RESTORASI FILM TIGA DARA: 60 TAHUN AKSI HEROIK PENYELAMATAN

Rabu, 3 Agustus 2016 menjadi hari bersejarah bagi insan pecinta film Indonesia. Pada hari itu film Tiga Dara (1956) ditayangkan perdana. Berbeda dengan pemunculan pertamanya 24 Agustus 1957, kali ini Tiga Dara tampil lebih cantik karena telah direstorasi dari pita film master. Memanfaatkan kecanggihan teknologi, pita film seluloid master yang dalam keadaan rusak parah pada banyak frame dapat diperbaiki. Tidak sebatas diperbaiki, namun direstorasi aspek visual dan audio agar mendekati imajinasi sang sutradara, alm. Usmar Ismail (1921-1971), sebagaimana mestinya.

Tiga Dara bukanlah film masterpiece pertama Indonesia yang direstorasi. Beberapa tahun sebelumnya dilakukan kepada film Lewat Djam Malam (1954) di tahun 2012. Ia terpilih sebagai film yang diprioritaskan untuk direstorasi secara digital. Setelah sukses, proyek penyelamatan karya seni berikutnya jatuh kepada Tiga Dara.

Mengapa Tiga Dara yang terpilih? Film ini memenuhi banyak kriteria: Film ini memenangi Piala Citra (1960) untuk kategori Tata Musik Terbaik. Sukses ecara finansial dan membantu kondisi finansial Perfini (Persatuan Film Indonesia). Tiga Dara juga memiliki kombinasi sempurna berupa para pemain film, naskah, alur cerita, penyutradaraan, dan yang paling diingat penonton, ilustrasi musik yang melegenda. Tak ketinggalan, film ini adalah film komedi musikal yang paling sukses pada masanya.

Jika ada film nasional setelah Lewat Djam Malam yang paling penting untuk diselamatkan, pilihan paling logis memang jatuh pada Tiga Dara.

Proses restorasinya tidaklah mudah, sebagaimana umumnya proses restorasi karya seni yang mulai lapuk karena usia, alam, dan teknologi. Sesungguhnya Tiga Dara hendak dikerjakan oleh EYE Museum, Belanda, di tahun 2011, menggunakan sumber film seluloid dari arsip Sinematek Indonesia. Namun kondisi ekonomi dunia yang terpuruk resesi, khususnya benua Eropa, membuat proyek ini terlantar.

SA Films melanjutkan proses restorasi, dibantu dengan Restorasi fisik oleh L'immagine Ritrovata di Bologna (Italia) yang berpengalaman dengan pita film master daerah tropis dan PT. Render Digital Indonesia untuk restorasi digital. Mereka terlatih membersihkan jamur khas iklim tropis dan tergabung dalam tim restorasi Lewat Djam Malam. Dibutuhkan waktu 17 bulan dan biaya tak kurang dari Rp 3 milyar untuk menyelesaikan 150 ribu frame.

Kita harus berterima kasih kepada para perusahaan dan lembaga tsb, serta tim restorasi yang sudah menghasilkan karya luar biasa: Taufiq Marhaban, Lintang Gitomartoyo, Lisabona Rahman, dan Benjamin Windra. Mereka ini orang-orang bertalenta yang bekerja keras selama bertahun-tahun menghasilkan apa yang kita nikmati di layar perak.

Pada malam gala premiere itu, yang sekaligus menjadi seremoni pembukaan Festival Film Indonesia (FFI) 2016, sangatlah meriah. Ada banyak wajah layar perak bermunculan. Di antara semua itu teristimewa adalah kehadiran Mieke Wijaya dan Indriati Iskak, yang merupakan para pemeran utama film Tiga Dara. Enam puluh tahun berlalu namun keduanya tampak sangat sehat dan ceria untuk bersama-sama ratusan hadirin lainnya menjadi saksi pemutaran perdana film restorasi.

Bioskop Metropole XXI Jakarta hari itu menjadi saksi untuk kedua kalinya. Selain menjadi saksi pemutaran perdana hasil restorasi, bangunan karya arsitek Liauw Goan Sing ini juga hadir dalam film Tiga Dara. Memang luar biasa bangunan bergaya art deco yang berlokasi tidak jauh dari tempat Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Bahkan Hatta sendiri yang meresmikan bioskop ini tahun 1949.

Sepanjang film tampak suasana kota Jakarta di era 50-an. Sebagian besar mungkin kini tampak asing karena sudah berubah total. Tampak juga kendaraan bermotor lalu lalang, termasuk becak. Pemandangan fashion juga menghiasi sepanjang film, selain tentunya berbagai desain furniture, arsitektur rumah, barang pecah-belah, dan gaya hidup masyarakat pada masa itu.

Lalu bagaimana dengan hasil restorasinya? Sungguhkah hasilnya seindah yang kita semua khayalkan? Inilah pertanyaan yang paling penting.

Setelah opening credit usai, tampak jelas keindahan dan ketajaman gambar. Tidak ada lagi bintik-bintik jamur, noda cacat, serangga mati, dan frame yang sobek. Semuanya tampak bersih kinclong. Pencahayaan pun sempurna. Tidak tampak inkonsistensi terang dan gelap. Semua tampak jelas.

Terakhir yang paling penting adalah kualitas audio. Semua dialog terdengar jelas, hingga ke efek-efek suara, dan terutama adalah sound vokal dan musik. Padahal pita audio master juga tidak dalam keadaan sempurna. Noda catat, jamur, bahkan pita terputus. Jangan lupa: film Tiga Dara adalah film komedi musikal. Buat apa gambar jernih jika sound amburadul? Alunan musik Saiful Bahri, Ismail Marzuki dan Oetjin Noerhasjim sungguh menyenangkan hati di setiap detiknya. Luar biasa kualitas audionya.

Semua itu diperbaiki sempurna. Tidak beda layaknya kita menyaksikan film hitam-putih era Kurosawa atau Hitchcock. Persis seperti itu. Kita patut memuji keputusan tim restorasi untuk menjadikannya resolusi 4K (4096 dan 2160 pixel). Perbandingan beberapa resolusi bisa dilihat pada gambar di bawah ini.






Beberapa video tentang proses restorasi juga dapat dilihat di You Tube:
https://youtu.be/t9-94QFGhzXU

https://youtu.be/hOswCICM3X0


Dalam pemutaran perdana ini, Metropole XXI membuka seluruh 4 layar. Seluruh empat layar terisi penuh. Penontonnya pun dari beragam usia. Mulai dari generasi Mieke Wijaya, Indriati Iskak, Widyawati dan Rima Melati, hingga generasi remaja usia 15 tahun. Malam itu saya didampingi istri dan putri bungsu yang berusia 15 tahun.

Kami beruntung bisa mendapatkan undangan, mengingat kami bukanlah insan praktisi perfilman Indonesia. Kamipun bukan selebriti, pejabat, ataupun pemerhati. Kami hanyalah pecinta film Indonesia, sama seperti kebanyakan orang. Hasil kontak sana-sini yang membuat kami bertiga bisa menyaksikan Tiga Dara, bersama beberapa saudara sepupu yang juga bergerilya demi surat undangan. Bersama kami juga bibi kami yang mengalami kejayaan film Tiga Dara ketika berusia remaja.

Sepanjang film kami menikmati setiap adegan. Kami ikut tertawa manakala ada dialog humor, dan ikut bersenandung pada setiap lagu. Sesekali saya melirik sang putri untuk mengetahui reaksinya sepanjang film. Saya perhatikan dia tidak menunjukkan wajah bosan dan ikut menikmati film. Senang rasanya dia menyukai Tiga Dara. Memang tujuan mengajaknya untuk dapat mengapresiasi fillm klasik ini. Di sebelahnya tampak saudara sepupunya yang sebaya juga ikut menikmati sepanjang film.

Semoga kelak pada pemutaran normal untuk publik akan ada lebih banyak remaja ikut menonton Tiga Dara. Memperkenalkan film masterpiece seperti Tiga Dara kepada putra-putri kita sangatlah penting. Hanya dengan menyaksikannya sendiri bisa tumbuh rasa cinta dan apresiasi terhadap karya seni bangsa sendiri.

Film Tiga Dara hasil restorasi akan diputar secara luas untuk umum pada tanggal 11 Agustus 2016. Pada hari yang sama juga akan ada konser musik tribute 60 Tahun Tiga Dara di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta. Akan tampil Bonita, Aimee Saras, Aprilia Apsari (ia juga ilustrator poster Tiga Dara versi restorasi), Titiek Puspa, Mondo Gascaro, dll.

Beberapa minggu setelah itu, sutradara Nia Dinata akan menampilkan Ini Kisah Tiga Dara, film terbarunya yang terinspirasi dari film Tiga Dara. Dibintangi oleh Shanty, Tara Basro, dan masih banyak lagi.

Sungguh saya berharap masyarakat luas memberikan apresiasi tinggi kepada Tiga Dara, salah satu film monumental bangsa Indonesia.

Surjorimba Suroto
Jakarta, 8 Agustus 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR SEJARAH PERANG DUNIA II MELALUI KOMIK

GINA: KETIKA KOMIKUS TURUN GUNUNG

USAI BAHARATAYUDHA