tsb menjadi masuk akal. Kita sebagai manusia yang merasa (mudah-mudahan yakin) memiliki pengetahuan lebih, keimanan lebih baik, dan lainnya punya kewajiban yang sama. Mengingatkan dan mengajak masyarakat sekitar untuk meninggalkan kehidupan yang tidak baik tsb.

Lalu siapa yang dimaksud masyarakat sekitar? Jika Anda seorang pemimpin negara, maka masyarakat adalah rakyat negara tsb. Jika Anda seorang direktur, maka masyarakat adalah semua karyawan perusahaan. Jika Anda seorang suami atau istri, maka masyarakat adalah pasangan hidup dan anak-anak Anda.

Kembali kepada curahan hati sahabat tsb, saya menyampaikan kisah tsb serta pesan moralnya. Adalah tugas dia sebagai seorang istri untuk membimbing suaminya, meski sebaiknya yang terjadi adalah sebaliknya. Bukakanlah pintu baginya dan tunjukkan jalan yang benar. Jika belum cukup, bimbinglah ia berjalan dan memilih jalan yang benar di antara sekian banyak jalan yang ada. Kelak tanpa disadari, mereka berdua akan bergandengan tangan, bersama-sama memilih mana jalan yang benar.


Seorang sahabat lain bercerita ia sedang gundah. Dihakimi secara sepihak oleh rekan-rekannya karena perilakunya yang mudah terpancing emosi saat berkomunikasi di dunia maya. Terbersit keinginan untuk memutus komunikasi dunia maya. Saat itu saya hanya bisa memberikan nasehat dan kekuatan moral. Tak bisa memecahkan masalahnya, karena memang saya tidak terlibat apapun.

Alat komunikasi dunia maya di mata saya tak ada bedanya dengan sebilah pisau. Ia dapat digunakan untuk meringankan pekerjaan kita, ia juga dapat digunakan untuk mencelakakan. Bisa berbuat kebaikan, dan bisa untuk keburukan. Namun sebilah pisau tsb tak memiliki kendali atas dirinya sendiri. Yang memiliki kendali adalah manusia yang menggunakannya. Pisau tsb tidak bisa dipersalahkan atas korban yang dicelakakannya.

Hanya itu nasehat yang bisa saya berikan. Alat komunikasi maya hanyalah sebuah alat, tak beda dengan sebilah pisau. Adalah manusia sebagai pengguna yang menentukan fungsinya. Jika kamu yakin dapat menggunakannya untuk kebaikan, maka peliharalah alat komunikasi tsb sebagai corong suara kebaikan. Jika tidak yakin, maka hentikanlah penggunaan alat komunikasi tsb.


Seorang sahabat lain mengalami kesedihan yang hebat, saat beberapa rekan mengejeknya sebagai seorang yang ’tidak laku’. Alias perawan tua. Sebenarnya di mata saya ia baik-baik saja, dan tidak tua-tua amat. Namun tak menyangka betapa hebatnya dampak ejekan itu terhadap rasa percaya dirinya.

Kapan sih saatnya kita bertemu dengan jodoh kita? Atau bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita telah bertemu jodoh kita? Sebuah misteri Allah SWT. Namun saya punya pemikiran tambahan perihal tsb.

Seseorang akan tahu ketika ia bertemu dengan jodohnya, atau orang pilihan Allah SWT untuknya, ketika kehadiran orang tsb mampu menjadikannya manusia yang lebih baik. Tidak selalu ia yang mengubah diri kita. Ada kalanya kehadirannya memicu motivasi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik dari kemarin. Sahabat itu bertanya,”Kapan dan bagaimana caranya?” Saya hanya menjawab,”Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang bisa menjawabnya pada saat kamu bertemu orangnya.”

Sikap rekan-rekan yang mengejeknya adalah suatu sikap tercela, ya benar, karena merasa lebih baik dari sahabat tsb. Umumnya mereka sudah menikah, atau menjelang menikah. Bisa jadi mereka percaya bahwa mereka lebih ’agung’ dibanding sahabat saya tsb. Entahlah. Mungkin saja benar, saya tidak tahu. Namun satu hal yang dapat dilihat, mereka itu tidak menjadi manusia yang lebih baik setelah menikah. Jika benar itu keadaanya, semoga sahabat tsb memaafkan kekhilafan mereka. Semoga juga para pasangan hidup mereka cepat sadar akan kekurangannya, dan segera mengajak mereka untuk memperbaiki diri.


Terkadang ingin mengatakan bahwa saya bukanlah tempat terbaik untuk dimintakan pendapat. Mengapa? Karena saya juga manusia yang tak luput dari kesalahan. Saya pun memiliki masalah, jauh terpendam yang tidak diketahui orang. Mungkin suatu hari kelak saya yang tak berdaya dan membutuhkan pertolongan.

wassalaam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA