BRUSSELS PILGRIMAGE: PART 1


Hari itu Senin 11 Juni 2012 pk 15:00 dan saya sudah menikmati pemandangan dari kursi nomor 93 di gerbong nomor 22. Kereta Deutsch Bahn sudah melaju meninggalkan stasiun Frankfurt Flughaven Fernbahnhof sekitar 30 menit yang lalu. Kereta cepat ini hanya berhenti di beberapa stasiun seperti Koln, Jerman. Di saat ia melaju, tertera 245 km/h pada layar di atas pintu gerbong. Gerbong yang nyaman dan mewah dengan desain selayaknya interior pesawat terbang, membuat saya benar-benar menikmatinya. Memang kereta ICE Deutsch Bahn ini kalah kelas dengan Thalys, yang konon menembus kecepatan 350 km/ h di daratan Eropa. Jika kereta ini saja sudah sedemikian mewah, rapi dan cepat, apalagi Thalys?

Perjalanan dari Frankfurt Jerman menuju Brussels Belgia ini saya lakukan seorang diri. Iman, Azisa, Is, dan Galang sudah kembali ke Jakarta. Devi beserta suaminya, Axel, sudah dalam perjalanan menuju rumah di selatan Jerman. Usai sudah kesibukan Erlangen Comic Salon selama 8 hari, dan kini saya melakukan perjalanan ke salah satu tempat paling spiritual di Eropa: Musee Herge!

Menurut jadwal kereta akan tiba di stasiun Brussels Midi pk 17:35. Tiga jam perjalanan, dan saya punya cukup waktu untuk menikmatinya. Koper yang berat sudah dititipkan di ruang penitipan Frankfurt Flughaven dengan tarif Euro 9 per 24 jam. Sepadan daripada harus saya bawa ke Brussels. Saya cukup membawa ransel besar yang dipinjam dari sahabat saya, Syaiful Bahri, serta ransel kecil untuk jalan-jalan seputar kota. Benda di dalamnya pun tidak banyak. Hanya beberapa lembar pakaian, peralatan mandi, kameran DSLR, peta kota Brussels, serta oleh-oleh untuk sahabat maya bertahun-tahun, Gerald van Waes.

Saya mengenal Gerald saat masih aktif di stasiun radio. Sekitar tahun 1999 atau 2000, ketika kami tergabung dalam sebuah milis progressive rock internasional. Ia tertarik dengan musik progrock Indonesia, dan kami pun saling bertukar CD. Itulah awal perkenalan kami. Kelak ia kerap mengirimkan memorabilia Tintin. Gerald pula yang berhasil menemukan alamat kontak Peter van Dongen, komikus Rampokan Java, ketika saya ingin mewawancarainya di tahun 2004. Meski persahabatan kami intens bertahun-tahun, inilah pertemuan pertama kami.

Gerald dengan murah hati menawarkan saya untuk tinggal di rumah mungilnya selama bertualang di Belgia. Rumahnya sendiri, yang berlantai dua, terletak di kota Duffel. Sebuah kota kecil di sisi utara Brussels menuju kota Antwerp. Kira-kira 20 menit perjalanan kereta api. Petunjuk jalan dari Brussels menuju Duffel sudah diberikan, dan saya cukup deg-degan mengikutinya.

Setelah stasiun Koln Jerman (yang dari jendela kereta tampak begitu indah), serta stasiun Liegt Belgia (dengan arsitektur modern artistik) tibalah saya di Brussels Midi. Sempat salah turun stasiun karena terburu-buru. Mengapa saya tergesa? Karena rapatnya waktu kedatangan kereta menurut jadwal, sedangkan saya harus melanjutkan perjalanan kereta lokal menuju arah Antwerp. Beberapa detik melangkah di stasiun Brussels Centraal membuat saya sadar ini bukan Brussels Midi. Stasiunnya kecil dan tidak tampak suasana ‘internasional’. Segera saya melompat kembali ke dalam kereta ICE. Beruntung masih sempat.

Tiba di Brussels Midi tidak membuat semuanya mudah. Saya sudah tertinggal kereta ke Antwerp. Kereta tsb yang harus ditumpangi karena berhenti di setiap stasiun. Terpaksa saya beralih ke kereta ekspress tujuan Antwerp juga, namun hanya berhenti di stasiun Mechelen dan setelah itu lanjut ke Antwerp. Alternatifnya adalah naik kereta ekspress, turun di Mechelen, lalu pindah platform untuk naik kereta lambat yang bisa berhenti di Duffel.

Bisa dibayangkan saya berlari-lari terburu-buru turun tangga platform, celingak-celinguk cari loket kereta lokal. Beruntung tak jauh tampak meja informasi dan gadis yang ramah itu menunjukkan lokasi loket. Antrian lumayan panjang, dan saya mulai gelisah. Saat berhasil membeli tiket, wanita petugas menyuruh saya segera naik platform karena keretanya sudah mau berangkat! Segera saya berlari-lari lagi dan tanpa lihat-lihat langsung naik kereta yang tampak parkir di platform dimaksud.

Kereta ekspress tujuan Antwerp ini berlantai dua. Akhirnya saya berkesempatan naik kereta seperti ini di Eropa. Keretanya rapi dan modern, meski tidak semewah kereta ICE sebelumnya. Segera duduk di lantai atas, dan masih tengok kiri-kanan. Benar ngga nih keretanya? Saya bertanya kepada seorang tua berwajah Afrika dan ia hanya bisa berbahasa French. Menurutnya ini benar kereta yang dimaksud. Tak begitu percaya, saya tanya lagi kepada orang lain, seorang berpenampilan bisnis, dan ia menjawab dalam English. Benar ini keretanya. Wih..... lega.

Waktu menunjukkan pk 18:36 saat saya turun di Duffel. Sebuah kota kecil berhawa sejuk dan matahari masih terang. Maklumlah musim panas. Tampak Gerald sudah menunggu dan kami pun saling berpelukan dan jabat tangan. Senang rasanya bertemu dengannya setelah bertahun-tahun hanya ber-email ria. Kamipun mengendarai sepeda menuju rumahnya. Gerald membawa dua buah sepeda. Sesampainya di rumah, Gerald dengan sangat antusias menunjukkan koleksi CD world music nya yang membuat saya terkagum-kagum. Inilah pertama kalinya saya melihat koleksi world music yang sangat dahsyat! Nyaris setiap negara ada. Satu per satu saya dijamu dengan musik aneka negara, yang kadang membuat saya tertegun. Betapa kayanya musik belahan dunia lain!
Malam itu kami memasak bersama untuk makan malam. Tepatnya Gerald yang memasak, sementara saya memotong berbagai bahan. Makanannya berbasis kari dan porsinya luar biasa banyak. Pada akhirnya seluruh makanan itu ludes. Usai makan kami merencanakan perjalanan ke Musee Herge, yang ternyata terletak di Louvain la Neuve. Bukan di kota Brussels. Berkat bantuan sebuah aplikasi pada iphone Gerald, kami pun mengetahui rute kereta yang harus ditumpangi. Tidak mudah, karena harus berpindah kereta beberapa kali.

Malam itu saya tidur dengan pulas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA