THE MIRROR NEVER LIES

Hari Jum’at (29/4 2011) saya berkesempatan menyaksikan pemutaran perdana film The Mirror Never Lies, sebuah film tentang masyarakat dan budaya suku Bajo, Sulawesi. Film yang merupakan buah kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi, WWF Indonesia, dan SET Film, sudah saya nantikan sejak berbulan-bulan yang lalu. Selain karena isinya menampilkan kebudayaan suku Bajo dan keindahan panorama alam Taman Nasional Wakatobi, sahabat saya yang aktif di WWF Indonesia kerap ’mengompori’ saya. Siasatnya berhasil, dan saya ikut diundang pada malam perdana pemutaran film.

Acara pembukaan dihadiri oleh Bp. Hugua (Bupati Wakatobi), Bp. Efransjah (CEO WWF Indonesia), Devy Suradji (Dir Marketing WWF Indonesia), Garin Nugroho (SET Film), Kamila Andini (sutradara, putri Garin), Nadine Chandarawinata (produser), dan para aktor utama film (Reza Rahadian, Gita Novalista, Eko, dan Zainal BA). Sayang Atiqah Hasiholan terlambat hadir dan luput acara pembukaan.

Alkisah Pakis (diperankan oleh Gita) seorang remaja putri Bajo yang merindukan ayahnya yang tak kunjung pulang dari melaut. Ia kerap menimang-nimang sebuah cermin pemberian ayahnya, dan membawanya kepada dukun desa laut untuk mencari keberadaan ayahnya. Minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, dan tak ada kabar. Cermin kerap digunakan masyarakat Bajo untuk melihat apa yang tak mampu mata normal lihat. Ibunda Pakis, Tayung (diperankan oleh Atiqah) berusaha untuk menerima takdir dan meminta anaknya untuk menerimanya juga. Sesungguhnya ia pun frustasi dan dalam tekanan untuk menerima kenyataan bahwa suaminya mungkin tak akan pernah pulang lagi.

Kesedihan Pakis kerap dihibur oleh sahabatnya Lumo (yang berarti lumba-lumba diperankan oleh Eko), dan Kutta (diperankan oleh Zainal). Dalam keseharian mereka berinteraksi, termasuk anggota desa laut yang lain, penonton dapat melihat sekelumit kehidupan masyarakat Bajo. Desa mereka berdiri di perairan dangkal di lepas pantai Sulawesi, dan satu-satunya transportasi hanyalah perahu dan kapal. Umumnya mata pencaharian adalah hasil tangkapan laut.

Hadirlah seorang peneliti lumba-lumba asal Jakarta, Tudo (diperankan oleh Reza), yang menyewa salah satu rumah milik Tayung. Dari Tudo-lah, Pakis dan rekan-rekannya mendapat gambaran lain akan minat pada kehidupan laut. Ternyata ada orang yang berminat pada lumba-lumba, namun tidak untuk menangkapnya dan memakannya. Interaksi Pakis, Lumo, Tudo, dan Tayung menjadi inti cerita dalam The Mirror Never Lies, selain tentunya obsesi Pakis melalui cerminnya.

Penonton dapat melihat keindahan alam Wakatobi, terutama pemandangan bawah laut yang direkam dengan indah. Sponsor Sony Indonesia memfasilitasi penggunaan kamera canggihnya untuk dapat secara sempurna menangkap keindahan ini. Benar-benar bukan omong kosong kamera (nampaknya digital) Sony ini. Sinematografi pun luar biasa indah. Saya jamin siapapun yang menonton film ini ingin segera berangkat ke Taman Nasional Wakatobi. Memang inilah tujuan yang diprakarsai oleh para produser, agar masyarakat Indonesia dan dunia menyadari keindahan alam Wakatobi, serta berpartisipasi dalam melestarikan (jika bukan menyelamatkan) Segitiga Coral dunia. Perlu diketahui bahwa Wakatobi menyimpan 90% atau 750 species coral dari populasi dunia.

Selain meng-ekspose keindahan alam, bagaimana dengan kisah intinya sendiri? Secara umum sutradara Kamila Andini mampu menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dengan luar biasa baik. Bagi saya sendiri ada beberapa adegan yang mengganggu atau menurut saya tidak perlu ada. Adegan Pakis yang mengintip Tudo menurut saya tidak punya makna. Mungkin saja ini buah dari rasa penasaran Pakis akan seorang asing di desanya. Sempat saya berharap bahwa tindakan Pakis akan berujung pada crush asmara seorang remaja pada sosok yang dikagumi. Ada memang beberapa adegan dimana Pakis berdandan dan berusaha mencuri perhatian Tudo. Tapi semua berhenti disitu. Adegan mengintip ini akan lebih relevan jika terdapat konflik segitiga antara Pakis, Tayung, dan Tudo.

Adegan lain yang menurut saya mubazir adalah percikan-percikan hasrat antara Tayung dan Tudo. Sebagai seorang ibu muda yang ditinggal suami, dan seorang pemuda yang kesepian karena ditinggal kekasih (untuk apa pula pakaian putih pacarnya dibawa-bawa ke tengah laut?), sangat mungkin terjadi korslet-korslet kecil. Tanpa ada penjelasan, Tudo berinisiatif membantu meringankan demam Tayung. Adegan romantis ini akan relevan jika di akhir cerita ada klimaks. Entah hubungan keduanya berlanjut, atau menggantung, atau bahkan berakhir saat Tayung menerima takdir suaminya tak akan pernah kembali.

Dua adegan ini yang menurut saya paham mengapa diberi rating remaja, meski Kamila pada wawancara di sebuah televisi swasta menginginkan The Mirror Never Lies diberi rating semua umur. Terlepas bahwa film ini wajib ditonton oleh semua umur, termasuk anak-anak, namun dua adegan di atas menurut saya sebaiknya tidak dikonsumsi anak-anak di bawah umur.

Akting Atiqah menawan di film ini. Logat bicara Bajo-nya membuat film ini sangat terasa unsur kedaerahannya, selain tentu saja ketiga aktor cilik yang memang penduduk asli. Reza aktingnya menurut saya lumayan. Ketiga aktor cilik di mata saya sangat luar biasa. Terlihat lepas tanpa beban, dan sangat ekspresif. Perhatikan pada saat Lumo juga mendapati ayahnya tidak pulang dari melaut, betapa ia terpukul dan menerima takdir sebagaimana selama ini ia menasehati Pakis. Kini keduanya senasib dan sepenanggungan.

Saya sangat merekomendasikan rekan-rekan untuk menonton The Mirror Never Lies. Membuka cakrawala kita akan kehidupan saudara-saudara kita lainnya di Indonesia. Film ini sangat sarat kandungan lokal, dan visualisasinya benar-benar mampu menyampaikan pesan bahwa sebuah lingkungan alam tak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakatnya.

Di akhir pidatonya, Bp Hugua menyampaikan pesan yang sangat visioner. Saya kagum kepadanya. Tidak banyak kepada daerah yang pernah saya kenal atau temui punya cita-cita seperti beliau.

The Mirror Never Lies akan diputar untuk umum mulai 5 Mei 2011, selain tentunya diputar di negara-negara lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA