KOMUNITAS SEBAGAI POTENTIAL BUYER?

Ketika sebuah produk dipasarkan, baik barang maupun jasa, yang umumnya dilakukan pertama kali adalah memasarkannya kepada calon pelanggan. Penentuan siapa calon pelanggan sangat menentukan kesuksesan penjualan produk. Di dunia yang serba majemuk dan tersebar ini, menjual produk yang segmented merupakan suatu usaha tersendiri. Disebut segmented karena produk ini umumnya dinikmati atau diminati terbatas oleh sekelompok masyarakat, dikarenakan karakteristik dan keunikan produknya.

Dalam satu setengah dekade terakhir ini merebak wabah komunitas, baik dunia nyata maupun maya. Ada bahkan yang beranggotakan lebih dari 2000 orang, dan tersebar di seluruh Indonesia. Teknologi internet membuat kondisi geografis tidak lagi menjadi kendala untuk berkomunikasi. Dalam kaitannya dengan pemasaran suatu produk segmented pada paragraf awal di atas, seyogyanya anggota komunitas adalah target konsumen yang sangat memiliki prospek. Berita pemasaran pun lebih mudah karena media internet lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat menjangkau calon konsumen.

Kebetulan selama satu setengah dekade itu pula saya aktif di dunia komunitas. Beberapa komunitas sekaligus malah, dan juga aktif di dalamnya (tidak sebatas pasif, alias lurking atau menjadi konsumen). Bersama beberapa komunitas musik, saya ikut serta mengagas acara radio, konser musik, hingga label rekaman. Di beberapa komunitas komik, saya aktif mengagas berbagai pameran dan lomba komik, penerbitan komik, ajang apresiasi, peluncuran buku, dll. Sebagai penikmat film, saya ikut menonton festival film yang diselenggarakan selama beberapa hari.

Ada banyak pengalaman menarik, karena saya ikut berperan aktif menyukseskan acara. Pemikiran bahwa anggota komunitas menjadi pembeli utama produk sering gugur. Penjualan komik oleh anggota komunitas terbilang biasa-biasa saja. Bahkan saya ingat penjualan edisi terbatas komik legendaris Jampang (karya Ganes Th) sebanyak 200 set saja tidak ludes terjual. Padahal jumlah anggota komunitasnya lebih dari 1000 orang. Pada komik umumnya, target penjualan minimum 3000 kopi sering sulit ditembus. Sementara konon, para anggota komunitas komik ini sering mengatakan dirinya fanatik dan mendukung kebangkitan komik lokal. Tingkat kehadiran pada acara apresiasi komik pun terhitung biasa-biasa saja.

Pengalaman saya di dunia musik kurang-lebih sama. Setiap konser musik dan penjualan CD album terhitung lumayan. Padahal marketnya sangat segmented, dan target pembeli pun sudah tepat, yaitu anggota komunitas. Kenyataannya angka penjualan berbicara lain. Yang membuat lega adalah diminatinya album-album tersebut oleh penikmat musik manca negara.

Sebuah festival film ternama di Jakarta, yang sudah sekitar 10 tahun berlangsung pun terpaksa menghentikan acaranya di tahun 2011 ini. Mungkin karena kekurangan sponsor. Tapi seharusnya sponsor itu hanya melengkapi, dan tambang uangnya datang dari penonton. Nyatanya mereka kekurangan penonton sebagai penjamin keberlangsungan festival.

Masih tentang film, banyak pihak sering mengkritik film-film Indonesia yang di mata mereka terlihat murahan dan tidak berkelas. Katakanlah film-film komedi dan horor. Namun saat film-film bermutu diputar di bioskop, mereka semua itu kemana? Saya pernah menyaksikan film Opera Jawa (Garin Nugroho) hanya 4 orang di dalam bioskop. Bahkan pernah hanya 3 orang pada film Perempuan Punya Cerita. Film Arisan!2 rada lumayan dimana ada sekitar 20 orang yang menonton. Kenyataannya mereka yang, katanya, mendukung film-film bermutu tetap tidak memberi dukungan konkrit dengan membeli tiket bioskop.

Saya masih ingat dengan jelas peristiwa terakhir, yaitu nonton film bareng dengan menyewa satu bioskop penuh. Kapasitas kursi sekitar 300 buah, sedangkan anggota komunitas ada 950 orang. Jika setiap anggota mengajak teman, pasangan, saudara, atau anak, maka cukup dibutuhkan 150 anggota untuk masing-masing beli 2 tiket. Tidak perlu 950 orang beli tiket. Nyatanya? Hingga hari H, hanya terisi sekitar 260 kursi. Itupun tiket film banyak dibeli penonton bukan anggota komunitas.

Jika dulu saya masih bertahan pada keyakinan bahwa anggota komunitas adalah target konsumen utama yang membeli produk, kini saya sudah bulat tekad. Lupakan anggota komunitas sebagai target konsumen utama. Cukup jadikan anggota komunitas sebagai pelengkap cadangan saja, dan utamakan target masyarakat umum sebagai pasar utama. Then you’ll survive.

Komentar

  1. Ya memang, walau anggota komunitas, bukan berarti jaminan menjadi pembeli potensial. Dan anggota komunitas juga sebenarnya bukan jaminan sebagai penggerak ataupun aktivis, bisa jadi tim penggembira. Tapi kita juga nggak bisa menjudge mereka :)

    Tapi keputusan untuk mengutamakan masyarakat umum juga penting, karena bagaimanapun sebuah produk perlu "regenerasi" dan perpanjangan konsumen (bener gak ya, istilahnya perpanjangan konsumen :p)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA