ARSWENDO ATMOWILOTO: SEBUAH MEMOIR

Hari Jum’at sore (19 Juli 2019) menjadi hari duka bagi Indonesia: Budayawan Arswendo Atmowiloto meninggal dunia setelah mengalami sakit kanker prostat berkepanjangan. Memoir bermunculan di wall FB teman-teman saya, berbagi kenangan bersama almarhum. Butuh waktu buat saya untuk bisa menuliskan betapa besar peran mas Wendo (begitu ia biasa dipanggil) dalam pembentukan siapa diri saya sekarang.




Pertama kali saya mengetahui sosok beliau melalui karya-karyanya. Adalah di tahun 1977 sosok itu muncul dalam hidup saya melalui Majalah Hai. Kala itu beliau menjadi redaksi majalah yang menjadi bacaan remaja (umumnya remaja pria). Saya sendiri belumlah remaja. Hanya seorang bocah berusia 8 tahun yang numpang baca Majalah Hai di perpustakaan Masjid Sunda Kelapa usai sekolah. Masa itu saya bersekolah di SD Kepodang yang hanya berbatas pagar dengan masjid. Ngga lama setelah pertama membacanya, alm Ibu menyetujui permohonan berlangganan Majalah HAI. Karena itulah saya punya lengkap sejak edisi pertama tahun 1977 hingga berhenti berlangganan tahun 1986. Semua itu masih tersimpan baik hingga hari ini.




Dalam Majalah HAI masa itu mas Wendo memuat dua karyanya, Kiki dan Komplotannya, serta Imung. Di antara keduanya Imung itu yang paling saya gemari. Remaja cowok dengan seragam lusuh SMP, tinggal berdua bersama ayahnya di rumah sahabat ayah yang seorang perwira polisi. Dalam kesehariannya ia kerap membantu kasus-kasus polisi dengan cara & pemikiran yang sederhana. Sering kali out of the box, terkadang turun ke lapangan, dan pada era awal ia sering dibantu sahabat sekolahnya, Helena. Imung juga kerap membantu penyelidikan polisi bersama Kolonel Suyatman, Mayor Simanjuntak dan, dengan siapa ia berlibur ke Hawaii dalam Kutunggu Di Pinostiner, Kapten Situmeang.

Gaya cerita & pembangunan karakter Imung sangatlah unik. Sulit untuk mendeskripsikannya dan Anda harus baca sendiri. Imung Si Detektif Cilik terus tampil di lembaran Majalah HAI hingga tahunan berikutnya. Belakangan kompilasi kisah Imung diterbitkan secara terpisah. Puluhan tahun berikutnya tanpa dikira saya akan ‘bertemu’ lagi dengan Imung, yang akan saya kisahkan nanti.




Di tahun kedua Majalah HAI, terbitlah secara bersambung komik roman sejarah Mahesa Rani. Mengambil setting waktu di akhir masa Singasari (1292) dan awal berdirinya Majapahit. Mahesa Rani adalah karya kolaborasi Arswendo Atmowiloto dengan komikus Teguh Santosa. Saya selalu kesengsem dengan coretan garis Teguh yang membuat Rani tak sebatas gadis cantik, namun juga lembut tapi perkasa, pendiriannya teguh dan keras kepala, serta sifat judes yang jelas terlihat dari kerling matanya. Apalagi saya juga suka sejarah dan jadi mengerti sedikit tentang Singasari dan Majapahit. 




Tahun-tahun berikutnya saya kurang mengikuti kiprah mas Wendo, meski tentu saja tahu serial televisi Keluarga Cemara, buku tips Mengarang Itu Gampang, novel Senopati Pamungkas, dan terakhir Tabloid Monitor di mana mas Wendo tersandung kasus yang membuatnya dipenjara. 




Pertemuan pertama dengan mas Wendo di tahun 2013. Tiga puluh empat tahun setelah mengenal karya-karyanya. Hari itu peluncuran buku Mahabharata (Teguh Santosa) yang bekerja sama dengan Sate Khas Senayan. Mahabharata ini merupakan cetak ulang dari serial komik yang sebelumnya terbit di Majalah Ananda. Acara bertempat di FX Sudirman Jakarta, dengan menampilkan mas Wendo selaku narasumber dan saya sebagai moderator acara. Pada kesempatan itu mas Wendo menandatangani beberapa novel Imung saya, termasuk Kutunggu di Pinostiner.




Kedekatan saya dengan Imung tak berhenti di situ. Suatu hari Ardi Yunanto menghubungi saya untuk melacak serial Imung di Majalah HAI dan memindainya. Ardi ingin menerbitkan ulang novel Imung (belakangan terhenti terbit setelah 4 buku). Pada proyek buku ini Ardi juga minta bantuan Andi Siregar, Hikmat Darmawan & Dinasari Soekmono, selain tentu saja mas Wendo. Bahkan beliau menulis beberapa kisah petualangan Imung baru untuk diterbitkan. 




Ketika kelak penerbit tak melanjutkan Imung, Ardi berbaik hati mengirimkan seluruh salinan Imung, termasuk karya baru dari mas Wendo. Kini saya bisa membaca seluruh serial Imung melalui e-book.


Selamat jalan, mas Wendo.... terima kasih telah memberikan Imung sebagai sahabat petualangan kami. Juga menginspirasi banyak dari kami bahwa mengarang itu sesungguhnya memang mudah.


Surjorimba Suroto 




Komentar

  1. Kl gw masih ngikutin kiprah mas Wendo melalui cerita bersambungnya di harian kompas dg nama samaran Titi Nginung. Yg gw rutin baca itu adalah Opera Bulutangkis dgn tokohnya Bajang Kirek dan 22-1-19 ttg sepakbola. 2 kisah tadi lebih singkat dari karyanya yg lain ttg dunia tinju yaitu Opera Jakarta yg smpat dibuat film-nya.

    BalasHapus
  2. Pak Surjorimba, kenalkan nama saya Winarto, dan saya juga penggemar karya Arswendo, terutama Imung. Saya sudah baca Imung terbitan lama yang sampai Kupu-Kupu Bermahkota. Saya ingin tahu, apakah setelah kisah terakhir di Kupu-Kupu Bermahkota (Harta di Dalam Karung), Arswendo masih sempat menulis lagi karya lain dengan tokoh utama Imung? Kalau pak Surjorimba bisa menuliskan urutan judul kisah Imung, saya akan senang sekali (tapi pasti memakan banyak waktu...).
    Sama apakah mungkin untuk membeli karya Imung dalam bentuk elektronik? Waktu novel Imung di rilis ulang, saya sudah ada di Jepang, jadi susah untuk memperoleh hardcopynya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal, mas Alchemizt!

      Ternyata banyak sekali teman penggemar Imung. Senang sekali mendengarnya! Imung dicetak ulang oleh Gagas Media seingat saya hanya sejumlah 4 buku. Sayang tidak berlanjut.

      Softcopy Imung sedang saya cari juga versi lengkapnya. Nanti saya kabari.

      Begitu pula ttg daftar judul. Setahu saya seorang teman menyusunnya. Akan saya kabari juga.

      Tinggal di Jepang di kota apa? Beberapa kali saya ke Jepang. Seharusnya Mei lalu saya ke Tokyo tapi batal karena covid. Semoga kita bisa bertemu nanti.

      Mohon japri/ DM ke: surjorimba@gmail.com agar kita bisa ngobrol offline. Thx

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA