GEMURUH PROTES SOSIAL DARI KONSER REUNI SIRKUS BAROCK



Graha Bakti Budaya, TIM Jakarta, 20 Mei 2011

”Semua lagu lama masih relevan hingga kini. Buat apa bikin lagu baru.”

Begitu respon Sawung Jabo saat menjawab celetukan penonton di tengah-tengah penampilannya bersama Sirkus Barock, band bentukannya sejak 1976. Jawaban itu terdengar seakan lelucon, namun bagi yang paham latar belakang kelahiran setiap lagu Sirkus Barock tentunya mahfum bahwa Jabo tidak sedang berkelakar.

Jum’at (20/5) di hadapan sekitar 1000 penonton, padahal kapasitas duduk Graha Bakti Budaya sebanyak 800 kursi, Jabo membuktikan ucapannya. Nyaris semua kritik setiap lirik, termasuk karya yang ditulisnya bersama Swami, Kantata Takwa, Dalbo, dan lainnya, memang masih menggambarkan kondisi hari ini.

Mari sejenak perhatikan lirik Bongkar:
” Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan”

Lagu yang ditulis Jabo bersama Iwan Fals semasa band Swami (1989) ini lahir di tengah era yang sarat dengan tekanan dan supremasi penguasa. Jika pada saat itu kesengsaraan terasa secara fisik, maka hari ini ia hanya beralih bentuk. Tusukannya tetap terasa hingga sanubari. Penonton pun, yang dari perawakannya dapat ditebak ikut besar bersama Bongkar, masih menjadikannya sebagai anthem sebuah era dan generasi yang tertekan.

Bongkar hanyalah satu dari sekian belas karya yang diusung Sirkus Barock pada malam peringatan Hari Kebangkitan Nasional itu. Sejak pertama tampil di bawah sorot lampu, Sirkus Barock sudah membius dengan lagu pembuka yang puitis dan teatrikal. Selain didampingi Totok Tewel, Jabo ditemani oleh sepasukan wajah baru yang masih muda dan enerjik. Wajah-wajah inilah generasi penerus corong nurani masyarakat. ”Tidak usah jadi politikus. Kita bermusik saja,” canda Jabo namun bermakna dalam. Itulah yang dilakukan dalam konser sepanjang nyaris dua jam: menyuarakan aspirasi melalui musik.

Penonton semakin meledak saat Jabo menjawab keinginan penonton dengan Hio. Mari kita simak:

“Aku tak mau terlibat persekutuan manipulasi
Aku tak mau terlibat pengingkaran keadilan
Aku mau jujur jujur saja
Bicara apa adanya
Aku tak mau mengingkari hati nurani”

Tak usah heran jika Sirkus Barock membawakan katalog Swami. Anda mungkin lebih mengenal sosok Iwan Fals, namun para personil Sirkus Barock-lah yang membentuk karakter musik dan aransemen Swami yang kita kenal. Saat itu Jabo didampingi oleh Nanoe dan Innisisri (keduanya telah meninggal dunia) pada rhythm section, dan membentuk dasar aransemen nyaris seluruh karya Swami.

Tur konser Langit Merah Putih bukanlah sekedar tur biasa, namun menjadi satu ungkapan keprihatinan dan juga kesaksian atas kondisi bangsa yang bertubi-tubi dilanda bencana. Mulai dari bencana alam, hingga bencana akibat ulah manusia yang serakah. Sudah menjadi berita sehari-hari terjadi kasus korupsi uang, jabatan, dan kekuasaan yang semakin hari semakin jadi. Konser ini adalah bentuk sumbangan dan berbagi pemikiran lewat pengamatan dan permenungan.

Dari sudut pandang musikal, tur Langit Merah Putih pun bukan sekedar pentas nostalgia. Banyak lagu yang diaransemen ulang dan keluar dari riff tradisinya. Katakanlah Bongkar, yang hanya meyisakan kesetiaan pada melodi utama. Kejutan lain juga terjadi saat Bento, Kuda Lumping, Hio, Badut, dan Kesaksian. Penonton dijamu dengan aransemen yang berbeda. Beruntung Jabo didampingi oleh generasi muda Sirkus Barock yang membawa kreativitas segar dan tidak terjebak di nostalgia masa lampau. Tak lupa lagu-lagu dari album Anak Setan (1986), Bukan debu Jalanan (1989), Fatamorgana (1994), Kanvas Putih (1998), dan Jula Juli Anak Negeri (2001) ikut dibawakan.

Masih ada kejutan lain ketika dua personil Swami yang tersisa, Iwan Fals dan Naniel, ikut meramaikan hingar-bingar panggung. Mereka diikuti oleh Setiawan Djodi dan Oppie Andaresta. Kehadiran para legenda ini melengkapi silaturahmi panggung. Entah kapan mereka dapat bermain sepanggung lagi. Usai Jakarta, Sirkus Barock akan melanjutkan tur ke Bandung dan Yogyakarta, serta menyeberang lautan menuju Shanghai, China.

Ucapan terima kasih patut dilayangkan kepada Seno Kusumo dan Gilmuz Production yang membuka semua pintu Graha Bakti Budaya tanpa memungut sepeser pun dari penonton. Berbeda dengan kebanyakan pertunjukan gratis yang berakhir rusuh, para penonton tampak tertib, meski meriah dan kerap menunjukkan antusiasme di depan panggung atau melambaikan bendera dan spanduk di atas balkon.


”Kami tidak sedang rindu pentas. Kami sedang mau beropini, dan memberikan kesaksian lewat sudut pandang kami,” tutup Jabo kepada kita semua.

Surjorimba Suroto
Foto oleh Lulu Ratna

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA