BRUSSELS PILGRIMAGE: PART 4


Hari sudah menunjukkan pukul 12:00 siang. Duduk santai sambil satu per satu kentang goreng khas Brussels dengan mayonaise dikunyah. Di samping saya sebuah gelas cup berisi coklat panas dan sebotol air mineral sudah siap jika dibutuhkan. Udara cukup sejuk dan bersahabat, meski sudah tengah hari. Beruntung saya mendapat tempat teduh di bawah rindang pohon, sambil memandangi suasana sekitar Royale Galeries St. Hubert dari bangku taman.

Kala itu hari Rabu, 13 Juni 2012, dan saya seorang diri. Pagi-pagi saya sudah berpamitan dengan Gerald, sahabat yang rumahnya saya tumpangi di kota Duffel. Ia berangkat kerja ke Antwerp dan saya menuju Brussels. Sengaja saya berangkat lebih awal agar bisa menikmati pojok-pojok kota Brussels yang tidak sempat diperhatikan dua hari sebelumnya.

Taman kecil ini merupakan taman berbentuk lingkaran dengan patung dan air mancur di tengahnya. Ia berada di ujung Royal Galeries St. Hubert, dan tersambung dengan Grand Market. Di seputar taman kecil ini ada banyak toko coklat, restoran, cafe, toko suvenir, warung rokok dan minuman, dan juga hotel. Bangku taman yang saya duduki ini menghadap ke Hotel La Madeleine, Museum Figurine, dan akses menuju stasiun kereta Brussels Centraal. Sudah sekitar satu jam saya duduk di sini, sambil membaca-baca buku Bruxelles yang diterbitkan oleh Lonely Planet dan ilustrasi oleh Francois Schuiten, komikus idola saya.

Beberapa jam sebelumnya usai turun kereta di Brussels Centraal, saya sudah keliling ke beberapa tempat seperti mural komik, patung entah apa namanya, deretan toko coklat (dan belanja tentu saja), serta beberapa toko buku di sepanjang Royal Galeries St. Hubert. Sudah cukup lelah saya berkeliling selama 3 hari ini, terutama kali ini saya membawa ransel besar berisi pakaian, buku, coklat, dan aneka pernak-pernik Tintin yang dibeli di Musee Herge, Louvain la Neuve. I’m totally exhausted, so I’d rather sit down and enjoy the view.

Ransel kali ini terasa berat. Memang ada pakaian, peralatan mandi, beberapa komik, serta hasil belanja Tintin. Saya mulai berpikir-pikir, “Apa isi ransel ini hingga terasa berat?” Barulah teringat bahwa saya membeli banyak coklat, yang total entah berapa beratnya. Jika sebuah coklat saja rata-rata 100 gram, maka ada 10 bungkus saja sudah setara dengan 1 kg!

Sambil duduk saya melihat catatan belanja. Tepatnya catatan titipan teman-teman. Coklat sudah. Aneka Tintin sudah. Komik sudah. Gantungan kunci sudah. Pajangan sudah. Bahkan kaca loop berlian titipan kakak ipar pun sudah. Berburu loop berlian ini termasuk kenangan tersendiri. Sebenarnya pusat berlian dengan asesorisnya berada di kota Antwerp. Namun saya kesulitan pergi ke sana karena keterbatasan waktu. Harapan untuk menemukannya hanya di Brussels, karena di Erlangen dan Frankfurt tidak ketemu. Sehari sebelumnya Gerald dan saya harus mendatangi 5 buah toko perhiasan hingga akhirnya menemukan yang dicari. Hanya ada satu toko di Brussels yang menjualnya, dan saat itu sudah pukul 17:55. Tinggal 5 menit menjelang toko tutup, dan kami berlari-lari menuju toko tsb. Alhamdulillah loop berlian ukuran 10x berhasil didapatkan, meski toko tsb hanya punya stok satu buah.

Sesekali saya memotret sekeliling. Ada beberapa turis dari Amerika Serikat yang rada sepuh. Mungkin usia 60 tahun. Tampak pula rombongan turis asal Taipei yang saya berpapasan kemarin di patung Manekin Pis. Sayang gadis yang kemarin saya ngobrol tak nampak. Mengingatkan kunjungan kerja saya ke Taipei tahun 1996 lalu. Sisanya yang tampak adalah hiruk-pikuk suasana niaga. Sebagian orang tampak tak peduli bahwa mobil box atau bak nya menghalangi mobil lain, sementara ia sedang sibuk menurunkan muatan. Sementara mengamati, saya juga mengawasi orang-orang yang lewat sekitar saya. Maklum meski ini ibukota Uni Eropa, Brussels pun tak luput dari peristiwa kriminal.


Usai kenyang dengan kentang goreng dan coklat panas, saya beranjak pergi. Kaki melangkah ke Museum Figurine, dengan logo silhouette Smurf yang gede banget. Museumnya sendiri tidak saya masuki, hanya toko suvenirnya dan tampak berderet figurine top ada di sini. Ah seandainya uang berlimpah rasanya ingin saya borong figurine Humpa Pa yang lucu itu.

Setelah menumpang kereta api (karcis dengan tujuan Brussels dapat naik-turun di stasiun Brussels manapun berkali-kali), saya turun satu halte di Brussels Nord. Stasiun inilah tempat keberangkatan menuju Frankfurt Flughaven. Sambil menanti keberangkatan kereta pukul 14:25 saya berkeliling stasiun, termasuk duduk-duduk di terminal bus yang berdampingan dengan stasiun. Di sini saya menyaksikan orang hilir mudik naik-turun bus. Tampak ibu-ibu membawa tas belanja atau mengantar anaknya, mahasiswa yang mengejar-ngejar bus, karyawan yang baru pulang makan siang, hingga orang-orang yang seperti saya duduk-duduk saja, dan orang-orang berpakaian tidak jelas yang juga tidak jelas ngapain. Terlihat pemandangan berbeda dimana rutinitas masyarakat tampak, termasuk orang-orang yang mencurigakan karena tidak jelas duduk menunggu apa. Mungkinkah seperti saya yang menghabiskan waktu menunggu kereta berangkat?

Kali ini kereta ICE Deutsch Bahn yang membawa saya ke Frankfrut Flughaven tampak ramai. Di samping saya ada seorang pemuda berusia 20-an tahun yang rupanya kuliah di University Louvain La Neuve. Kami sempat ngobrol banyak tentang universitas tsb dan Musee Herge. Ia banyak becerita tentang asal usul kota tsb, dan menurut saya riwayat kota tsb sangat menarik. Louvain La Neuve didirikan oleh masyarakat Belgia-Perancis yang ingin berbeda dari komunitas Belgia-Belanda. Universitas itulah bangunan besar pertama yang didirikan, selain rumah-rumah penduduk.

Sesampainya di Franfkurt Flughaven setelah 3 jam perjalanan, saya segera mengurus penitipan koper dan mengatur barang bawaan. Seperti telah diduga, koper saya overweight. Tapi beratnya yang mencengangkan: 43 kg! Dan itu belum termasuk isi ransel saya. Segera saya mengatur ulang, dan mengeluarkan nyaris seluruh komik dari koper. Baju kotor dan handuk basah dibuang. Bahkan banyak brosur dan majalah gratis Erlangen Comic Salon, yang menurut saya tidak terlalu penting, juga saya buang. Hingga akhirnya koper tsb beratnya 29,70 kg! Lega rasanya, meski ada dua kantong berisi komik Milo Manara, Cyril Pedrosa, dll saya tenteng dalam kantor plastik. Tidak ada pilihan lain selain membawa semua itu ke kota Dubai.

Satu urusan saya sudah selesai, saat koper dengan mulus diterima Emirates. Tinggal memikirkan nasib ransel yang penuh berisi komik, yang harus saya titipkan saat berjalan-jalan di kota Dubai. But I’ll think about that later......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA